Pilihan

Jumat, 23 Oktober 2009

The Sleeping Dictionary

I have watching it a few minutes ago. I've learn from this movie when I could closing my eyes at Wisma Drijarkara, this morning. This movie show me how the truth love will lending you out from your dark side. Love should be equal and need a sacrifice also. I'm so great full to take some enligtening this morning, even I should pay it with rearrangement my Sleeping Time.

WMD Semarang, 04.43

Kamis, 22 Oktober 2009

LIRIH HIDUP SARJANA


Pria itu sedang galau. Tampaknya ia tak tenang dan kegelisahan terpancar dari air mukanya. Sudah hampir sejam ia mondar-mandir di pelataran margasiswa menjelang temu anggota PMKRI St. Thomas Aquinas Yogyakarta sore itu.
Saat pertemuan yang mendiskusikan mengenai komersialisasi pendiidkan berlangsung, pun ia tetap tak bisa tenang. Gelisah dan menunjukkan ketidaknyamanannya. Sudah empat kali ia beranjak keluar dari ruang pertemuan. Kelima kalinya ia keluar ruangan seraya mengangkat ponselnya. Simamora yang menjadi moderator pertemuan tampak memperhatikan tingkahnya. Aku tersenyum saat sorot mata Simamora menuju arahku.
Usai pertemuan berlangsung, kutawarkan pada Simamora untuk mengajak pria itu ke Djambur, sebuah warung kopi di seputar UGM. Saat kami mengajaknya, tampak ia ragu sampai akhirnya mengangguk setuju. Dari margasiswa kami pun melaju.
Sekitar pukul 22.00 WIB saat kami tiba. Suasana lengang tak seramai biasanya. Tampaknya para mahasiswa dari Tanah Karo yang jadi pelanggan utama warung kopi tengah mudik liburan. Kami mengambil tempat di sisi utara. Sambil menuliskan pesanan sesekali aku mengarahkan pandangan ke layar televisi, pertandingan sepak bola antar klub Eropa tengah berlangsung.
Setelah menyerahkan pesanan, aku mengambil posisi yang nyaman sambil bersandar. Simamora mengangkat tangan pada beberapa kenalan yang melambaikan tangan kearah kami. Mataku menangkap jiwa yang hampa pada pria itu. Matanya seakan menerawang jauh.
Saat pelayan tiba, segera saja kusambut pesanan kami. Setelah menyampaikan terima kasih aku mengedarkan minuman. Pertama pada simamora yang duduk disebelahku dan berikutnya pada pria yang tengah gelisah itu.
“ Jana, bagianmu “ ujarku membuyarkan lamunannya.
“ O, iya “ sahutnya. Ia mengulurkan tangannya menyambut minuman ditanganku.
“ Tampaknya kamu sedang gelisah, Jana “ Simamora angkat bicara.
“ Apakah ada yang ingin kamu ceritakan” sambungku
Asep Sarjana menggelengkan kepala. Teman seperhimpunan dari Jawa Barat ini tampak menjaga sesuatu dari kami. Wajahnya menunjukkan keraguan untuk bercerita.
“ Bah, kalau tidak ada, mari kita main catur saja “ ujar Simamora sambil melirik kearahku. Saat itu gerimis mulai turun.
“ Sebenarnya … “ suara Sarjana tertahan
Simamora tampak tersenyum puas. Tawarannya bermain catur berhasil memancing pria itu untuk berbagi cerita. Aku menempatkan diri untuk mendengar apapun yang hendak diceritakan Sarjana.
“ Sebelum pertemuan tadi ayahku memberi kabar “ ujarnya dengan suara berat
“ Rumah kami di Kuningan menjadi korban perusakan dan pembakaran sekelompok massa “ sambungnya yang membuatku terperangah. Simamora mengernyitkan keningnya.
Sesaat setelah menegakkan kepalanya, ia kembali bercerita. Sore tadi di desanya terjadi aksi massa yang mengarah ke rumah salah seorang tetangganya. Massa itu datang dari luar desa dengan mengusung simbol organisasi mereka sambil meneriakkan penolakan terhadap tetangga Sarjana yang diduga terlibat dalam salah satu kelompok aliran sesat. Massa awalnya hanya berorasi menyampaikan penolakan saat ayahnya baru saja tiba. Namun selang beberapa waktu massa mulai menunjukkan sikap arogan dengan melempari rumah tetangga mereka. Ketua RT bersama ayahnya dan ditemani seorang kepala polisi yang tiba dengan belasan anggotanya berupaya menenangkan massa.
Himbauan dari aparat desa dan kepolisian setempat ternyata tidak digubris. Sebaliknya massa makin beringas dan keadaan makin tak terkendali. Aparat kepolisian dan warga setempat yang berusaha menenangkan tak mampu membendung aksi perusakan lebih lanjut. Rumah tetangganya dilempari dan beberapa rumah lain turut menjadi korban, termasuk rumah orangtua Sarjana. Kepanikan tak dapat dielakkan tatkala nyala api mulai tampak membubung dari sisi yang berlawanan. Ada oknum yang melemparkan botol bersumbukan api kearah rumah. Segera saja situasi tak terkendali. Beberapa warga terluka dan aparat tak mampu berbuat sesuatu untuk mengendalikan situasi.
Kejadian itu berlangsung dalam hitungan satu jam. Satu jam yang menghebohkan dan menimbulkan trauma bagi warga setempat. Ayah dan keluarga Sarjana berhasil menyelamatkan diri, namun rumah dan isinya terlanjur habis dilalap si jago merah.
Sarjana tampak emosional. Air mukanya berubah sedih bercampur geram. Simamora tertunduk lesu mendengar penuturan rekan kami itu. Aku sendiri tak dapat menyimpan keprihatinanku. Amarah bergejolak dalam diriku tak bisa menerima kalau keluarga yang tak berdaya itu harus kian menderita karena ulah oknum tak bertanggungjawab.
Aku kini bisa memahami apa yang terjadi dibalik kegelisahan Sarjana. Pastinya ia tengah mengkhawatirkan keluarga dan desanya. Saking emosinya hingga aku tak sadar mataku berkaca-kaca mendengar cerita pilu Sarjana.
Sulit bagiku membayangkan keadaan sarjana. Sebulan lalu pernah ia berkisah tentang susahnya kehidupan keluarganya. Tentang kesulitan ayahnya yang hanya seorang buruh tani untuk mengatasi tunggakan biaya studi dirinya dan empat orang adiknya.
Ayahnya yang bersahaja memiliki impian besar terhadap anaknya. Impian polosnya adalah bisa menyaksikan anaknya meraih gelar sarjana untuk memperbaiki keadaan keluarga. Impian yang dibangun sejak putera pertamanya lahir dan diberi nama Sarjana. Nama yang sarat dengan harapan.
Harapan yang sederhana itu pula yang membuat ayah Sarjana rela menjual tanah warisan keluarga demi membiayai kuliah Sarjana. Kendati puteranya bisa meraih beasiswa karena prestasi, tetap saja itu tak mampu menutupi berbagai kekurangan biaya studi dan biaya hidup. Sarjana masih harus kuliah sambil nyambi jadi loper koran.
Sisi lain dari kehidupan Sarjana itu yang membuatku merasa dekat dengannya. Aku bisa merasakan sesaknya kehidupan Sarjana yang tak jauh beda dengan kehidupanku. Sikap soliderku timbul, namun ia tak cukup mengatasi perih hidup Sarjana.
“ Besok pagi aku segera ke sana “ suara pelan Sarjana mengusik batinku
Sebulan lalu saat Sarjana dan aku berbagi cerita kehidupan, kami masih bisa saling menguatkan. Ia masih bisa tersenyum tegar mendengar saranku. Namun saat ini semua berbeda. Mendengar kisahnya, aku kehilangan kata-kata. Tak mampu memberinya saran kecuali sebuah tatapan penuh arti. Sekarang sebuah diskusi dan proses dialektika jadi mati rasa. Ia kehilangan daya dorong perubahannya dan tak berarti dalam cerita kepiluan hati.
Sarjana kini sama denganku dan puluhan juta sarjana lain yang hidup di kubangan ketidakadilan. Ia kini menjadi bagian dari objek diskusi Jumat malam dan pemeran dari kisah pilu kehidupan. Lemah dalam ketidakberdayaan terhadap sistem yang menindas.
Langit semakin gelap dan hujan makin deras mengguyur kota Jogja. Kami larut dalam kebisuan dan dinginnya hawa malam. Segelas kopi terabaikan dan kian dingin tanpa disentuh. Seandainya perihnya penderitaan sama cepatnya berlalu seperti kehangatan segelas kopi.

Yogyakarta menjelang Natal 2007