Pilihan

Senin, 25 April 2011

HEY PROBLEM, I HAVE A BIG GOD

Suasana super hangat Semarang tidak banyak berubah. Hanya keteduhan di Wisma Mahasiswa Drijarkara sedikit berbeda saat kujejakkan kaki di sana. Lebih tenang dan menyejukkan. Dalam kondisi yang belum pulih dari KDRT (Kena Demam, Radang Tenggorokan) dan nyaris tumbang di bis tanpa kursi nyaman, aku melaju ke kota tempat sebagian energi diri pernah kutorehkan.

Hari ini membawa setumpuk gelisah dan rasa jengah. Kalau dulu dari Semarang ke Jogja menimba rahmat, sekarang sebaliknya menimba kekuatan. Tak seperti yang direncanakan, keinginan menyelesaikan tumpukan persoalan yang dulu terabaikan di Semarang, malah berubah menjadi tantangan lagi. Beberapa teman di sana hadir layaknya seorang guru. Aku mendengar seperti balita yang tiada mengerti apa-apa. Belajar menundukkan kepala dan meletakkan hati di alas kaki.

Mulai dari ruang keluarga hingga Kantor Pelayanan Keuskupan. Dari warung pinggir jalan hingga tengah pemakaman Kali Sari. Bayangan masalah tak terpisah dari badan. Lalu semua menguap dalam dialog batin. Simpuh sujud di kapela memberi nuansa berbeda. AKu belajar lagi dari NOL.

Baru saja terpikir dan sesaat membuka Facebook, sebuah status teman persis berbunyi seperti suara yang menggema di dalam otakku. Maka dengan kerendahan diri aku berkata: "Mari Masalah, Aku Punya Allah yang BESAR". Syukur boleh mengalami proses pembelajaran.

Kuserahkan padaMu keluargaku dan semua yang bergejolak di batinku dan seluruh setan yang bersarang di kepalaku. Ambillah Ya Tuhan dan cukuplah Engkau bagiku.

Selasa, 19 April 2011

INI SOAL RENDAH HATI

Banyak orang boleh bicara kerendahan hati. Termasuk saya. Saya bicara soal kerendahan hati, karena saya termasuk orang yang sulit rendah hati. Termasuk menghadapi orang-orang yang tidak punya hati.

Saya baru saja menikmati ulang Buku The 8th Habit halaman awal. Menemukan beberapa hal mendasar di dalamnya. Sedari awal gambaran pendakian diberikan sebagai sebuah argumen penyempurnaan buku. Lebih dari itu, pendakian gunung baru itu merupakan sebuah ungkapan kerendahan hati bagi saya untuk seorang Covey. Ia menyadari sebuah karya bukan hasil yang muncul tiba-tiba. Sebuah karya besar melibatkan tim kerja yang besar. Sementara itu, kebesaran yang lebih utama adalah kebesaran hati.

Saya kembali ke soal kerendahan hati yang sulit saya lakoni. Terlebih menghadapi orang-orang yang sulit menemukan kesadaran diri seperti saya. Mereka telah melompat dan merasa mendarat di puncak gunung tertinggi. Memandang orang lain rendah ketika lompatannya belum usai. Saya menertawakan diri sendiri yang kadang merasa lucu menghadapi tingkah pongah manusia yang suka lupa diri. Saya tertawa, karena saya merasa tahu soal itu. Saya sering mencobanya lho. Sering pongah dan lupa diri. Wajar kalau kadang saya suka mengingatkan yang lupa diri.

Saya menemukan kata kunci yang sederhana tapi sungguh bermakna. Kata-kata Bunda Theresa "Hanya sedikit diantara kita yang bisa melakukan hal-hal besar. Tetapi semua orang bisa melakukan hal-hal kecil dengan cinta yang BESAR". Sangat mendalam dan penting untuk direfleksikan. Banyak kali, kita menjadi terlena. Barangkali sebut saja saya, agar anda merasa tidak dituding. Terlena dengan wacana dan gagasan besar. Suka diskusi sampai lupa diri dan anak isteri. Tetapi kita kerap lupa melangkahkannya dengan cara sederhana. Beranjak dari hati. Itulah langkah awal sebuah aksi, bukan semata diskusi para pendusta ideologi. Selamat belajar RENDAH HATI bersama saya. Berkah Dalem Gusti!

Minggu, 17 April 2011

REDAM POTENSI BAHAYA, AMBIL JARAK!!

Seorang anak muda yang begitu antusias dan percaya diri sedang menaruh ketidakpercayaan pada seorang temannya. Beberapa teman baru yang muncul dalam hidupnya dan menerimanya sebagai seorang yang berbakat, telah membuatnya menjadi makin percaya diri. Ia merasa pantas menjadi pemimpin dan melupakan hal lain yang menjadi tanggungjawabnya. Dibawah langit malam, ia dan para pemujanya kerap berdiskusi. Gerombolan ini adalah gerombolan tukang gosip. Mereka membangun mimpi diatas wacana-wacana kosong. Bahkan hal kecil pun mereka tak mampu setia. Tak ada karya nyata yang tampak, tapi mereka begitu percaya bahwa kendali ada ditangan mereka.

Si pemuda yang tak lagi mendengarkan sahabat-sahabat lamanya semakin antusias dengan dunia barunya. Teman-teman baru, para pembesar yang terkesan memberinya penghargaan, dan banyak dukungan pula. Demi eksistensi diri dan menunjukkan kebosanannya yang selama ini dirasa menjadi no 2, ia memilih menjadi no 1 kendati itu diantara para bajingan sekalipun. Dia kerap menguji sendiri kepercayaan yang diberikan padanya dengan mengabaikan kepercayaan yang ada dan mencari kepercayaan dari yang lain.

Jika anda memiliki seorang teman yang demikian, peragu dan serba menggebu-gebu dalam menyampaikan gagasan, maka ambillah jarak darinya. Orang yang ragu dan malah menganggap diri lebih hebat dari temannya yang lain adalah sikap seorang penghancur. Ia tinggal dalam pandangan orang lain dan hidup dalam sikap labil. Esok ia menuju utara, kelak bisa ke selatan. Tak jelas arah.

Teman yang demikian memiliki potensi bahaya, ambillah jarak darinya. BUkankah sejarah besar Kritus pun dipenuhi orang-orang bimbang dan peragu? Orang-orang yang demikian yang telah memberikan kebenaran untuk diinjak-injak dan membawa kehancuran bagi banyak orang. Tetapi jangan takut, sebab sekalipun Tuhan dibunuh oleh orang-orang demikian, anda memiliki kuasa lebih dari para pecundang yang bimbang ini. Kematian Tuhan di Salib telah membawa kemenangan bagi mereka yang percaya dan hidup dalam kebenaran di masa kebangkitan.

Selamat Memaknai PASKAH!

Jumat, 15 April 2011

CATATAN SETAN MALAM

Tepat pukul 01.00 memasuki Tanggal 16 April

Setelah kemarin berbincang soal spiritualitas bersama Romo Roni, SJ, ada sebuah kesadaran lama yang tertimbun, tumbuh kembali. Mengingat kembali dan lagi-lagi, St. Ignasius de Loyola. Tertegun sejenak mengingat satu doa sederhana. “Ajarlah aku untuk mengubah apa yang masih bisa kuubah, dan menerima apa yang tidak bisa kuubah”.

Setelah beberapa saat lamanya merefleksikan kembali sebuah rentang waktu perjalanan, aku menikmatinya seperti sajian makan penutup yang berasa madu. Pergulatan masih panjang dan perjuangan masih belumlah usai. Pada batas ruang tertentu, aku kembali merenungkan masa-masa indah dan impian besar melihat kebangkitan rumah yang kian rapuh ini. Tapi aku mencoba menelisik kembali, menghindari kelekatan.

Telah kusaksikan pertentangan dan perpecahan seperti kisah kepongahan manusia Babel. Pada satu situasi aku menjadi yang terpongah diantara yang pongah. Aku belajar dan menyadari kepongahan yang ada. Di rumah yang rapuh ini, tinggal jiwa-jiwa para penyesat. Pada hati yang tidak diolah dan diantara pikiran yang terombang-ambing dia merasuk. Membutakan mata, menutup telinga, dan menyapu bersih kesadaran.

Dirumah ini segala macam setan bergentayangan dan aku telah seringkali bertatapan mata dengannya. Suatu ketika aku menjadi setan pula di dalamnya. Bahkan lebih dari itu meraja setan-setan lain yang merasa mereka adalah yang terhebat. Diantaranya ada setan kepongahan, setan kesombongan., setan amarah, setan kemunafikan, setan omong kosong, dan setan-setan yang berselingkuh di balik aroma idealisme.

Azas dan Dasar, segala sesuatu adalah sarana, kata Ignasius. Diciptakan oleh Allah untuk menjadikan kita berkuasa atasnya dan membawa kita pada tiap-tiap butir cinta dan memuliakan Dia. Ia bicara dari pengalaman hidupnya yang pongah dan sombong. Tapi disini di rumah tua ini, semua ini hanya tinggal sejarah. Setiap orang telah kehilangan dirinya. Saling menistakan, saling mendewakan ideologi bukunya masing-masing, saling menunggu kejatuhan yang lain, dan saling menjatuhkan. Sarana yang semakin rapuh tak pernah diberi hati dan diperbaiki. Tujuan apalagi, tinggal menjadi berkas kosong yang tak pernah lagi di kaji.

Setan-setan sedang menjadi, bermimpi membangun kerajaan tapi melupakan bangunan dasar. Mereka punya banyak mimpi dengan membawa panji pembebasan dan intelektualitas. Merekayasa kembali dan memanipulasi identitas iman mereka menurut ruang otak mereka yang kerdil. Menyanjung robot-robot bodoh dan mengisi virus kesia-siaan. Robot-robot pun tak mungkin memiliki kesadaran. Mereka larut dalam wacana dan omong kosong. Hendak meraih rembulan, namun berbulan-bulan tak pernah melihat rembulan. Di pojok-pojok keramaian mereka membangunkan setan-setan lain, bersekutu dan mencari pemimpin. Dalam benak masing-masing, semua hanya untuk sementara. Sampai saatnya tiba, mereka saling berebut kuasa lagi dan akan mencari musuh baru lagi diantara mereka.

Aroma busuk sedang merebak. Hati yang redup dan pikiran yang penuh kesia-siaan sedang menjadi incaran. Aku menuliskannya kembali seperti aku biasa menulis di masa silam. Tak banyak yang belajar dari pengalaman. Tak satupun yang menyadari mimpi menjadi kesia-siaan. Tersisalah manusia-manusia yang menyembah manusia lain, tapi melupakan kuasa dalam hatinya. Mereka berbaris seperti berada dalam satu program di balik tangan sutradara busuk. Mereka sedang tak sadarkan diri.

Lalu aku mendengar isak tangis dan harapan yang tersia-siakan. Aku menarik diri sejenak dalam kekosongan dan dari jarak yang tak pernah kuingat kembali. Aku mendaraskan doa “Ajarlah aku untuk mengubah apa yang masih bisa kuubah, dan menerima apa yang tidak bisa kuubah”.

Pringwulung, Pkl. 01.30, saat setan-setan sedang mengintipku dari balik mendung

Kamis, 14 April 2011

Mencintai Diri Sendiri, HARUS


Rm. Roni SJ tampak antusias membagikan pengalamannya tentang bagaimana membedakan antara orang yang kerasukan dan stres. Sambil menikmati minuman di Kafe "Kontroversi" kami berbagi pandangan soal pengalaman menghidupi sisi spiritualitas.

Awalnya adalah rezeki. Rm. Roni SJ yang gemar melukis baru saja mendapat sedikit rezeki karena lukisannya ada yang terjual dalam hitungan ratusan ribu. Lalu berhubung rezeki dari hobi melukis itu masih ada, kami berkesempatan sedikit menikmati sajian malam itu. Penasaran dengan menu Pu Yung Hai, aku memutuskan memilih mencicipi makanan yang asing bagiku itu.

Obrolan kami berkisar seputar gejala orang-orang yang berperilaku aneh karena faktor stres, kerasukan energi dari alam, kerasukan roh hingga orang yang kerasukan setan. Menurut Rm. Roni SJ, tidak semua gejala bisa disamakan pendekatannya. Adri tampak antusias mendengarkan dan sesekali bertanya. Tidak sadar obrolan mulai bergeser ke soal latihan rohani, harmoni aktivitas, dan bagaimana mencintai diri sendiri.

Soal mencintai diri sendiri. Ini yang sebenarnya mengusik hati. Rm. Roni SJ mengatakan setiap orang harus bisa mencintai diri sendiri, sebelum mencintai orang lain. Sejalan dengan pesan Yesus, "Cintailah sesamamu manusia, seperti engkau mencintai dirimu sendiri". Pesan ini bukan untuk membuat kita menjadi pribadi yang narsis, tetapi pribadi yang mengenal dan mengasihi diri sendiri dengan bijaksana. Bagaimana mungkin kita dapat mengasihi dan membantu orang lain saat kita sendiri tidak mampu mengasihi dan membantu diri sendiri?

Maka penting bagi kita untuk mencintai diri sendiri. Mencintai dengan mengatur keseimbangan hidup antara olah batin dan olah pikir, pola makan, dan kebiasaan-kebiasaan yang lainnya dalam hidup. Sekali lagi untuk itu juga tidak boleh lepas dari Discernment untuk menghindarkan diri dari sesat pikir dan narsis. Mengamati gerak batin akan dapat membantu kita untuk memilih setiap pilihan yang baik bagi diri sendiri dan orang lain. Membantu kita menghindari setiap peluang yang membuat kita makin lupa diri dan larut dalam aktivitas semu atau sikap ragu.

Obrolan cukup hangat. Tapi malam itu memang malam yang tidak direncanakan. Romo Roni SJ harus segera kembali ke Surakarta. Pu yung Hay yang terasa asin pun sudah ludes. Setelah mengucapkan salam satu sama lain dan pamit pulang, satu pertanyaan masih menggelayut dalam pikiranku.

Sudahkah aku mencintai diriku sendiri?

Selasa, 12 April 2011

KEHILANGAN TEMAN BUKAN MASALAH

Untuk apa menaruh harapan pada kesia-siaan. Sama halnya seperti menaruh kepercayaan pada bejana pertemanan tapi tak pernah terisi karena bocor. Memiliki teman tapi si teman tidak menganggap anda sebagai teman. Lalu apakah anda merasa tersinggung dengan orang demikian?

Barangkali anda akan menjawab, Pasti! Tetapi perhatikan baik-baik pertemanan yang sedang anda bangun saat ini. Benarkah dibangun dari dua arah yang bersinergi, atau sebatas satu arah dari anda. Sebab ketika anda menaruh kepercayaan dan memberi perhatian layaknya teman pada seseorang, tetapi di sisi lain ia menafikkan sikap pertemanan anda, maka saatnya bertanya. Benarkah ia seorang teman?

Saya belajar dari beberapa kali pengalaman. Menaruh kepercayaan pada orang-orang di dekat saya. Menganggap mereka teman dan tak jarang bahkan menganggap seperti saudara. Saya menempatkan diri sebagai seorang teman yang setara dalam membina kebersamaan. Berharap demikian pula sebaliknya dari orang yang saya anggap teman. Tetapi banyak kali dari pengalaman tersebut saya dikecewakan atau terkecewakan. Kecewa mengingat pada praktiknya nilai pertemanan tak ubahnya seperti kumpulan sampah. Tak pernah berguna dan hanya sebatas hanya polesan relasi saja.

Beranjak dari kekecewaan ini, saya melihat kembali betapa lekatnya saya pada yang namanya pertemanan. Berharap banyak dari orang-orang yang saya anggap teman. Berharap agar mereka mau berbicara dari hati ke hati, berharap ada yang bertanya tentang keadaan saya, berharap mereka mengerti kesulitan saya, berharap dan berharap. Tetapi banyak kali, seperti yang saya utarakan sebelumnya, orang yang saya anggap teman malah berpaling. Tak jarang malah muncul suatu waktu menjadi lawan yang tanggung. Menyerang dari rimbunan kekosongan. Bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan sinyal pertemanan yang kita berikan.

Maka belajar dari itu saya berpikir bahwa tidaklah patut kita hidup dalam kelekatan akan pertemanan. Tak baik kiranya bila hati menjadi risau melihat teman ternyata tak lebih dari sekadar kata TEMAN. Tak elok bila menaruh harap dan kepercayaan pada teman yang hanya pajangan semata. Maka beranilah membuka mata dan hati sambil menyadari bahwa kadangkala teman tak lebih dari seorang lawan. Maka hadapilan kenyataan.

Minggu, 10 April 2011

SEJARAH HIDUP DAN LUKA BATIN

Suatu saat dalam salah satu fase Program MAGiS (Program Pendalaman Spiritualitas Ignasian) yang saya ikuti beberapa tahun silam. Dalam bagian program kami diminta menuliskan sejarah hidup masing-masing. Secara sederhana, tiap-tiap kami diminta menulis pengalaman hidup sejak usia kanak-kanak hingga kini, sejauh ingatan. Saya mengerjakannya dengan lumayan baik, kendati ingatan soal waktu tidak dapat secara jelas saya uraikan. Seolah seperti menulis miniotobiografi.

Ketika dalam suatu sesi saya ditanyakan mengenai sejarah hidup saya, dengan tersenyum bangga karena telah menyelesaikan tugas, saya mengatakan hidup saya baik-baik saja. Pertanyaan yang sama diulang dan saya masih menjawab dengan jawaban yang sama, hidup saya baik-baik saja. Lantas saya diminta untuk membaca ulang sejarah hidup saya dengan merasakan secara sadar tiap-tiap pengalaman dalam kisah tersebut. Pada bagian tertentu dalam sejarah hidup yang saya tulis dan baca kembali dengan sadar, saya tertegun dan merasakan bagian dalam diri seperti tertarik ke dalam satu kalimat di sejarah hidup tersebut. Saat, pertanyaan yang sama oleh pendamping rohani diajukan sambil menatap dalam ke arah mata saya, tak sadar air mata saya jatuh.

Ternyata setelah melewati proses sharing dalam pendampingan saya sadar bahwa pada bagian sejarah tersebut, ada yang tidak tuntas dalam hidup saya. Saya tidak menyadarinya selama itu, hingga akhirnya dalam kesempatan program tersebut saya mengenali istilah luka batin. Secara umum Luka batin adalah sebuah peristiwa atau pengalaman yang sangat mengguncang atau menyedihkan sehingga melukai perasaan/batin kita. Peristiwa atau pengalaman ini dapat menciptakan trauma yang membekas dan melekat sampai ke batin yang paling dalam.

Melalui Program Magis saya mengenali luka batin saya dan mencoba menyembuhkannya melalui olah diri dan hati. Fase-fase berat yang tidak bisa saya lupakan indahnya. Demikian membekas hingga saya mensyukuri proses tersebut yang tidak semua orang memiliki kesempatan mendapatkannya. Hari-hari ini setelah mengingat kembali pertama kali saya menemukan luka tersebut, sedikit demi sedikit hidup saya kian membaik dari dalam, bukan dari luar diri saya. Saya menemukan betapa sekarang luka tersebut perlahan disembuhkan oleh penerimaan dan kesediaan berdamai dengan masa lalu. Hari-hari ini setelah sekian tahun, saya menikmati buah-buahnya yang kian matang dan berasa manis.

Demikianlah setiap orang pada akhirnya memiliki sejarah hidupnya masing-masing. Tiap-tiap sejarah kita tidak menutup kemungkinan adanya bagian luka yang sama seperti yang saya miliki. Kesadaran kita yang mampu mengantar dan membawa penyembuhan. Sebab kesadaran sebagaimana lazimnya hanya dapat kita pahami sebesar kurang dari 20% dari kesadaran yang seutuhnya. Sekadar contoh saat kita tertawa, seberapa kita sadar alasan MENGAPA KITA TERTAWA. Biasanya yang terjadi kita tertawa dan yang hanya bisa kita sadari adalah bahwa kita gembira. Jarang kita sampai pada titik mula kegembiraan dan tawa. Apalagi sampai pada titik akhirnya yakni syukur.

Maka mengingat kesadaran lapis luar kita begitu terbatas, kerap kali kita kurang menaruh perhatian pada kondisi kita saat ini yang sebenarnya berada pada satu garis rantai dengan masa lalu kita. Sejarah hidup menyatukan mata rantai yang ada dan kesadaran yang baik membantu kita mengenali mata rantai persoalan kita di masa lalu. Dengan mengenalinya kita dapat kembali ke bagian mata rantai pengalaman tersebut yang potensial menyimpan luka batin. Kembali menatap pengalaman tersebut dan menangisinya untuk sejenak sambil mengulurkan kesadaran dan menerimanya. Menerimanya sebagai bagian dari hidup kita dan mencoba berdamai dengannya.

Pada fase demikian, menerima apa adanya diri kita memiliki daya dorong untuk kita menjadi pribadi yang lebih utuh. Pribadi yang berani melangkah menuju masa depan sambil belajar dari olah pengalaman kita di masa lalu. Memandang hidup dengan lebih baik dan penuh syukur.

Bila kita memiliki sejarah hidup masing-masing, maka barangkali disana pun ada luka batin yang terpendam dalam sekali dibawah alam sadar kita. Setiap mereka yang mengerti dan berani mengolahnya, dapat memetik buahnya untuk kehidupan yang lebih baik. Be MAGiS!

Sabtu, 09 April 2011

KELUARGA, MASIHKAH BERHARGA?

Setiap kita berasal dari keluarga. Keluarga merupakan ruang pertama dan utama dalam kehidupan kita. Sukses tidaknya hidup kita mau tidak mau selalu berkaitan dengan relasi kekeluargaan. Setiap pengalaman dalam keluarga membentuk kehidupan kita kini dan masa yang akan datang.

Saat-saat kritis bisa saja terjadi dalam jalinan kekeluargaan. Bukan tidak mungkin menjadi krisis berkepanjangan. Situasi demikian dalam pertalian keluarga jelas bukan hal yang diinginkan. Kondisi tersebut cenderung menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita.

Bila anda memiliki keluarga yang senantiasa hidup dalam disharmoni, belajarlah mengalahkan sikap ego dalam diri kita masing-masing. Ego cenderung menghantar kita pada sikap menyerang dalam keluarga. Serangan demikian ini jelas dapat menggerogoti pula sendi-sendi masa depan anda.

Maka bila ingin memperbaiki hidup, baik bila anda mencoba mulai dari lingkungan keluarga. Memulainya dengan penuh kesadaran dan cinta. Mensyukurinya sebagai harta yang berharga bagi kita.