Pilihan

Senin, 29 Januari 2007

CaTatAn!

Kemarin sore dalam rapat di Wisma Mahasiswa Katolik, aku benar-benar
merasa lelah dengan perdebatan yang ada. Hari ini aku bahkan demam
karena kecapean menggarap konsep acara dan survei ke Kaliurang. Aku heran juga dengan kekhawatiran seorang teman yang tanpaknya berasal dari Karya Kerasulan Mahasiswa (K2M) akan pendirian Forum Persaudaraan Keluarga Mahasiswa Katolik yang aku gagas. Wuhhhhh ... semoga aja persiapan Week End bersama teman-teman mahasiswa katolik dari 9 kampus ini tidak jadi kacau. Tuhan Berkati aku!

Rabu, 24 Januari 2007

My Superhero!


 I want fly with You my lord. Bring me to the blue sky.

CatAtAn!

Hari ini Fenny (My First Lady) mengirimkan kata-kata bijak tentang cinta. Menarik untuk dibaca. Trims yach!  

Sabtu, 20 Januari 2007

CatAtAn!

 Hari ini di Warung Burjo aku diskusi dengan Kevin-Mahasiswa Manajemen Trisakti Jakarta, tentang panggilan hidup membiara. Pandangannya sebagai seorang Kristen jelas berbeda dan dangkal tentang hidup membiara. Aku sedikit menjelaskan tentang tantangan berat yang harus diadapi saat memilih membiara atau berkeluarga, yakni kesetiaan pada panggilan dan pada pasangan. Kevin yang menduga para imam Katolik itu 'dikebiri' (Maaf) mendapat pandangan baru saat aku menjelaskan bahwa itu jelas salah dengan pandangan yang kumiliki. Diskusi berakhir dengan senyuman dan komentar Kevin. "Ternyata, menjadi Romo itu tidak semudah yang aku bayangkan" Ujarnya sambil mentraktirku hari ini.

Kamis, 18 Januari 2007

CaTatAn!

Hari ini di UGM aku mengikuti bedah buku Gus Dur. Dengan para pengulas dari PBNU dan rekan-rekan Gus Dur dari Muhammadyah acara ini jadi menarik. Sayang, Gus Dur berhalangan hadir, tapi bukunya : "Islamku, Islam Anda, Islam Kita"-kumpulan tulisan-tulisannya, memang patut dibaca.

Kamis, 11 Januari 2007

PUiSi!

TiadA

Tiada spertimu
Tiada ......
Tiada sepertimu
Tiada ........
Selain dirimu di hatiku!

PuIsi!

SungguH

Sungguh ...
Aku lelah dengan semua ini
.................................................
Sungguh ...
Aku merasa cukup sampai disini
..................................................
SungguH

CeRpEn CeRiA!

CInTa ValenTina

Siapa tidak kesal kalau menunggu terlalu lama. Sudah senja, hujan deras lagi.
Apes benar nasib Bona hari ini. Pakaiannya sudah mulai basah dan tempat ia
berteduh semakin dipadati pejalan kaki yang mencoba melindungi diri dari hujan.
Tempat itu hanyalah sebuah kios kecil dipinggiran jalan yang sudah tutup.
Tadinya Bona berteduh disitu bersama seorang bocah kecil yang sering ngamen
disekitar tempat itu. Sekarang beberapa pejalan kaki menambah sesak tempat itu.
Tempat itu bagaimanapun hanya sebuah kios kecil dengan atap yang juga sudah
karatan bahkan bocor.
Lengkaplah sudah kekesalan Bona. Pakaian basah, yang ditunggu belum juga datang,
sementara ia harus berdesakan dengan para pejalan kaki yang berteduh dari
guyuran hujan. Bona sejenak menyadari kalau disitu hanya dirinyalah seorang
lelaki dengan seorang bocah pengamen itu, selebihnya adalah ibu-ibu paruh baya.
Bona menghela nafas dan pada akhirnya menyerah lalu berlalu dari situ. Tanpa
berusaha melindungi dirinya ia berjalan dibawah guyuran hujan menuju ke kosnya.
Toh bagaimanapun ia sudah terlanjur basah.
Bona mencoba memejamkan mata dalam selimut kesayangannya. Dingin mulai
merasukinya tanpa ia sadari. Ia benar-benar tak bisa menerima peristiwa hari
ini. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya sendiri. Janji ke gereja bareng malah
diguyur hujan dalam kesendiriannya. bona benar-benar tidak habis pikir dengan
sikap kekasihnya yang sudah 2 tahun ini mendampinginya. Ia kesal luar biasa.
Sambil berbaring ia melihat ponselnya yang mengalami kerusakan karena ia lupa
untuk mengamankannya. Barangkali karena terlalu kecewa sampai Bona bisa lupa
segalanya.
Sementara itu ditempat yang lain Alexia panik bukan main. Valentina saudarinya
tiba-tiba jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Alexia yang seminggu ini berlibur
mengunjungi Valentina sudah kurang lebih 3 jam menunggui Valentina yang tak
kunjung siuman di ruang perawatan rumah sakit. Ia benar-benar mencemaskan
saudari sulungnya itu. Valentina adalah segalanya bagi Alexia. Ia begitu
mencintai Valentina karena memang hanya mereka berdualah yang dimiliki orang tua
mereka. Dan mereka selalu akrab satu sama lain. Terlebih setelah Alexia tahu apa
yang dialami Valentina.
Alexia menitikkan air mata, tak mampu ia menahan kesedihannya. Gadis itu tak
kuasa melihat keadaan Valentina yang terbaring lemah dengan infus ditubuhnya.
Alexia tak memahami keadaan saudarinya itu. Ia hanya tahu bahwa akhir-akhir ini
Valentina terlalu kelelahan membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja di salah
satu stasiun Radio. Dan ia tak mampu menduga penyakit apa yang diderita
Valentina. Bahkan dokter belum memberi keterangan medis.
Alexia terkesiap ketika terlintas wajah Bona dalam benaknya. Bona, kekasih
kakaknya yang baru ia kenal beberapa hari lalu, pastilah belum mengetahui
kejadian ini. Gadis berambut ikal itu lalu mencari ponsel Valentina dalam
tasnya, lalu mencari nomor Bona. Ia baru memasang ponsel itu di telinganya dan
suara operator membuatnya kalut bukan main. Tak bisa disambungkan. Ia mencoba
hingga beberapa kali hingga ia sekali lagi tak mampu menahan tangisnya. Alexia
makin kalut, kegelapan malam serta hujan seakan menggambarkan suasana hatinya.
Ia terisak hingga terbawa dalam tidur karena kelelahan. Bahkan ketika seorang
perawat menyelimuti tubuh jenjangnya yang terbaring di sofa kamar perawatan itu,
ia pun tetap larut dalam tidurnya, dalam mimpi yang menyedihkan.
Selama itu, Alexia bisa mengenali sosok wanita yang berjalan didepannya. Itu
sosok Valentina. Alexia bingung menyaksikan pemandangan itu. Ia bahkan tak tahu
dirinya sedang berada dimana. Semua tampak putih di matanya. Suasana tempat itu
sungguh luar biasa unik tapi tetap Alexia merasakan kesenyapan yang aneh dalam
dirinya. Dan Valentina, kemana pula ia hendak berjalan. Jalan yang ditapakinya
itu mengarah pada cahaya yang lebih berkilau dari yang lain. Bahkan sepasang
mata Alexia tak kuasa menahan kilauan cahaya yang dituju Valentina. Alexia
berusaha menggapai kakaknya dan terus berteriak memanggil namanya, namun sosok
Valentina terus saja berjalan tanpa sekalipun menoleh padanya. Alexia terus
berteriak terus mencoba menggapai tubuh kakaknya namun sepasang tangan kuat
mencekal lengannya. Ia tak bisa menggapai lebih jauh dan Valentina semakin jauh
dari pandangan. Histeria Alexia tak tertahan.
" Alexia!! Alexia!! Sadar Alexia!! " Alexia merasakan seseorang memanggil
namanya. Sosok yang mencekal lengannya itu tampaknya ia kenal. Semua serba
putih. " Alexia!! Buka matamu, ini aku!!" Suara lirih itu dikenalnya. Suara
orang yang mncekalnya. Ia perlahan membuka mata dan bisa melihat dengan jelas
lelaki yang ada didepannya masih mencekalnya.
" Mas Bona..?" Alexia terisak kembali lalu merangkul lelaki itu, mencoba
menumpahkan kesedihannya.
" Tenanglah Alexia.." Bona mengusap rambut ikal Alexia " Semua akan beres " Dan
lama sampai akhirnya isak tangis Alexia mulai mereda. Ia mencoba menenangkan
dirinya sambil menarik napas dalam-dalam. Ia melirik jam dinding, tepat pukul 01
pagi. Ia bahkan tak menyadari kalau Bona sudah berada disitu hanya beberapa saat
setelah ia tertidur.
Bona membiarkan Alexia menyandarkan diri di sofa. Lelaki bertubuh atletis itu
melangkah menghampiri Valentina yang terbaring tak berdaya. Ia memegang tangan
gadis itu, mencoba menyapanya dalam bahasa yang berbeda. Bahasa cinta dua
manusia. Bona ingin Valentina bisa merasakan kehadirannya dalam
ketidaksadarannya. Mata Bona berkaca-kaca tak kuasa melihat keadaan kekasihnya
Valentina. Ia menyesali kecurigaannya beberapa waktu lalu. Ia baru memahami
ketika sadar bahwa selama ini Valentina belum pernah sekalipun mengecewakannya.
Dan kesadaran akan cintanya itu pula ia merasakan sesuatu telah terjadi dengan
kekasihnya itu. Sesuatu terjadi pada Valentina.
Bona menyapa jiwa Valentina yang hampa dan memohon dari sisi yang lain untuk
kesembuhan gadis bermata indah itu. Keindahan yang tampak redup dalam
keadaaannya. Bona berusaha menegarkan dirinya sendiri dan Valentina dalam bahasa
jiwanya. Alexia diam tak bergeming, membiarkan kebisuan meredam kesedihan
diantara mereka.
Alexia pada akhirnya memutuskan untuk menghubungi orang tuanya. Ia tak mampu
menjelaskan banyak. Isak tangisnya yang terdengar di telepon cukup menjelaskan
betapa Valentina mengalami sesuatu yang berat. Orang tua yang jarang saling
menyapa itu pada akhirnya memahami ini masalah puteri mereka, masalah mereka
sebagai orang tua. Valentina meredam ketidakcocokan orangtuanya dengan keadaan
lemahnya. Dua manusia paruh baya itu saling berangkulan, saling menegarkan diri
menghadapi keadaan. Mereka mempersipkan keberangkatan secepat mungkin menuju
Yogyakarta.
************************
Sepanjang hari ruang perawatan Valentina seolah tak pernah kosong.
Rekan-rekannya berdatangan menjenguknya dan memberikan dukungan bagi bona dan
Alexia. Semua memberi perhatian dan doa mereka walau hanya dalam kebisuan dan
ekspresi kesedihan. Tak satupun diantara mereka yang menyangka Valentina, wanita
penyabar dan dikenal tegar dan selalu ceria itu bisa terpuruk dalam keadaannya.
Bona membiarkan Alexia menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia tak mampu melihat
keadaan gadis itu saat mendengar keterangan dari Dokter yang menangani kesehatan
Valentina. Vonis dokter seakan menekan jiwa Alexia, juga Bona yang dalam
ketegaran mengalami kerapuhan dalam dirinya.
Alexia memandang lemah pada orangtuanya yang hanya mampu terpaku diambang pintu.
Alexia melangkahkan kakinya yang dengan tangan gemetar memeluk ibunya. Kebisuan
bertambah dalam dan menyakitkan. Ibu dan anak itu tercekam dalam kesedihan. Bona
memandang pada sosok lelaki yang terpaku diantara Alexia dan ibunya, tak seperti
apa yang pernah diceritakan valentina lelaki itutampak kusut dan lemah. Sorot
mata lelaki itu berbeda jauh dengan yang diketahuinya dari kisah kepedihan
Valentina. Sosok ayah yang tak pernah bisa menerima pilihan Valentina dalam
menjalani hidup. Sosok ayah yang selalu memaksa Valentina untuk berjodoh dengan
pilihannya bahkan meminta anaknya sendiri untuk berhenti kuliah demi
keinginannya. Keinginan untuk bisa menikahkan Valentina dengan putra salah
seorang temannya yang kini terpandang di daerahnya bahkan di kancah perpolitikan
nasional. Lelaki yang kerap mengancam menceraikan istrinya bila Valentina tak
memenuhi keinginannya. Tak aneh bila hampir setahun ini Valentina berusaha
memenuhi kebutuhannya sendiri. Ayahnya tak berkenan lagi membiayai kuliahnya.
Begitu beratnya persoalan yang harus dihadapi Valentina. Dan dari lubuk hatinya
Bona tahu kalau Valentina bahkan menentang kehendak orangtuanya, menegarkan
dirinya sendiri dalam keterasingan, demi cintanya. Demi cinta pada Bona yang
selama ini memberinya arti kasih dan hidup.
Valentina sudah terlalu banyak menderita bukan hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi juga untuk cinta mereka berdua. Sudah beberapa kali mereka berdua pergi
ke gereja untuk mencari kekuatan cinta dalam doa novena, dan mestinya hari ini
mereka akan memasuki doa hari kedelapan mereka. Memang doa itu tetap dilanjutkan
berdua, walau dalam keadaan dan bahasa yang berbeda. Ia sangat yakin Valentina
berdoa bersamanya. Bona merasakan jiwanya terpuruk.
Segalanya menjadi hampa dan sulit untuk dipahami. Alexia, ayah dan ibunya, Bona
dan Valentina larut dalam kesedihan yang sama. Kesedihan yang bercampur dengan
penyesalan, doa, dan ketidakberdayaan. Walau sulit namun Bona mencoba menerima
penyesalan ayah Valentina yang dengan tangis kepedihan memeluknya.
" Tak seharusnya bapak melakukan ini, nak Bona " suara lirih penuh penyesalan
terngiang di telinga Bona. Dalam kepedihannya pun ia mencoba menghibur keluarga
tercinta kekasihnya itu.
Malam kian larut, Bona menyarankan Alexia untuk membawa orangtuanya beristirahat
di rumah kontrakan Valentina. Bona mencoba menenangkan mereka dan berjanji
menjaga Valentina. dengan berat hati mereka menerima saran Bona. bagaimanapun
orangtua itu menyadari kelemahan mereka yang sulit bertahan menjagai Valentina
dalam kesesakan jiwa mereka.
" Besok pagi pagi sekali, kalau bapak dan ibu sudah cukup tenang, kita bisa
bersama lagi menjagai Valentina." Bona memandang Alexia " Alexia, temani bapak
dan ibu, ya " ujarnya.
" Terima kasih, mas Bona " balas gadis itu lirih " saya bersama bapak dan ibu
secepatnya akan datang esok " ujarnya sambil mengemasi beberapa barang yang
harus dibawa pulang. Ibu Valentina menggenggam erat tangan Bona sambil
berterimakasih. Bona merasakan permohonan dan rasa iba dari sorot mata ayah
kekasihnya, ketika lelaki itu menepuk pundaknya pelan dengan tangan yang
gemetar.
Kini hanya ada Bona dan Valentina. Bona menggenggam lembut tangan Valentina dan
dengan bahasanya sendiri mengajak gadis lemah itu memulai novena hari terakhir
mereka. Tak ada yang lain di ruang perawatan itu selain doa dan sebuah harapan.
Dalam doa itu sedikit terselip pinta yang berbeda dari Bona, kesembuhan
Valentina.
**************************
Pagi itu cuaca cukup cerah. Walau begitu, cerahnya hari tak mampu merasuki
kepedihan hati Bona. Ia masih bisa melihat semua peristiwa itu. Ia bahkan masih
mampu mengingat sorot mata gadis pujaannya yang seakan mengatakan gadis itu
benar-benar mencintainya bahkan dalam detik-detik terakhir hidupnya. Sorot mata
yang terbuka sejenak setelah doa novena itu berakhir. Sorot mata yang dibukakan
oleh suatu keajaiban. Bahkan walau hanya sesaat mata itu menatap wajahnya Bona
merasakan cinta yang luar biasa terpancar dari rona wajah Valentina, bahkan
hingga mata itu kembali terpejam. Terpejam dalam cinta dan keabadian.
Sepuluh tahun sudah berlalu namun semua masih membekas dalam benak Bona. sepuluh
tahun tak mampu menghilangkan kebesaran cintanya pada Valentina. ia berjanji
pada dirinya sendiri, ia pun akan membawa cinta Valentina bersamanya untuk
selamanya. Sama seperti Valentina telah membawa cintanya dengan senyum keajaiban
saat ajal pada akhirnya merengkuh jiwanya. Sepuluh tahun sejak kematian
Valentina, tepat pada saat orang merayakan kebahagiaan Valentine, tepat saat
gadis yang dicintainya itu menyambut ulang tahunnya yang terakhir. Valentina
mengawali dan mengakhiri hidupnya dengan cintanya dengan keajaiban Valentine.
Keajaiban yang mampu membuat Bona tegar dengan kehidupan cintanya.
Setangkai mawar dan sekotak coklat tergeletak tepat diatas pusara Valentina
saat. Bona tak tahu kapan ia akan kembali lagi dalam nostalgia cintanya di
pusara Valentina. Namun ia tetap bertekad untuk mengenang Valentine bersama di
pusara Valentina, selama ia bisa. Ia ingin merenungkan hakikat cinta yang tak
bisa musnah walau oleh kematian. Dan di pusara itu ia mampu merenungkan
segalanya. Karena ia yakin Valentina pun masih bersamanya, ada di kedalaman
hatinya. Menguatkan dan selalu tersenyum padanya.
Bona menyentuh salib mungil yang ada diujung nisan pusara itu. Ia menyapa jiwa
Valentina dalam bahasa doanya. Happy Valentine, Valentina!

PuiSi!

SIAPA

Siapa yang mampu mengartikan rona?
Siapa bisa menterjemahkan wajah yang berpura?
Siapa yang tahu aku terluka?
Tiada siapa selain Dia!
(Gua Maria - Maranatha)

CeRpEn CeRiA!

Met Valentine!

( Thomas Sembiring, Yogyakarta )

Alex tersenyum menatap Robi yang sedari tadi mendengarkannya di kamar kost
sahabatnya itu. Mendengarkan semua rencana Alex yang tidak terlalu mengagetkan
Robi. Sebuah rencana yang sesungguhnya pernah ada dalam benak kedua bersahabat
itu dan muncul saat masa SMU dulu. Tetapi agak berbeda keadaannya ketika rencana
itu kini ingin dijalankan kembali oleh Alex.
Robi belum menanggapi semua rencana Alex dan tawarannya untuk memenuhi semua
yang pernah ada dalam benak mereka dulu. Rencana yang hingga kini pun keduanya
belum mengerti alasan mengapa hal itu tidak terlaksana saat kelulusan dulu. Robi
mengarahkan pandangannya pada lembaran brosur yang ada di meja belajarnya yang
tadi Alex bawa sewaktu datang. Disana tercantum nama sebuah serikat imam
misionaris.
" Apa kamu benar-benar mantap, Lex? " tanyanya seakan belum yakin.
" Yup! Seperti yang kusampaikan pada kamu, sobat. Aku belum pernah merasa
semantap ini untuk memilih. Terus terang belum pernah " ujar Alex sambil menatap
Robi " Bagaimana denganmu sendiri? " Alex balas bertanya
" Entahlah sobat, sebaliknya kurasa. Aku sama sekali belum merasakannya "
" Aku tidak memaksamu, hanya sekadar menawarkan " Alex tersenyum " Siapa tahu
waktu telah menempa semangat dan panggilanmu " Robi terdiam " Aku harap kamu
berhasil dengan kuliahmu.., tapi kemungkinan untuk terpanggil itu selalu ada,
sobat. Selalu ada seperti adanya kemungkinan untuk tidak terpilih. Kuharapkan
dukunganmu ".
" Aku pasti selalu mendukungmu, Lex. Selalu dalam doaku " balas Robi sambil
menawarkan secangkir kopi hangat yang ada. Pembicaraan kedua bersahabat itu pun
menghangat dalam sekejap. Sehangat kopi dibawah langit kota Yogya yang basah
oleh hujan dalam sepekan. Tak ada yang dapat dibayangkan Robi saat mendengar
rencana Alex selain wajah seorang gadis manis, yang diyakini bakal menangis oleh
pilihan sahabatnya itu. Wajah yang setiap saat dengan antusiasnya mencari
keterangan tentang Alex darinya.
Seminggu berlalu sejak liburan sebulan penuh telah habis. Semua aktivitas Robi
mulai terasa melelahkan dengan jadwal kuliah yang padat dan tugas yang setiap
saat lumayan berat. Walau begitu rasa lelah baginya tak bakal sebanding dengan
hasil yang memuaskan saat menerima hasil ujian. Kecuali bagi yang memang sama
sekali tidak ingin lelah memperjuangkan kuliahnya. Dan Robi tahu, tugasnya
sebagai mahasiswa semester IV program diploma III adalah menuntaskan sisa masa
kuliahnya dengan tepat waktu dan hasil yang tentunya cukup memuaskan.
Robi melintasi ruangan Badan Eksekutif Mahasiswa ketika ia sadar bahwa disana
tengah terjadi diskusi menarik. Ia memutuskan untuk tidak bergabung sebelum
menyerahkan hasil Praktik Manajemen Pemasarannya pada Pak Petrus, dosennya. Ia
yakin pada rekan-rekannya. Biasanya hasil diskusi mereka bakal menarik dan pasti
unik. Apalagi ini diskusi tentang Valentine Kampus. Tentu saja ini benar-benar
bakalan menarik, pikirnya. Sebelum ia dipanggil oleh rekan-rekannya itu untuk
turut dalam diskusi, acungan jempol terpaksa diarahkannya pada Haris yang
terlanjur melihatnya. Ekspresi wajahnya seakan mencoba menjelaskan adanya
kepentingan lain yang mesti diselesaikan dulu.
Begitu urusan dengan dosennya selesai, Robi bergegas hendak bergabung bersama
rekan-rekannya di ruang BEM. Baru saja ia tiba didepan pintu ruangan dan
beberapa pasang mata yang ada disitu menyambutnya sambil tersenyum, Robi sadar
ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Sesaat menoleh ia melihat seorang
gadis manis sedang melangkah kearahnya dengan tampak terburu-buru. Ia mengenal
gadis itu sebaik ia mengenal harapan gadis itu pada seorang sahabat terdekatnya.

" Maaf teman-teman.. " Robi tampak kikuk " silahkan lanjutkan diskusinya. Aku
akan menyusul sebentar lagi " ujar Robi seolah tak melihat raut wajah mereka
yang tiba-tiba berubah bingung. Sandra yang ada disudut ruangan merasa
penasaran, ia berjalan dan melihat keluar pintu persis saat gadis yang tadi
memanggil juga sudah ada tepat dibelakang Robi.
" Ooo.., ada Cintya rupanya " spontan terdengar diskusi yang tadi sempat behenti
berubah topik ketika sandra menyebut nama gadis itu lumayan keras. Dan Robi
kenal suara Kris ketika ia nyeletuk dari dalam. " Valentine pribadi nech! "
celetuknya
" Maaf mengganggu kalian. Robi, bisa bicara sebentar? " Cintya memandang sejenak
lalu tersenyum manis pada Sandra yang bersandar ditepi pintu. Robi melihat
Sandra hanya bisa tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu pada yang lain di ruangan
itu.
" Nggak apa-apa kok, Lex. Lagian ini emang tanggung jawab Tim Kerja. Nanti aku
buatkan laporannya padamu. Udah, sana! Semua bakal beres dech " Sandra
menyakinkan Robi. Seperti biasa Robi tidak meragukan Sekretaris Bidang Kreasi
Seni dan Budaya Mahasiswa BEM yang satu ini. Ia cakap dan cerdas. Setidaknya
Robi yakin akan hal itu.
" Trims, Sandra " ujar Robi sambil berlalu mengikuti Cintya ke taman kampus.
" Sekali lagi maaf sudah mengganggumu " nada menyesal terdengar dari Cintya
" Nggak apa-apa kok. Lagian ada Sandra disana. Pasti beres " Robi tersenyum
sambil memuji paras wajah Cintya yang anggun, dalam hatinya tentu. Namun ada
perasaan tidak enak juga dalam hatinya. Perasaan yang belum saatnya ditunjukkan,
sesuai perjanjian.
" Bidang yang kamu ketuai udah membentuk Tim Kerja ya? " Robi bisa menebak kalau
pertanyaan Cintya sekadar basa basi. Sejatinya bukan yang ingin dibicarakannya.
" Yaa, sebelum libur kemarin. Kebetulan idenya mau ngadain Valentine dengan
nuansa budaya dan ragam etnik yang tentunya memang dibawa oleh kita
masing-masing dari daerah " Robi mencoba menguraikan sedikit rencana yang
diketahuinya beberapa waktu lalu. " Kamu juga boleh bergabung, kalau kamu mau.
Bukankah sedikit pemikiran dan ide tentang nuansa etik Bali dari kamu akan cukup
menarik? " Robi melihat gadis yang bernama lengkap I Gusti Agung Cintya Ayu itu
tertawa. Sekali lagi Robi sulit melukiskan kekagumannya pada pesona gadis Bali
yang kini tengah berada disisinya. Sesaat hening ketika tawa gadis itu mulai
mereda. Ia juga menatap Robi, kali ini sambil tersenyum. Robi agak grogi. Ge-eR
barangkali.
Cintya tertunduk sambil mencoba menyadari apa yang baru saja muncul dalam
benaknya. Aneh, suatu perasaan yang berbeda seolah muncul dari sosok Robi,
sahabat seorang pemuda yang dicintanya. Ia seolah tersadarkan ketika bayangan
wajah Alex yang tampan semakin menguasai pikirannya. Ia mengabaikan perasaan
aneh yang baru saja dialaminya.
" Robi, sebenarnya aku ingin tahu kabar Alex. Aku tak melihatnya dalam beberapa
waktu sesudah liburan ini. Dimana dia? " Ia tak lagi tertunduk tapi menatap Robi
penuh harapan akan Alex. Sesaat Robi terdiam. Sulit untuk menjelaskan, namun
lebih sulit lagi bila hanya diam dalam kebisuan. " Yach, dia baik-baik saja "
dan Robi sadar ia tidak sedang menjawab pertanyaan Cintya. " Emm, maaf, maksudku
ia masih ada urusan di Malang. Mungkin ia akan datang pada Valentine Kampus
besok " ujarnya sambil menyadari kalau baru saja ia benar tentang Malang, namun
salah besar tentang Valentine Kampus. Robi sadar ia dalam situasi sulit, dan
dipastikan Alex tak bakalan datang atau sekadar mampir dalam Valentine Kampus
besok. Ia tak mau menambah kekecewaan yang akan Cintya terima. Ia juga tak mau
merusak keindahan penantian Cintya pada sahabatnya, Alex.
Alex yang bodoh, pikirnya. Bagaimana selama ini bisa ia pura-pura tidak memahami
perasaan Cintya padanya. Bagaimana pula ia bisa bertahan untuk tidak menyatakan
rasa sayangnya pada Cintya yang sebenarnya juga senantiasa mengusik tidurnya -
Paling tidak begitulah yang diungkapakan Alex pada Robi setiap saat mereka
berdiskusi tentang Panggilan hidup yang sesungguhnya rumit dan sulit untuk
dimengerti. Alex yang bodoh, pikir Robi sekali lagi sebelum akhirnya ia berpikir
barangkali ia jauh lebih bodoh dari sahabatnya yang mantap dengan pilihannya
itu.
" Itulah misteri panggilan ini, dan sebuah misteri tetap akan menjadi misteri
bila kita tak terpanggil untuk berjuang keras memahami dan memecahkannya menjadi
intisari yang luar biasa " begitu ujar Alex membagikan hasil refleksinya pada
Robi sesaat sebelum kereta api membawanya berangkat melalui stasiun Tugu menuju
Surabaya dan selanjutnya tentu berakhir di Malang.
" Maaf Cintya, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau besok malam kita
bertemu di Valentine Kampus. Ada yang ingin aku sampaikan padamu " dan Robi bisa
melihat ekspresi wajah gadis itu yang keheranan " Oh.. dan tentu saja ini bukan
ajakan kencan. Jadi aku harap kamu tidak salah sangka dulu terhadapku " Robi
terpaksa tersenyum malu, khawatir kalimatnya barusan salah diartikan. Cintya
sekali lagi tertawa dan sekaligus mengejutkan ketika tangan kanannya mencubit
pergelangan tangan Robi.
" Waaoow " teriak Robi mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang tengah sibuk
berdiskusi di taman itu. Rona wajah Robi memerah, sesaat terdiam dan pada
akhirnya tersenyum malu. Sementara Cintya semakin menertawakannya yang tampak
lucu barangkali, menurutnya.
Kali ini sungguh berat, batin Robi.
Sekali lagi Robi tak lupa berdoa dalam hati agar terlepas dari masalah. Dan itu
semakin giat giat dilakukannya sejak ia sepakat dengan perjanjiannya bersama
Alex, sahabatnya. Ia bisa membayangkan bagaimana saat ini Alex sedang
menyesuaikan diri dengan kesejukan Malang dan tentunya bangunan yang kerap
disebutnya sebagai Penjara Kudus. Istilah yang tidak terlalu baik dan tidak
terlalu buruk untuk menyebut tempat yang dulu ingin ditujunya dan saat ini sudah
menjadi tujuan sahabatnya.
Acara Valentine Kampus berjalan cukup meriah dan benar-benar unik. Sekilas mirip
Perayaan Hallowen bila dilihat dari tata busana mahasiswa yang beragam. Tapi
yakin saja itu bukan kostum-kostum yang menggambarkan ketakutan dan misteri
melainkan busana warna-warni yang sarat dengan nuansa etnik. Disetiap sudut
dapat dilihat beragam warna yang berbeda. Kebanyakan yang berpasangan mengenakan
busana daerah yang sama. Tak jarang pula yang berbeda sehingga semakian menambah
keunikan tersendiri. Ada pria berpakaian ala Papua bergandengan dengan mahasiswi
yang mengenakan busana Jawa, pasangan lain dengan paduan serasi busana
Manado-Flores, dan banyak lagi. Tak kalah unik, grup band di panggung acara yang
mengenakan busana Jawa dengan rantai metal tetap tergantung dileher. Sulit
dibayangkan saat mereka harus bergerak energik dengan sarung yang seakan
membatasi jarak langkah kaki mereka, namun kenyataannya bisa saja, dan luar
biasa unik.
Aku tak bisa menahan tawaku ketika melihat Chriistianus dengan pakaian Betawinya
menggandeng seorang gadis cantik. Ia tampak berlagak seperti seorang pendekar
dalam cerita rakyat Betawi dan disisinya, si gadis manis dengan busana ulos
Batak mirip dengan ulos yang juga dikenakan Robi. Mereka melangkah kearah Robi.
" Boru Sidabutar, teman " bisik Kris pada Robi dan dengan senyum hangat Robi
mengulurkan tangannya pada gadis itu " Silalahi! " ujar Robi memperkenalkan diri
dan sebuah senyum juga tampak diwajah gadis itu. " Sidabutar! " balasnya. Dan
kulihat Kris agak protes dengan perubahan marga Robi dalam waktu singkat. Robi
coba menjelaskan sedikit, " Tak usah bingung Kris. Sembiring sama halnya dengan
Silalahi, sejauh yang kutahu " dan kulihat gadis Batak itu mengangguk setuju
lalu tersenyum pada Kris.
" Maaf sekali, aku harus meninggalkan kalian berdua. Happy Valentine! " ucapku
saat mendengar suara pujian beberapa teman di pintu masuk yang kalau tidak salah
menyebut nama Bali beberapa kali. Robi mencoba memastikan, dan tepat dugaannya,
itu Cintya dengan busana Bali yang menarik. Ia pun melihatku pada akhirnya lalu
tersenyum.
" Happy Valentine, Cintya! " Robi menyambut uluran tangan Cintya yang lembut.
" Happy Valentine, too! " senyumnya masih dapat terlihat merekah, penuh pesona.
Ia melihat sekeliling dan pertanda agar Robi sebaiknya menjelaskan semua pada
Cintya sebelum ia bertanya tentang Alex. Atau setidaknya membiarkan gadis itu
paham sendiri dengan situasi yang akan dihadapinya. Aku mengajaknya mencari
tempat yang cocok untuk situasi sulit yang sedang dihadapinya. Dan kemana lagi
pilihan kalau bukan di taman kampus, dimana beberapa pasangan lainnya menyalakan
lilin dan kembang api disana. Menurut keyakinan turun temurun segelintir
mahasiswa, setiap doa yang dipanjatkan dengan sebuah lilin merah dan dinyalakan
di taman kampus itu pada saat Valentine pasti akan dikabulkan. Barangkali saja
benar, kalau memang keduanya benar-benar tulus berdoa dan saling mencintai.
Kalau tidak? Sebuah hal yang tidak biasa lagi adalah Robi dan Cintya bukan
pasangan kekasih dan aneh bila mereka kebetulan memilih tempat itu. Robi memilih
duduk tepat di bangku taman yang disinari oleh terang lampu.
" Untuk apa kita kesini, Robi? " pertanyaan Cintya tampak wajar, walau sediklit
curiga kalau-kalau Robi bakal menyatakan sayang padanya. Tapi keyakinan yang
lebih besar dan ada dalam benaknya adalah : Robi mengatur pertemuannya dengan
Alex. Dan semua itu adalah pemikiran yang salah.
Cintya mencoba tenang dan menyembunyikan rasa penasarannya. Dalam hati ia
mengira-ngira dari arah mana Alex bakal datang dengan busana Batak seperti yang
dikenakan orang yang saat ini bersamanya, sahabat Alex, Robi sendiri. Ia
membayangkan kebahagiaan yang akan menghampirinya di Valentine tahun ini.
Bayangan yang sesungguhnya bakal menkadi bumerang. Cintya menepuk bahu Robi dan
melihat lelaki itu tertunduk tanpa semangat dan tanpa senyum. Ada apa? Batinnya.

" Cintya.." Robi tersenyum sekaligus sedikit melegakan Cintya. Gadis itu
membayangkan Alex yang datang padanya sambil menghadiahkan Cokelat dan sekuntum
Mawar. Sekali lagi ia mendengar dengan antusias kata-kata Robi berikutnya.
" Katakanlah, Robi! Dimana Alex? " Cintya kian penasaran " Kau hendak
mempertemukan kami, kan? " tanyanya dengan sebuah semangat.
" Maafkan aku Cintya " Robi terdiam lagi membuat gadis itu mencoba menebak
dengan pikiran positif. Ia mendesah dan terpaku menatap lilin-lilin bernyala
disekitar taman itu.
" Aku tahu, Robi! " Cintya coba meneruskan " Alex tidak bakal datang, kan? Ia
sudah memiliki kekasih dan ia sama sekali tak mencintaiku. Bukankah begitu? "
suaranya merendah
" Bukan sama sekali! " Robi memandang gadis itu yang tampak semakin bingung "
Aku tahu kamu gadis baik yang bijaksana dan cantik. Dan aku yakin kamu pasti
tahu apa yang terbaik bagi kamu dan bagi Alex " Robi bicara tanpa melepas
pandangannya dari Cintya yang juga memandangnya. Robi merogoh sesuatu dari saku
kemejanya dan menyerahkan amplop manis dengan ukiran hati berisi surat dari
Alex. Sambutan Cintya pada surat itu agak melegakan Robi. Ia ingin gadis itu
membaca sendiri surat Alex dan memahaminya. masih bingung, gadis itu mulai
membuka amplop dan membaca isi surat itu.
Hening .....
Sama sekali tanpa suara mereka berdua
Robi mengambil sapu tangan dari sakunya yang lain dan menawarkan pada Cintya
saat ia mulai melihat air mata menitik dan membasahi surat di pangkuan gadis
itu. Apa yang dulu dikhawatirkannya, benar-benar sedang terjadi. Cintya
menangis. Ia mengalami kesedihan yang teramat sangat. Cintya mengusap matanya
dan agak lama sampai akhirnya ia bicara seolah-olah Alex ada diantara mereka
berdua.
" Selamat Hari Kasih Sayang juga Lex, Cintya sayang ma kamu Alex.." dan sesudah
mengucapkan kalimat itu ada sebuah senyum getir terlukis dibibir gadis itu. Robi
mencoba mengerti dan memang ia akan mengerti. Walau begitu ia coba menghibur.
" Maafkan aku Cintya. Ini semua kulakukan atas permintaannya. Aku tak bermaksud
menyembunyikan semua darimu " suara Robi berisi penyesalan yang sesungguhnya tak
perlu " Walau aku heran dengan sikap dan pilihan Alex, tapi bagaimanapun aku
bangga padanya. Dan kuharap ini sebuah pilihan tepat baginya "
" Yachh..., itulah misteri panggilan yang disampaikannya dalam suratnya. Aku tak
bisa memungkiri bahwa selain aku mencintainya, aku juga harus bangga atas
pilihannya. Pilihan untuk masuk biara yang disebutnya 'Penjara Kudus'. Pilihan
menjadi seorang Imam misionaris " Cintya kali ini memandangku lebih tenang
dengan senyum yang belum juga hilang bersama titik air matanya.
" Penjara Kudus? " kata Robi datar lalu tertawa dan tak sadar kalau ia sedang
mengusik doa-doa pasangan yang ada di taman kampus. Ya, Robi mengusik doa mereka
dengan doa untuk Alex dalam hatinya. Robi tak menyadari gangguan kecilnya itu,
bahkan tak menyadari kalau Cintya tengah menyalakan lilin merah dan berdoa bagi
keberhasilan Alex - seperti yang diharapkan Alex darinya dalam suratnya.
Robi masih tertawa saat matanya juga mulai menitikkan air mata. Air mata
kebahagiaan atas seorang sahabat yang berani dan mantap dengan pilihan hidup,
setidaknya tidak sepertinya. Ia berada dalam proses pemaknaan jati dirinya. Sama
seperti masa-masa yang dialami Alex. Dan tampaknya Robi sedang menunggu saatnya,
seperti Alex yang juga berdoa dengan lilin merah untuk cintanya pada Cintya dan
untuk Robi.
Berdoa atas panggilan dalam meneladani Sang Guru.
(Didedikasikan untuk Calon Imam SVD Malang dari Aceh Tenggara. Horas!!)

CeRpEn CeRiA!

Cinta Suster Valentina


Dua insan itu masih terdiam satu sama lain. Masing-masing menyimpan sebuah
gejolak yang tak terungkapkan. Frans memandang gadis di sebelahnya dengan sorot
mata yang penuh cinta. Dalam lubuk hatinya ia menghadapi dilema. Satu sisi ia
menolak pilihan gadis itu, namun di sisi lain ia tak kuasa menghalangi pilihan
itu. Bagaimanapun gadis yang sudah 3 tahun menjadi kekasihnya itu punya alasan
yang tak kuasa ditolaknya. Ia mencoba melihat kedepan dan membayangkan
seandainya ia juga menghadapi situasi seperti dialami kekasihnya itu. Dan mau
tak mau juga ia harus mengakui bahwa dirinya juga mengalami hal yang sama.
Frans meraih tangan gadis itu, yang mulai menitikkan air matanya. Diusapnya air
mata itu dengan tangannya. Sungguh ia mencoba untuk bisa menerima semua itu.
Dikecupnya kening gadis itu dengan lembut. Dipandangnya sekali lagi lekat-lekat
wajah yang selama ini selalu menghiasi mimpi dan hari-harinya. Perlahan dengan
sorot mata yang mantap, Frans mengangguk memenuhi keinginan kekasihnya itu.
Sorot mata lelaki itu mencoba memberi kekuatan pada kekasihnya. Gadis itu
memeluk Frans seolah berterima kaih atas kebesaran hati Frans. Tak kuasa mata
Frans berkaca-kaca melihat tangis kebahagiaan kekasihnya.
Mereka berpisah. Berpisah karena cinta.
Senja itu Suster Valentina tengah menyiram tanaman mawar kesayangannya. Ia
tengah menunggu kedatangan seorang calon aspiran yang hendak bergabung dengan
tarekatnya. Calon aspiran itu berasal dari Jakarta. Sambil menunggu kedatangan
si calon, ia menyempatkan diri menyapa tanaman mawarnya.
Ia mendengar suara deru mobil memasuki garasi biara. Sambil membereskan letak
kerudung putihnya ia melangkah keluar menyambut si calon aspiran dan Suster
Andrea yang menyertai kedatangannya. Penuh kehangatan dipeluknya si calon yang
baru lulus SMA itu.
" Selamat datang Valentina " sapanya sambil menggenggam erat tangan gadis itu.
Ia tahu kalau gadis itu memiliki nama yang sama dengannya " Saya juga Valentina.
Suster Valentina " sambungnya sambil tersenyum hangat. Gadis itu balas tersenyum
atas keramahan Suster yang bakal mendampinginya selama menjalani masa aspiran di
biara itu.
Sehabis makan malam bersama, Suster Valentina memanggil Valentina ke ruangannya.
Segelas teh hangat telah tersedia di meja. Sebuah patung Bunda Maria dengan bayi
Yesus yang mungil juga ada disana bersama beberapa buku bacaan rohani. Dengan
sikap ramah Suster Valentina mempersilahkannya duduk. Ia sekali lagi menatap
paras manis gadis yang kini duduk didepannya. Ia jadi teringat ketika ia pertama
kali memasuki masa aspirannya sama seperti gadis itu.
" Baiklah Valentina " ujarnya " Sekali lagi selamat datang, dan Suster harap
kamu betah tinggal bersama kami disini. Katakan nak, bagaimana aku harus
membedakan nama kita yang sama. Oya, nama lengkap kamu siapa? " tanyanya lebih
lanjut.
" Fransiska Valentina. panggil saja saya Vale, suster " jawabnya. Suster
tertegun mendengar jawaban gadis itu.
Suster Valentina merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Nama itu sungguh
indah dan unik baginya. Nama yang mengingatkannya pada seseorang dan tentunya
pada dirinya sendiri. Vale, itu panggilan sayang yang pernah diberikan kepadanya
semasih kuliah dulu. Saat ia belum menjadi seorang Suster seperti sekarang.
" Maaf Suster " Vale menyadarkan Suster Valentina " Apakah ini berarti, besok
suster juga merayakan ulang tahun? " pertanyaan gadis muda itu membuat Suster
Valentina sekali lagi tersenyum mengangguk.
Setelah bercengkerama cukup lama, Suster Valentina mengajak gadis itu untuk
turut dalam ibadat malam bersama di kapel. Namun sebelumnya ia mempersilahkan
gadis itu untuk mengajukan pertanyaan terakhir kalinya sebelum mereka berdoa.
" Maaf suster saya tidak bertanya " katanya " hanya saya mau memberi tahu kalau
besok kemungkinan ayah saya akan datang untuk menengok saya. Maklum ia baru tahu
kalau saya di biara ini. "
Suster mengangguk penuh wibawa sambil mempersilahkan Vale menghabiskan sisa teh
di gelasnya. Suster Valentina mengernyitkan dahi ketika menyadari kata-kata
terakhir Vale tadi. Ia agak bingung namun sungkan untuk mempertanyakannya karena
terlambat menyadari.
Dan malam itu sesudah ia mengucapkan selamat tidur pada Vale, Suster Valentina
membuka kotak kecil yang berada diantara buku doanya. Ia membaca sebuah puisi
dengan tulisan tangan yang ada di kotak itu lalu memandang foto seorang pemuda
berukuran 4X6 yang ada bersama tulisan itu. Kenangan terakhir dari seseorang
yang pernah dicintainya, seseorang yang 20 tahun ini tidak ia ketahui
keberadaaannya. Dan, puisi singkat itu pula yang senantiasa dibacanya tiap kali
ia hendak tidur. Dibaringkannya tubuhnya dan sambil memejamkan mata ia
melafaskan puisi itu. Kata yang penuh kesan bermakna mendalam. Kata-kata
ketulusan, pengorbanan, dan kesetiaan memberi dukungan.
" Ketika engkau melangkahkan kakimu selangkah pada pilihanmu
jangan pernah menoleh kebelakang untuk melihatku
( cukup doakan aku dalam nubarimu )
sebab kau tak akan melihatku lagi disana
aku akan berada disisimu menemani langkahmu
selalu "
Selepas misa pagi itu Suster Valentina merapikan beberapa arsip yang tergeletak
sembarangan di ruang kerjanya. Ia memasukkan arsip itu ke dalam lemari kerja dan
baru akan menandatangani beberapa surat untuk dikirimkan ke provinsialat sebelum
pintu ruang kerjanya di ketuk. Ia melangkah kearah pintu dan melihat Vale
tersenyum padanya.
" Selamat pagi suster! " ujarnya
" Selamat pagi juga Vale, ada apa nak? " tanyanya dengan suara penuh keibuan
" Maaf Suster, bolehkah suster menyempatkan diri menemui ayah saya? Beliau baru
saja tiba "
" Oh ya " agak bingung Suster Valentina mendengar hal itu. Selama dua tahun ia
berkarya ditempat itu belum pernah ada orang yang bertamu sepagi itu. Ini diluar
kebiasaan. Tapi karena tamu ini adalah keluarga Vale, maka ia merangkul gadis
itu sambil melangkah.
" Tentu saja saya akan menemuinya " ia berkata sambil mempererat rangkulannya.
Ketika tiba di ruang tamu biara Vale menatap wajah Suster Valentina yang tampak
bingung melihat sosok tamu lelaki yang tengah membelakangi mereka. Lelaki itu
ternyata tengah asyik menikmati keindahan lukisan laut yang terpajang di ruang
tamu itu. Namun Suster Valentina tetap tak mengerti dengan apa yang dihadapinya.
Ia ingat kalau Vale mengatakan orang yang akan mengunjunginya adalah ayahnya.
Tetapi sosok yang yang tengah membelakangi mereka itu tak seperti ayah
kebanyakan yang dibayangkan suster pimpinan komunitas itu. Ia berjubah layaknya
dirinya sendiri.
" Ehhmmm, Selamat pagi! " sapa Suster Valentina sambil berdehem mencoba tampak
berwibawa. Bermaksud mengatakan pada lelaki itu bahwa dirinya dan Vale tengah
berada dibelakang. Lelaki itu kaget dan berbalik.
" Slamat..," Ia tercekat " Pagi!" seketika, lelaki itu kaget bukan bukan main
melihat sosok berjubah didepannya. Sebaliknya Suster Valentina tak kalah kaget
melihat tampang lelaki yang juga berjubah itu. Seakan tak percaya Suster
Valentina memegang kedua pipinya. Lelaki itu mengangkat tangannya menunjuk
kearah Suster Valentina.
" Vale..??! " seakan lelaki itu tak percaya. Dan kali ini Vale yang agak kaget
karena sebutan ayahnya itu tak sesuai dengan arah tangannya. Gadis itu bingung,
ia tahu Vale itu nama kesayangan yang diberikan padanya. Tapi kalau tangan itu
mengarah pada Suster Valentina, artinya? Ia hanya terpaku melihat ekspresi dua
orang berjubah itu.
" Oh Yesus.., kaukah itu Frans?! " Suster Valentina masih belum percaya kalau
sosok lelaki yang didepannya itu sama dengan sosok lelaki yang pernah mengisi
kehidupan masa mudanya itu. Lelaki yang dulu amat dicintainya. " Kau…? "
sambungnya sambil menggerakkan tangannya seolah mempertanyakan jubah lelaki itu.

" Oh Vale.., Puji Tuhan, kita masih bisa bertemu. Ya ini aku Frans yang dulu. "
kali ini frans mencoba bersikap lebih tenang. " Kau kaget dengan keadaanku? Ya,
ini aku, Frans. Romo Frans. " ujarnya sambil tersenyum. Seketika itu juga Suster
Valentina tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia sulit untuk menahan
keinginannya merangkul lelaki itu. Frans membalas rangkulan itu penuh cinta,
namun buru-buru ia menyadari kebingungan Vale, anak saudara sulungnya, yang
makin menjadi. Tangan Frans masih menggenggam erat tangan Suster Valentina.
" Vale, anakmu? Apa maksudnya ini? " tanya Suster Valentina pada akhirnya sambil
mengajak duduk Vale diantara mereka. Frans mengusap kepala Vale.
" Ya, si cantik ini anakku " ujarnya " Maksudku, gadis ini, anak saudara
sulungku tentu saja. Dan dalam budaya kami, aku juga adalah ayahnya " jelas
Frans menghapus kebingungan Suster Valentina.
" Aku pikir ... " ujar Suster Valentina pelan. Namun sebelum kata-kata itu selesai
Frans keburu menyelanya. " Dengan berjubah seperti ini? Oh, Jangan berpikir ..."
sela Frans membuat ketiganya tertawa.
Vale si gadis manis itu pada akhirnya memahami semuanya. Frans menceritakan
tentang siapa sebenarnya Suster Valentina dan bagaimana dulu mereka sangat
mencinta hingga karena begitu cintanya keduanya rela mengambil keputusan
berpisah demi kata hati mereka. Dan tentu saja itu juga demi cinta dan
pengorbanan yang lebih besar. Vale dan Suster Valentina kaget ketika Frans
menceritakan asal nama Vale.
" Ayahmu memberimu nama Fransiska karena ingin menyesuaikan dengan namaku, dan
kebetulan kami memang pecinta St.Fransiskus " ujarnya " ketika aku menyadari
kamu terlahir saat valentine, maka kutambahkan nama seorang Valentina yang
kukenal di belakang namamu. Ayahmu bahkan tidak sadar ketika nama itu
kutambahkan saat aku membaptismu. Ya, karena namamu terlalu indah untuknya, Vale
" Vale menyimak kisah namanya penuh antusias.
" Tak satupun yang mengerti bahwa nama itu begitu berarti bagiku. Dan sepanjang
waktu aku berdoa untukmu dan tentu dua orang lainnya juga yang hidup dalam
namamu itu " Suster Valentina larut dalam haru.
Begitulah Frans harus menerima permintaan Suster Valentina untuk mempersembahkan
misa esok untuk Vale dan dirinya yang berulang tahun di kapel. Sekaligus
memohonkan keselamatan untuk dirinya sendiri yang siangnya mesti berangkat
kembali ke Jakarta untuk selanjutnya ke tanah misi di Afrika sesuai rencana yang
telah ditetapkan bersama pembesarnya.
Esoknya, ekaristi pagi itu menjadi sebuah nostalgia bagi Frans dan Valentina.
Ekaristi dalam perayaan Valentine dan juga merayakan ulang tahun Vale dan Suster
Valentina. Mereka sangat mengagungkan ekaristi. Selain karena penghayatan
imannya, juga karena Kristus justru menebar pesona dan cinta diantara mereka
pertama kalinya saat dua insan itu bertemu dalam ekaristi kampus puluhan tahun
silam. Kini keduanya mampu merasakan betapa hebat rencana Allah atas cinta
mereka. Keduanya saling mencinta, keduanya berbagi cinta, keduanya mewartakan
cinta, dalam cara hidup yang berbeda. Vale dan suster-suster lainnya tertawa
ceria sepanjang kotbah Romo Frans yang diganti dengan share kisah cintanya.
Bahkan Suster Maria yang renta tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana
ekspresi Romo Frans mengungkapkan kisah cinta itu. Penuh canda dan refleksi yang
maknanya mendalam. Sementara Suster Valentina hanya bisa tersipu malu dan
menitikkan air mata, Terharu mengingat betapa agung rencana Tuhan atas cintanya.



Goresan Pena

SETAN
Aku Tak Bakal Terpejam
Walau Suaramu Berbisik Dalam Kelembutan
Ditengah Kehancuran Jiwaku Yang Kelam.
Aku Akan Tetap Terjaga
Melindungi Hatiku Yang Rapuh
Dan Terpuruk Sepanjang Usia Nafasku.
Aku Tak Bakal Biarkan
Setan Dalam Kedok Senyuman Pesona
Menikamkan Keputusasaan Untuk Kesekian Kali
Dalam Sedalam Kehidupanku.
Aku Adalah Aku
Catat Itu Dalam Memorimu
Aku Adalah Aku
Yang Terlupakan Dan Terbuang
Dan Aku Bukan Kamu
Setan Keputusasaan Yang Merenggut Kehidupan
Dari Cinta Yang Tengah Berjuang
Aku Adalah Aku.

MALAIKAT
Malaikat Pelindung Sahabat Dari Kehidupan
Terimakasih Kau Setia
Saat Aku Terpuruk Dan Hancur Berkeping.
Malaikat Pelindung Sahabat Dari Keabadian
Saat Badai Ini Berlalu Melintasi Cakrawala Emas
Kepakkan Sayapmu Dan Rangkul Aku
Bawa Terbang Jauh Ke Angkasa
Tempat Cinta Keabadian Disenandungkan Dan Dimuliakan


HIDUP DAN MIMPI
Aku ingin membuka mata
Melepas mimpi buruk yang merengkuhku
Menghampiri pagi yang menyadarkanku.
Aku ingin melewati semua ini
Tak peduli akan apa yang terjadi
Hidup adalah hidup
Kupersetankan mimpi burukku
Karena hidupku bukan mimpi buruk hari-hari


JANGAN
Jangan kenakan kesombongan padaku
Sebab tak ada yang patut dalam diriku
Menjadi sebuah kesombongan yang patut
Jangan namai aku sombong
Sebab sama sekali kau tak memahamiku
Tak pernah mengerti kepedihan sejarahku
Kekelaman hatiku yang bisu
Jangan pernah!
(Tuk sahabat yang tak bersahabat)


KEKASIH GELAPKU
Kekasih
Ku
Aku tak bisa ceritakan semua padamu
Tentang kisah nyata dari dongeng cinta kita.
Maka,
Maafkan bila aku bisu terpaku
Tak mampu temani malammu yang sendu
Maafkan aku sejauh dirimu mampu.
Lupakan aku segera dari benakmu
Tak patut jiwaku bersamamu
Lupakan aku sejauh dirimu mampu
Karena sesungguhnya
Aku jauh darimu sejauh mimpimu
Bersanding Dia kekuatan anggun dalam benakku.
( Special 4 someone )

19 FEBRUARI
19 Februari Aku Mengutukmu
Saat Engkau Mengutuk Hatiku
Hancur Tak Bersisa.
19 Februari Jahanam Dan Betapa Kejam
Saat Jiwaku Tercekam Dan Ia Tambahkan
Kepedihan Yang Tertanam Dalam Sedalam Kalbuku
19 Februari Kuharap Aku Melupakanmu
Sepanjang Sisa Usia Hidupku
Kuharap Aku Melupakan
Lupakan
Lupa Akan
Kepedihan Yang Terdalam

Rabu, 10 Januari 2007

Mejuah-Juah!

Mejuah-Juah!
Tak ada kata khusus untuk hari ini
Selain, Mejuah-Juah! (Salam Sejahtera!)
Blog baru ini semoga dapat menjadi ajang kreativitas.
Mejuah-Juah!