Pilihan

Jumat, 15 April 2011

CATATAN SETAN MALAM

Tepat pukul 01.00 memasuki Tanggal 16 April

Setelah kemarin berbincang soal spiritualitas bersama Romo Roni, SJ, ada sebuah kesadaran lama yang tertimbun, tumbuh kembali. Mengingat kembali dan lagi-lagi, St. Ignasius de Loyola. Tertegun sejenak mengingat satu doa sederhana. “Ajarlah aku untuk mengubah apa yang masih bisa kuubah, dan menerima apa yang tidak bisa kuubah”.

Setelah beberapa saat lamanya merefleksikan kembali sebuah rentang waktu perjalanan, aku menikmatinya seperti sajian makan penutup yang berasa madu. Pergulatan masih panjang dan perjuangan masih belumlah usai. Pada batas ruang tertentu, aku kembali merenungkan masa-masa indah dan impian besar melihat kebangkitan rumah yang kian rapuh ini. Tapi aku mencoba menelisik kembali, menghindari kelekatan.

Telah kusaksikan pertentangan dan perpecahan seperti kisah kepongahan manusia Babel. Pada satu situasi aku menjadi yang terpongah diantara yang pongah. Aku belajar dan menyadari kepongahan yang ada. Di rumah yang rapuh ini, tinggal jiwa-jiwa para penyesat. Pada hati yang tidak diolah dan diantara pikiran yang terombang-ambing dia merasuk. Membutakan mata, menutup telinga, dan menyapu bersih kesadaran.

Dirumah ini segala macam setan bergentayangan dan aku telah seringkali bertatapan mata dengannya. Suatu ketika aku menjadi setan pula di dalamnya. Bahkan lebih dari itu meraja setan-setan lain yang merasa mereka adalah yang terhebat. Diantaranya ada setan kepongahan, setan kesombongan., setan amarah, setan kemunafikan, setan omong kosong, dan setan-setan yang berselingkuh di balik aroma idealisme.

Azas dan Dasar, segala sesuatu adalah sarana, kata Ignasius. Diciptakan oleh Allah untuk menjadikan kita berkuasa atasnya dan membawa kita pada tiap-tiap butir cinta dan memuliakan Dia. Ia bicara dari pengalaman hidupnya yang pongah dan sombong. Tapi disini di rumah tua ini, semua ini hanya tinggal sejarah. Setiap orang telah kehilangan dirinya. Saling menistakan, saling mendewakan ideologi bukunya masing-masing, saling menunggu kejatuhan yang lain, dan saling menjatuhkan. Sarana yang semakin rapuh tak pernah diberi hati dan diperbaiki. Tujuan apalagi, tinggal menjadi berkas kosong yang tak pernah lagi di kaji.

Setan-setan sedang menjadi, bermimpi membangun kerajaan tapi melupakan bangunan dasar. Mereka punya banyak mimpi dengan membawa panji pembebasan dan intelektualitas. Merekayasa kembali dan memanipulasi identitas iman mereka menurut ruang otak mereka yang kerdil. Menyanjung robot-robot bodoh dan mengisi virus kesia-siaan. Robot-robot pun tak mungkin memiliki kesadaran. Mereka larut dalam wacana dan omong kosong. Hendak meraih rembulan, namun berbulan-bulan tak pernah melihat rembulan. Di pojok-pojok keramaian mereka membangunkan setan-setan lain, bersekutu dan mencari pemimpin. Dalam benak masing-masing, semua hanya untuk sementara. Sampai saatnya tiba, mereka saling berebut kuasa lagi dan akan mencari musuh baru lagi diantara mereka.

Aroma busuk sedang merebak. Hati yang redup dan pikiran yang penuh kesia-siaan sedang menjadi incaran. Aku menuliskannya kembali seperti aku biasa menulis di masa silam. Tak banyak yang belajar dari pengalaman. Tak satupun yang menyadari mimpi menjadi kesia-siaan. Tersisalah manusia-manusia yang menyembah manusia lain, tapi melupakan kuasa dalam hatinya. Mereka berbaris seperti berada dalam satu program di balik tangan sutradara busuk. Mereka sedang tak sadarkan diri.

Lalu aku mendengar isak tangis dan harapan yang tersia-siakan. Aku menarik diri sejenak dalam kekosongan dan dari jarak yang tak pernah kuingat kembali. Aku mendaraskan doa “Ajarlah aku untuk mengubah apa yang masih bisa kuubah, dan menerima apa yang tidak bisa kuubah”.

Pringwulung, Pkl. 01.30, saat setan-setan sedang mengintipku dari balik mendung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar