Pilihan

Jumat, 23 Oktober 2009

The Sleeping Dictionary

I have watching it a few minutes ago. I've learn from this movie when I could closing my eyes at Wisma Drijarkara, this morning. This movie show me how the truth love will lending you out from your dark side. Love should be equal and need a sacrifice also. I'm so great full to take some enligtening this morning, even I should pay it with rearrangement my Sleeping Time.

WMD Semarang, 04.43

Kamis, 22 Oktober 2009

LIRIH HIDUP SARJANA


Pria itu sedang galau. Tampaknya ia tak tenang dan kegelisahan terpancar dari air mukanya. Sudah hampir sejam ia mondar-mandir di pelataran margasiswa menjelang temu anggota PMKRI St. Thomas Aquinas Yogyakarta sore itu.
Saat pertemuan yang mendiskusikan mengenai komersialisasi pendiidkan berlangsung, pun ia tetap tak bisa tenang. Gelisah dan menunjukkan ketidaknyamanannya. Sudah empat kali ia beranjak keluar dari ruang pertemuan. Kelima kalinya ia keluar ruangan seraya mengangkat ponselnya. Simamora yang menjadi moderator pertemuan tampak memperhatikan tingkahnya. Aku tersenyum saat sorot mata Simamora menuju arahku.
Usai pertemuan berlangsung, kutawarkan pada Simamora untuk mengajak pria itu ke Djambur, sebuah warung kopi di seputar UGM. Saat kami mengajaknya, tampak ia ragu sampai akhirnya mengangguk setuju. Dari margasiswa kami pun melaju.
Sekitar pukul 22.00 WIB saat kami tiba. Suasana lengang tak seramai biasanya. Tampaknya para mahasiswa dari Tanah Karo yang jadi pelanggan utama warung kopi tengah mudik liburan. Kami mengambil tempat di sisi utara. Sambil menuliskan pesanan sesekali aku mengarahkan pandangan ke layar televisi, pertandingan sepak bola antar klub Eropa tengah berlangsung.
Setelah menyerahkan pesanan, aku mengambil posisi yang nyaman sambil bersandar. Simamora mengangkat tangan pada beberapa kenalan yang melambaikan tangan kearah kami. Mataku menangkap jiwa yang hampa pada pria itu. Matanya seakan menerawang jauh.
Saat pelayan tiba, segera saja kusambut pesanan kami. Setelah menyampaikan terima kasih aku mengedarkan minuman. Pertama pada simamora yang duduk disebelahku dan berikutnya pada pria yang tengah gelisah itu.
“ Jana, bagianmu “ ujarku membuyarkan lamunannya.
“ O, iya “ sahutnya. Ia mengulurkan tangannya menyambut minuman ditanganku.
“ Tampaknya kamu sedang gelisah, Jana “ Simamora angkat bicara.
“ Apakah ada yang ingin kamu ceritakan” sambungku
Asep Sarjana menggelengkan kepala. Teman seperhimpunan dari Jawa Barat ini tampak menjaga sesuatu dari kami. Wajahnya menunjukkan keraguan untuk bercerita.
“ Bah, kalau tidak ada, mari kita main catur saja “ ujar Simamora sambil melirik kearahku. Saat itu gerimis mulai turun.
“ Sebenarnya … “ suara Sarjana tertahan
Simamora tampak tersenyum puas. Tawarannya bermain catur berhasil memancing pria itu untuk berbagi cerita. Aku menempatkan diri untuk mendengar apapun yang hendak diceritakan Sarjana.
“ Sebelum pertemuan tadi ayahku memberi kabar “ ujarnya dengan suara berat
“ Rumah kami di Kuningan menjadi korban perusakan dan pembakaran sekelompok massa “ sambungnya yang membuatku terperangah. Simamora mengernyitkan keningnya.
Sesaat setelah menegakkan kepalanya, ia kembali bercerita. Sore tadi di desanya terjadi aksi massa yang mengarah ke rumah salah seorang tetangganya. Massa itu datang dari luar desa dengan mengusung simbol organisasi mereka sambil meneriakkan penolakan terhadap tetangga Sarjana yang diduga terlibat dalam salah satu kelompok aliran sesat. Massa awalnya hanya berorasi menyampaikan penolakan saat ayahnya baru saja tiba. Namun selang beberapa waktu massa mulai menunjukkan sikap arogan dengan melempari rumah tetangga mereka. Ketua RT bersama ayahnya dan ditemani seorang kepala polisi yang tiba dengan belasan anggotanya berupaya menenangkan massa.
Himbauan dari aparat desa dan kepolisian setempat ternyata tidak digubris. Sebaliknya massa makin beringas dan keadaan makin tak terkendali. Aparat kepolisian dan warga setempat yang berusaha menenangkan tak mampu membendung aksi perusakan lebih lanjut. Rumah tetangganya dilempari dan beberapa rumah lain turut menjadi korban, termasuk rumah orangtua Sarjana. Kepanikan tak dapat dielakkan tatkala nyala api mulai tampak membubung dari sisi yang berlawanan. Ada oknum yang melemparkan botol bersumbukan api kearah rumah. Segera saja situasi tak terkendali. Beberapa warga terluka dan aparat tak mampu berbuat sesuatu untuk mengendalikan situasi.
Kejadian itu berlangsung dalam hitungan satu jam. Satu jam yang menghebohkan dan menimbulkan trauma bagi warga setempat. Ayah dan keluarga Sarjana berhasil menyelamatkan diri, namun rumah dan isinya terlanjur habis dilalap si jago merah.
Sarjana tampak emosional. Air mukanya berubah sedih bercampur geram. Simamora tertunduk lesu mendengar penuturan rekan kami itu. Aku sendiri tak dapat menyimpan keprihatinanku. Amarah bergejolak dalam diriku tak bisa menerima kalau keluarga yang tak berdaya itu harus kian menderita karena ulah oknum tak bertanggungjawab.
Aku kini bisa memahami apa yang terjadi dibalik kegelisahan Sarjana. Pastinya ia tengah mengkhawatirkan keluarga dan desanya. Saking emosinya hingga aku tak sadar mataku berkaca-kaca mendengar cerita pilu Sarjana.
Sulit bagiku membayangkan keadaan sarjana. Sebulan lalu pernah ia berkisah tentang susahnya kehidupan keluarganya. Tentang kesulitan ayahnya yang hanya seorang buruh tani untuk mengatasi tunggakan biaya studi dirinya dan empat orang adiknya.
Ayahnya yang bersahaja memiliki impian besar terhadap anaknya. Impian polosnya adalah bisa menyaksikan anaknya meraih gelar sarjana untuk memperbaiki keadaan keluarga. Impian yang dibangun sejak putera pertamanya lahir dan diberi nama Sarjana. Nama yang sarat dengan harapan.
Harapan yang sederhana itu pula yang membuat ayah Sarjana rela menjual tanah warisan keluarga demi membiayai kuliah Sarjana. Kendati puteranya bisa meraih beasiswa karena prestasi, tetap saja itu tak mampu menutupi berbagai kekurangan biaya studi dan biaya hidup. Sarjana masih harus kuliah sambil nyambi jadi loper koran.
Sisi lain dari kehidupan Sarjana itu yang membuatku merasa dekat dengannya. Aku bisa merasakan sesaknya kehidupan Sarjana yang tak jauh beda dengan kehidupanku. Sikap soliderku timbul, namun ia tak cukup mengatasi perih hidup Sarjana.
“ Besok pagi aku segera ke sana “ suara pelan Sarjana mengusik batinku
Sebulan lalu saat Sarjana dan aku berbagi cerita kehidupan, kami masih bisa saling menguatkan. Ia masih bisa tersenyum tegar mendengar saranku. Namun saat ini semua berbeda. Mendengar kisahnya, aku kehilangan kata-kata. Tak mampu memberinya saran kecuali sebuah tatapan penuh arti. Sekarang sebuah diskusi dan proses dialektika jadi mati rasa. Ia kehilangan daya dorong perubahannya dan tak berarti dalam cerita kepiluan hati.
Sarjana kini sama denganku dan puluhan juta sarjana lain yang hidup di kubangan ketidakadilan. Ia kini menjadi bagian dari objek diskusi Jumat malam dan pemeran dari kisah pilu kehidupan. Lemah dalam ketidakberdayaan terhadap sistem yang menindas.
Langit semakin gelap dan hujan makin deras mengguyur kota Jogja. Kami larut dalam kebisuan dan dinginnya hawa malam. Segelas kopi terabaikan dan kian dingin tanpa disentuh. Seandainya perihnya penderitaan sama cepatnya berlalu seperti kehangatan segelas kopi.

Yogyakarta menjelang Natal 2007

Rabu, 27 Mei 2009

Sebuah Pengalaman MAGiS


Beberapa waktu lalu saya risau. Proyek kecil saya bersama 5 orang teman untuk orang muda (PMKRI.com = Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada Camping Orang Muda), persiapannya serba terbatas. Ya terbatas orang, ya terbatas waktu, ya terbatas kesabaran.
Awalnya acara ini digagas untuk merespon curhat Mgr. Ign Suharyo dalam wawan hati di Kevikepan Semarang untuk menyambut Tahun Kaum Muda KAS 2009. Dalam acara tersebut, beliau mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya orang muda yang tidak memahami tujuan hidupnya dan tidak tahu berefleksi. Selain itu, sebagai upaya PMKRI St. Gregorius Semarang untuk mengarahkan kaum muda untuk bergerak di ranah kepemimpinan sosial seturut tema Tahun Kaum Muda Menggugah dan Mengubah Dunia.
Sebagai orang yang mengusulkan, saya diminta bantuan menangani acara. Dalam keterbatasan waktu dan beratnya tuntutan kerja, aku mulai mengumpulkan 5 orang tim dan memulai sharing bersama. Kendati demikian, berhubung 5 anak manusia ini terdiri dari 3 pekerja dan 2 mahasiswa di ujung tanduk (dituntut segera menyelesaikan skripsi), maka seluruh komitmen pun dihadang badai keterbatasan. Beberapa yang lain tidak bisa terlibat berhubung jadwal yang tidak sesuai. Waktu pelaksanaan diundur, rekan baru dicari tapi tetap saja sulit.
Seminggu menjelang hari H aku mengontak Tjoen dan menjelaskan kondisiku. Berharap akan ada yang bisa membantu dari MAGiS terutama mereka yang kemarin beruntung berangkat ke Sidney. Aku juga mengontak Sr. Iren dan meminta doa untuk persiapan acara ini. Fr. Bagus yang lagi facebook-an juga tak luput kuminta bantuan materi. Serba mendadak, serba melelahkan. Semua teman dikontak dan semua tidak menjawab. Beberapa yang sempat mengiyakan, mundur teratur karena tuntutan kampus. Hanes dan Bell gonta-ganti mengontak meminta kejelasan acara. Sampai-sampai ada konflik komunikasi antara aku dan Bella, karena carut marut komunikasi antara aku yang minta tolong dan yang hendak menolong. Ribetnya kerjaan membuatku selalu jadi lupa membalas dan menjelaskan secara rinci mengenai acara. Lagi pula memang saat itu aku sendiri belum fix dengan acara. (Bella trims udah mau mengerti).
Dua malam sebelum hari H aku tidak bisa tidur. Mempersiapkan materi yang kiranya perlu disiapkan. Jumat malam sepulang dari kantor, di Wisma Drijarkara kurancang ulang semua jadwal acara. Pusiiiing. Aku resah. Khawatir kalau acara ini hanya akan menjadi produk gagal dari mimpi-mimpi kecilku. Aku berusaha tidak menyakiti perasaan teman-teman lain dengan bersikap terlalu emosional. Aku sangat paham kalau emosiku bisa meledak setiap saat mengingat totalitas hanya milik satu dua orang teman saja (dalam pengamatanku).
Menjelang hari H, tenda-tenda terpasang dan seluruh persiapan dadakan harus dilakukan. Banyak teman tidak tahu perannya, sebagian lagi tidak mau tahu. Rasa lega sedikit muncul saat Bella dan Hanes menyatakan mereka siap meluncur ke Camping Ground Gua Maria Kerep Ambarawa. Lebih lega lagi ketika Niko Simamora yang sejak awal kubujuk datang akhirnya menyatakan diri segera datang dari Jogja. (Sempat kepikiran kalau manusia satu ini tidak datang, kontrak persahabatannya akan dikaji lagi. Heheeee).
Lalu keresahan lain pun muncul, hujan mulai turun. Wahhh, acara bisa terganggu, pikirku. Tapi dengan segala keterbatasan dan tanpa pikir panjang soal jadwal aku minta acara dimulai. Keresahan itu masih tersembunyi dibalik rambutku yang kusut.
So, acara pembukaan. Peserta dijelaskan mengenai acara, latar belakang, dan tujuannya. Tema menggugah dan mengubah dunia, Waooo!!. Para peserta masih terpaku. Kontrak belajar seluruh harta benda dan peranti teknologi berbagai merek diamankan. Peserta pun memulai acara dengan sesi mengenal Prinsip dasar rasul awam (menurut pematerinya), yang seutuh-utuhnya merupakan penjelasan mengenai azas dan dasar. Beberapa peserta bingung.
Makan malam, rehat sejenak, lalu sesi berikut perkenalan profile MAGiS dan program Ignasian-nya. Aku, Bella, Hanes, Tera dan Nino memperkenalkan keluarga kita (dua nama terakhir merupakan saudara sekandung di MAGiS09). Berikutnya kita berbagi pengalaman dan mengajak peserta belajar mengenal doa hening, examen hingga Jurnaling. Dalam hitungan jam, proses kita setahun dibagikan secara instan. Kedatangan Niko di sela perkenalan makin menambah semangat. Ia membagikan pengalaman ikut WYD.
Dalam proses doa hening, setelah sebelumnya memberi gambaran hingga sikap tubuh, Tera memandu peserta. Sepuluh menit keheningan pun dibagikan. Hasilnya beberapa peserta mulai berubah ekspresinya. Ada yang kusut, ada yang meringis karena keram, dan ada yang kebingungan. Kami menjawab beberapa pertanyaan seturut pengalaman kami.
Berikutnya kami mendampingi dalam examen para peserta dibawah gerimis tipis yang tak mau meninggalkan bumi Palagan Ambarawa. Dengan selembar kertas panduan examen dan sebuah lilin yang bernyala mereka menjalani examen.
Dari jurnaling malam itu, kami mulai melihat pengalaman masing-masing peserta. Bella sempat tersenyum sambil mengatakan kalau melihat jurnal peserta itu, ia mengingat bagaimana dulu di awal program MAGiS ia menulis. Kami tertawa. Tapi tak sedikit juga dari tulisan tersebut, sampai pada penemuan pengalaman akan Allah yang begitu dekat dengan mereka. Dua diantara jurnal yang sempat kubaca bahkan menunjukkan pergulatan penulisnya untuk melakukan rekonsiliasi dengan persoalan yang dihadapi. Ada yang dengan rendah hati menerima kenyataan dirinya.
Mengingat waktu, setelah sejenak meringankan pikiran dengan icebreaking peserta diminta istirahat secara sadar seturut kebutuhan. Rata-rata peserta hilang dan tak tahu kemana. Beberapa mulai bersiap istirahat, beberapa yang lain cari makan tengah malam, ada yang ke gua Maria, dan ada yang menuju api unggun. AKu sendiri pergi menemui beberapa pengurus PMKRI dari Jogja, Solo dan Semarang. Mereka yang haus diskusi ini tampaknya memanfaatkan momen untuk bertemu rekan seperhimpunannya, tanpa minat ikut berproses di acara. Hingga pukul setengah 3 pagi sampai akhirnya aku, Niko dan Olan terkapar di salah satu tenda yang basah dan ditinggalkan penghuninya mengungsi ke Rumah Kaca.
Beberapa jam kemudian di pukul 06 pagi, aku melihat beberapa orang yang melakukan Exodus sesuai saran di malam sebelumnya. Beberapa yang lain masih molor. Saat akan memulai outbond aku sempat menanyakan berapa peserta yang ikut eksodus. Beberapa maju kedepan menyatakan diri. Yang lain tertunduk lesu karena mengabaikan satu bagian dalam proses. Aku tetap menyemangati dan membiarkan mereka menikmati proses berikutnya.
Outbond dengan spider web game dan web ball di sungai pagi hari itu menambah suasana akrab peserta yang baru semalam saling kenal. Percikan air mengenai peserta. Satu sama lain makin larut dalam kegembiraan. Saling menyiram dengan air tak terelakkan sampai-sampai kegembiraan itu membuat salah seorang peserta pingsan. Menghindari kepanikan, seluruh peserta diminta kembali ke arena camping. Peserta yang pingsan segera diamankan dan dibantu dalam proses pemulihan. Syukurlah segera siuman. Bahkan bersama peserta lain sudah kembali bisa turut dalam examen dan jurnaling siang itu. Dalam sharing kelompok yang difasilitasi oleh rekan-rekan, tampak ketertarikan beberapa peserta mengenal lebih jauh spiritualitas yang dipelajari rekan-rekan MAGiS. Beberapa bahkan menunjukkan minat terlibat di program MAGiS berikutnya, jika tahun berikutnya ada.
Dalam misa penutup, kami memilih dua orang peserta membagikan pengalaman menjelang homili. Lista, peserta dari PMKRI Solo tak bisa menahan haru menceritakan pengalamannya. Bagaimana ia awalnya kurang memahami proses, sampai kemudian dalam Exodus dan sharing, ia mulai menyadari betapa selama ini ia begitu jauh dari Tuhan. Relasinya terasa jauh akibat kurangnya ia memberi waktu untuk menyadari relasi tersebut. Air mata haru itu membuat suasana sedikit terpengaruh. Peserta lain ada yang tertunduk. Mudahan karena merasakan hal yang sama dengan Lista.
Chandra, peserta dari komunitas mahasiswa Katolik IKIP PGRI Semarang, mengungkapkan pengalamannya dalam Exodus lebih mantap. Ia menemukan kesadaran bagaimana TUhan menemaninya setiap waktu. Ia begitu bersyukur untuk tiap peristiwa dalam hidupnya yang ia yakini selalu ditemani oleh TUhan.
Hal yang membuatku terharu adalah satu titik dimana aku tidak membayangkan peserta mampu sampai pada kesadaran itu, padahal aku sendiri mempersiapkan segala sesuatunya dalam situasi yang tidak mengenakkan dan terkesan kurang siap. Namun seperti yang kami sepakati di sharing sebelumnya bersama teman-teman MAGiS, bahwa standar kesuksesan acara kami tegaskan bila minimal 1 orang peserta bisa sampai pada penemuan dan kesadaran akan hadirnya Allah dalam peristiwa hidup mereka. Dalam misa penutup itulah kemudian aku pun dalam kebanggan hati menyadari kerendahanku. Sebab bagaimanapun bila aku sendiri tidak pernah memprediksi hasil sedemikian bagus itu, maka sekali lagi rahmat Tuhan yang telah membuat semua proses mengalir membentur jadwal yang kaku dan menemani peserta itu dalam pergulatan batin mereka.
Terima kasih Tuhan atas kesetiaan dan rahmatMu. Terima kasih rekan-rekan panitia dan Pengurus PMKRI Semarang, Tim Kecil pendampingan MAGiS (Tjoen, Bella, Hanes, Niko, Tera dan Nino). Terima kasih semua peserta.
Semoga semua ini menjadi satu langkah menuju langkah berikutnya dalam upaya menggugah dan mengubah dunia yang kian terasing. Semoga ini membuat kita semua menyadari dan selalu berupaya menjaga semangat komunitas kita, Keep MAGiS! Pro Ecclesia Et Patria!

Teriring salam dan terima kasih,

Minggu, 05 April 2009

KAMPANYE & KEBOHONGAN



Hari ini suasana Semarang riuh dengan deru motor dan pagelaran music The Changcuters di Kawasan Simpang Lima. Aku tidak peduli. Seperti kemarin Gerindra dan hari lalui PDI-P unjuk massa dalam kampanye, hari ini basis nasionalis Jawa Tengah pun disesaki ratusan mungkin ribuan motor dan ratusan angkutan roda empat lainnya.
Baru saja aku mendatangi calon klienku dan menanyakan alasan penundaan janji ketemu tadi sore. Ia sambil tersenyum mengungkapkan kalau tadi ia tengah mengikuti kampanye partai Demokrat. Usut punya usut dia mengatakn kalau ia bertugas sebagai korlap pengerah massa di daerahnya. Dua partai besar PKB dan Demokrat memakai jasanya. Imbalannya? Ia tersenyum sambil mengatakan kalau dari PKB ia mendapatkan sedikit uang dan Handphone. Untuk setiap orang yang diajak ia memberi Rp. 30.000. Padahal dari partai ia menerima lebih dari nilai tersebut perorangnya. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Sebelum membuka Facebook, kemudian di drive D komputer warnet kutemukan hasil jepretan kampanye tadi. Beberapa foto menunjukkan ramainya massa yang hadir di Kawasan Simpang Lima mengikuti kampanye putaran terakhir Demokrat di Semarang. Salah satu foto yang lain membuatku miris. (Lihat sendiri).
Aku berkesimpulan, kalau demokrasi yang sedang kita bangun ini benar-benar masih ternoda oleh kebohongan para pejabat yang katanya Berjuang Untuk Rakyat. ASTAGA NAGA!!!

Minggu, 01 Maret 2009

PANGGUNG POLITIK MENUJU PANGGUNG HIBURAN

Perkembangan politik nasional akhir-akhir ini tampaknya menunjukkan gejala entertaint. Tidak ada pendidikan dan perkembangan politik yang mendewasakan bangsa ini lewat topic-topik media mengenai politikus kita. Layaknya panggung hiburan, dunia politik nasional pun kebanyakn menyajikan kekonyolan para politikus kita. Mulai dari kritik PDI-Perjuangan lewat Bu Mega yang terkesan lebih emosional ketimbang mengedepankan tangungjawab moralnya sebagai partai oposan untuk menunjukkan data-data mutakhir dan solusi atas kemelut persoalan bangsa ini. Demikian pula yng dikritik, pemerintahan terutama sosok SBY lebih sibuk mengurusi pamor partainya lewat iklan-iklan yang gencar dilakukan di pelbagai media nasional dan local. Klaim sukses pun diwartakan sebagai upaya mendongkrak simpati masyarakat pemilih di Pemilu 2009 mendatang. Tak hanya sampai disitu, sikap tidak dewasa yang ditunjukkan SBY lewat respon atas isu ABS dikalangan unternal TNI pun ditanggapi dengan tidak proporsional. Seolah hendak membangun opini SBY yang Terdzalimi, partai democrat dan SBY sibuk mengeluarkan statement konyol di media. Mulai dari sitiran pada para politikus untuk tidak main keroyokan hingga respon emosional terhadap isu ABS yang sebenarnya dapat digolongkan sebagai gossip, sebab tidak diketahui darimana isu itu muncul.
Hasil survey memang menunjukkan bahwa dalam Pemilu ini nanti SBY versus Mega, lagi-lagi bersaing menuju RI 1. Namun apa yang ditampilkan oleh kedua tokoh nasional ini pada akhirnya bukan tidak mungkin menyadarkan masyarakat kita tentang kekonyolan pemimpinnya dalam menyikapi soal kebangsaan dan Negara ini. Para pemimpin kini tak ubahnya comedian yang mengocok perut masyarakat kita yang tak kunjung sejahtera. Pemimpin yang menghabiskan waktu dengan sindir menyindir tanpa memikirkan krisis global dan krisis mental yang menyengsarakan rakyat.
Kejenuhan terhadap situasi ini pula pada akhirnya yang membuka ruang bagi para capres-capres alternative untuk menunjukkan kualitas dirinya pada khalayak umum. Tidak sebatas iklan namun juga tindakan konkrit menjawab berbagai soal bangsa yang akhir-akhir ini bertambah. Mulai dari korupsi, banjir, bencana alam, hingga mental kekanak-kanakan yang kian mewabah dikalangan intelektual dan pemimpin partai. Maka bagi setiap warga Negara yang memiliki hak dan kualitas diri, mari tunjukkan daya dan kualitas diri membangun bangsa ini. Tidak sebatas menjadi capres, taoi juga bias menjadi sahabat bagi yang terpinggirkan. Jabatan bagaimanapun seharusnya dipandang sebagai sarana pengabdian bagi kesejahteraan banyak orang. Bukan semata-mata tahta untuk jadi sorotan ratusan juta pasangf mata manusia Indonesia.
Perubahan segera datang. Bersiaplah sebelum kita buta terhadap perubahan!

Sabtu, 28 Februari 2009

Tahun Kaum Muda 2009 dan Generasi Mahasiswa KKN

Tahun 2009 merupakan masa yang diberi khusus oleh Keuskupan Agung Semarang bagi Kaum Muda. Tahun Kaum Muda, demikian kira-kira kita menyebutnya. Sebuah bentuk perhatian, keprihatinan, dan harapan bagi gereja muda yang kelak akan menjadi wajah gereja dan Kristus yang hadir ditengah dunia.
Kaum muda Katolik tidak statis dan terpusat pada satu ruang dan waktu. Kaum muda tersebar di ranah pendidikan, budaya, social, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Setiap saat melahirkan generasi baru yang selayaknya siap menopang aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mahasiswa katolik adalah satu bagian penting yang tak boleh dilupakan dalam konteks kaum muda katolik. Dalam sejarahnya, mahasiswa katolik telah menyumbangkan perannya secara signifikan dalam sejarah panjang bangsa ini. Melalui PMKRI yang lahir di tahun 1947 di Yogyakarta, telah banyak kader mahasiswa katolik menjadi ujung tombak perubahan tatanan masyarakat kita. Semua itu adalah catatan sejarah kendati sumbangan yang besar itu kian hari kian redup oleh karena tergerusnya minat dan panggilan untuk berpartisipasi dalam upaya perubahan bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik ; adil, berprikemanusiaan, dan sejahtera.

Generasi KKN
Mahasiswa adalah agen perubahan. Demikian kata aktivis dan banyak kalangan untuk menunjukkan sisi positif panggilan dan perjuangan mahasiswa dalam pelbagai persoalan bangsa ini.
Benarkah demikian?
Dalam catatan sejarah perjuangan gerakan kemahasiswaan demikianlah memang adanya. Tidak sedikit mahasiswa yang mengorbankan waktu, tenaga, harta, bahkan nyawanya untuk bisa mendorong terjadinya perubahan. Perubahan atas pemerintahan yang otoriter, sistem yang bobrok, sikap represif dan pelbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang berlangsung dalam banyak aspek kehidupan kita.
Namun bila kita melihat realita sosial sekitar kita, di dalam lingkungan kita sendiri sebagai mahasiswa, jauh lebih banyak mahasiswa dalam ketidaksadarannya justeru menjadi agen perubahan yang membuat masyarakat dan bangsa kita terperosok. Secara tidak langsung, mahasiswa dalam rantai panjang persoalan bangsa ini justeru meneruskan budaya dan pola pikir “titipan” yang pada akhirnya mendestruksi tatanan keadilan yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh sebagian rekan mereka.
Mahasiswa pula yang menjadi agen yang merubah tatanan masyarakat, norma dan moral budaya secara terbalik akibat derasnya arus informasi yang tidak mampu dipilah lewat pelbagai media yang kian marak. Mahasiswa menjadi korban budaya pop barat yang sebenarnya tidak siap untuk diserap, diserang lewat pelbagai media dalam ruang dan waktu yang berbeda. Seolah tanpa itu semua, mahasiswa menjadi pribadi yang tidak bebas dan menemukan jatri dirnya. Tidak merasa Gue Banget tanpa menggunakan busana model terbaru dan merek ternama, makan di resto-resto Amerika, clubbing, dan aktivitas lain yang selaras dengan gaya hidup kaum muda pop di barat.
Mahasiswa model ini adalah kita yang lebih pantas disebut sebagai Generasi Mahasiswa KKN. Generasi yang taunya hanya Kuliah, Kos, dan Nongkrong. Seluruh aktivitas dan ruangnya tidak pernah jauh dari tiga hal tersebut. Kuliah diapandang sebagai satu syarat menjadi manusia ber-gelar, Kos sebagai ruang aktualisasi sikap individualisme diri, dan Nongkrong menjadi satu ritual baru dimana sikap hedon diwujudkan dengan kesenangan.
Mahasiswa generasi KKN adalah perwujudan oposisi kuat terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri. Secara kasat mata, mahasiswa justeru berperang melawan dirinya sendiri. Hal inilah yang menggerogoti tubuh besar gerakan kemahasiswaan. Melemahkan dan meracuni strukur perjuangan kaum intelektual kampus. Mahasiswa kemudian harus bertarung pada medan kampus dengan wacana mereka sendiri. Bertarung untuk membuktikan sikap mana yang lebih penting dan utama. Pada titik ini mahasiswa kehilangan fokus peran dan tanggungjawabnya sebagai elemen penting bangsa ini.

Satu Hulu Beda Muara
Bila gerakan mahasiswa yang kian lemah itu masih memiliki bentuk dan terstruktur pada titik yang sama, maka sebaliknya mahasiswa generasi KKN secara sporadis tersebar disetiap ruang. Menjadi yang dominan pada setiap ruang. Kendati tanpa komando, toh mahasiswa generasi KKN adalah mahasiswa yang oleh ketidaksadarannya berpengaruh besar dalam memperlemah posisi rekannya di gerakan kemahasiswaan. Dan hal ini jelas menguntungkan penguasa dan pengusaha yang sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran kritik intelektual kampus dan gerakan kemahasiswaan.
Memang tidak terlalu tepat membagi karakteristik mahasiswa hanya pada mereka yang suka memperjuangkan visi kebangsaannya lewat gerakan mahasiswa dan mereka yang bersikap apatis dan memilih menjalani hidup tanpa kepedulian besar akan dinamika sosial kemasyarakatan. Kendati demikian ini adalah pembacaan yang dalam hemat penulis berlangsung dalam kurun waktu terakhir ini.
Memang kedua karakter itu berada dalam tubuh yang sama. Mahasiswa memang adalah manusia kampus yang hidup dalam ruang yang sama namun bergerak menuju suatu ruang yang berbeda. Bila arah gerakan kemahasiswaan diliaht dari sikap memperjuangkan dan menyatakan visinya di setiap aktivitas gerakan, maka berbeda dengan mahasiswa generasi KKN. Tidak ada yang mempu memahami dan memprediksi secara utuh visi dan mimpi mereka. Tidak ada yang mampu memahami secara utuh hendak kemana generasi ini. Mahasiswa pada akhirnya berada pada keadaan satu hulu beda muara.

Membangun Ruang bagi Kesadaran
Tidaklah bijak saat melakukan klaim sepihak atas sebuah masalah yang dihadapi bersama. Gerakan mahasiswa menuding pilihan lain diluar mereka sebagai sebuah posisi yang tidak cerdas, sementara sebaliknya generasi mahasiswa KKN memandang pilihan di gerakan adalah kesia-siaan.
Situasi ini justeru yang melemahkan tidak hanya gerakan mahasiswa maupun generasi mahasiswa KKN ini tetapi juga proses perubahan yang selalu diimpikan seluruh elemen bangsa ini. Sama sekali tidak produktif terhadap laju gerakan kemahasiswaan yang memimpikan sebuah bangsa yang adil dan sejahtera.
Adalah lebih baik dan hemat energi ketika setiap elemen gerakan mahasiswa membangun ruang yang lebih besar dan mampu membawa mahasiswa generasi KKN untuk sampai pada kesadaran mereka atas panggilan dan peran di dalam masyarakat. Membangun ruang yang edukatif dan dialogis untuk menunjukkan dampak ketidakpedulian kita terhadap situasi genting bangsa ini yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan soal-soal baru. Sinergi antar gerakan, komunitas, maupun pers mahasiswa adalah satu dari sekian banyak pilihan dari amunisi terakhir peperangan melawan kapitalisme global yang diproteksi oleh regulasi yang tidak memihak rakyat. Regulasi yang dipermainkan demi keuntungan oleh pemerintahan yang antipati terhadap kebutuhan rakyat dan bangsa ini.
Demikian halnya mahasiswa generasi Kuliah, Kos, dan Nongkrong untuk mulai menyadari banyak hal dalam dirinya yang mampu mengubah hidup banyak orang. Bahwa setiap mahasiswa adalah intelektual kampus yang memiliki keunikan sendiri untuk disumbangkan dalam perjuangan melawan pembodohan yang terjadi justeru di lingkungan pendidikan kita.
Dengan demikian secara khusus mahasiswa katolik yang hidup disetiap kampus dapat menghidupi semangat yang disuarakan oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 dalam rangka membangun habitus baru. Rada mirip dengan seruan Yesus dalam kisah dimana Sang Guru membangkitkan anak muda di Nain (Luk.7:11-17). Maka kaum muda katolik, khususnya mahasiswa katolik, mari bersama menyadari keberadaan dan peran diri terhadap gereja dan bangsa. Bangkit dan bergeraklah.

Semoga pada akhirnya mahasiswa katolik Indonesia bersatu tidak hanya menjadi laskar pelangi, tepai juga menjadi laskar pembaharu!!

Wassalam!

Thomas sembirinK
Anggota PMKRI Cabang Yogyakarta St. Thomas Aquinas
Email n FS : sembirink86@yahoo.co.id
Facebook : sembirink@lycos.com
Weblog : http://sembirink.wordpress.com

Jumat, 30 Januari 2009

Kaum Muda IKKSU


Kaum Muda Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara di Semarang
(Generasi Pewaris Negeri)

Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara di Semarang

Kamis, 01 Januari 2009

MELINTASI MASA DALAM PERSAHABATAN

Aku bersama teman-teman PMKRI Jogja ngumpul bareng menjelang tahun baru. Ide spontan yang kusambut dari Rosa menjadi lebih asyik. Bersama Rosa, Oland, Martin, Colanda, Putri, dan France kami mengikuti misa pergantian tahun di Kota Baru yang dipimpin Rm. Inug, SJ.
Usai misa kami nongkrong sebentar di depan gereja menyambut detik-detik pergantian tahun bersama umat yang lain. Sambil menikmati segelas kopi hangat dan jagung rebus yang disediakan Mudika Kota Baru kami ngobrol seputar catatan akhir tahun PMKRI. Saking asyiknya ngobrol kami lupa kalau kami sebenarnya orang yang terasing dari keluarga nun jauh disana. Begitu hangatnya suasana bersama.
Saat akhirnya detik-detik pergantian tahun itu tiba, kami saling berangkulan dan berdoa bersama agar diberi kekuatan dan harapan di tahun yang baru, sebagai pribadi kader maupun secara organisasi PMKRI. Diharapkan PMKRI di tahun 2009 menemukan titik balik pencerahannya. Setelah sempat bercanda kami melanjutkan dengan doa pribadi di depan kandang natal.
Perjalanan pun berlanjut ke daerah Code. Sambil nobrol, teh hangat, kopi, Susu Jahe dan semangkuk mie rebus menjadi hidangan. Obrolan kami pun ngalor ngidul, mulai dari Jogja sampai Palestina. Mulai pribadi sampai PMKRI. Kebiasaan berdiskusi itu tetap tak lekang. Hal yang masih selalu kubanggakan dari PMKRI generasi kami. Kami juga mendiskusikan seputar keprihatinan akan persoalan PMKRI di tingkatan cabang maupun nasional. Sambil ngobrol jeda SMS tahun baru pun berdatangan ke ponsel teman-teman.
Melaju lagi di Tugu Jogja. Kami foto bersama dan meluapkan kegembiraan bersama ratusan anak muda dalam dan luar kota yang ada di sekitar situ. Tak tampak pengawasan khusus Polantas. Semua orang larut dalam kegembiraan Tahun Baru. Bunyi terompet dan raungan motor sampai klakson menyemarakkan suasana, terkadang memekakkan telinga. Kami melanjutkan perjalanan lagi.
Alun-alun kota Jogja. Kami tertawa dan menertawakan Oland yang mengadu peruntungannya menembus pasangan beringin alun-alun Selatan yang santer terdengar keunikannya. Banyak kalangan berkerumun di sana merayakan tahun baru. Ada yang bergerombol cekikikan, ada yang berpelukan mesra dengan pasangannya, dan ada yang mengais rejeki dengan mencari direrumputan barangkali ada barang berharga yang terjatuh dan bisa dipungut.
Petualangan dan pengalaman begadang sampai hari terang sungguh berkesan. Kami menyambut hari pertama 2009 dengan kebersamaan yang penuh harapan. Seperti kata Romo Inug dalam kotahnya yang mengutip sebuah lagu. Persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu. Membuat segalanya makin indah. Terima kasih Tuhan atas tahun 2008 yang lalu dan 2009 yang kau masih kau perkenankan untuk kujalani. Semoga kerapuhan di 2008 diperbaiki di 2009 dan kebaikan ditahun yang lalu masih dapat kumiliki dan lebih kukembangkan dalam hidup sehari-hari. Terima kasih atas persahabatan!!

Perjalanan Menjelang Akhir Tahun

Tanggal 29 Desember 2008. Aku melaju menuju Semarang sekitar pukul 17.00 WIB bersama Max (rekan di PMKRI Yogyakarta). Dari kota Gudeg Jogja aku memang memintanya menemaniku ke Semarang dengan mengendarai motor. Esoknya aku harus mengikuti training. Setelah itu kantor libur dan ini kesempatan buatku kembali lagi ke Jogja bersama Max dalam hitungan singkat.
Dalam perjalanan kami bercerita soal pentingnya pemahaman organisasi bagi kader-kader gereja dan bangsa. Max sepakat dengan pandanganku bahwa kader tanpa pemahaman organisasi yang baik, pastilah bukan kader. Maka penting bagi setiap orang yang hendak menjadi kader untuk terbuka dan belajar lebi banyak untuk meningkatkan kemampuan diri baik kecerdasan otak maupun kualitas watak.
Selama perjalanan menuju Semarang aku baru tahu kalau Max ternyata belum punya SIM. Namun aku percaya saja ia yang menyetir motor. Tak ragu kalau terjadi soal di jalanan yang padat. STNK motor juga sudah kadaluarsa, tidak membantu malah bisa saja menyulitkan.
Sempat dihadang hujan, namun dengan visualisasi ala D Secret dan keyakinan akan perlindungan Tuhan semua pada akhirnya baik. Hujan tidak mengganggu sampai kami tiba di Ambarawa. Aku menawarkan Max untuk mampir ke rumah Nino yang berada di belakang kelenteng Ambarawa, tidak ada dalam skenario visualisasi untuk mampir. Maksud hati hendak menyampaikan selamat natal. Tidak ada Nino, ya keluarga yang ada. Sayang saat hendak mampir, tak seorangpun yang bisa di jumpai kecuali kerabat Nino disekitar rumah itu. Kami putuskan melanjutkan perjalanan. Namun baru melaju sebentar Max mengatakan Hpnya raib, sendalnya juga putus. Setelah mencari dengan gelisah kami putuskan mengabaikan saja dan merelakan HP tersebut. Baru hendak melanjutkan perjalanan, motor juga ikut-ikutan mogok. Eeee ... hujan juga turun mengguyur kota Palagan Ambara. Apesssss. Batinku.
Max mengungkapkan kehilangan terbesar adalah no penting yang ada dalam HP bukan HP, katanya. Tapi mengingat ketidaknyamanan beruntun ini, Max mereka-reka kejadian ini dan mempertanyakan kira-kira tanda apa yang tengah terjadi. Aku memintanya mengabaikan saja tanpa harus dianggap sebagai tanda-tanda. Aku mengatakan bahwa ini tandanya kita akan dapat sesuatu yang lebih besar nilainya dibandingkan kehilangan HP. Kami melanjutkan perjalanan. Saat tiba di Ungaran ia mengatakan sekali lagi keinginannya untuk mencari Romo Sugondo, SJ yang merupakan orang tua angkat baginya selama dulu berada di Sorong, Papua. Menurutnya Romo tersebut setelah dari Papua berada di Ungaran. Sambil menunjuk Pasturan Jesuit di Girisonta. Mudahan kalau tidak bertemu hari ini, ya besok. Ujarku. Saat aku ke kantor mengikuti training kamu boleh berjalan-jalan dan belajar banyak hal dengan Lukas. Tambahku.
Sesampai di Sekretariat Semarang, Lukas pak Ketua Presidium PMKRI Cabang Semarang menyambut dengan senyum. Aku bersyukur, akhirnya sampai juga. Setelah menceritakan pengalaman perjalanan kami Lukas hanya tertawa kecil sambil senyum-senyum. Sisa malam itu kami manfaatkan untuk mendampingin Max belajar keorganisasian terlebih seputar pemahaman akan pentingnya isu strategis Gerakan Kemasyarakatan. Selain itu Max diajak mengikuti misa dan temu aktivis bersama Romo Pendamping Mahasiswa yang dulu pernah berkarya di Wisma Drijarkara, Semarang. Aku meminta Lukas mendampinginya. Max senang mendapat ruang baru menambah luasnya wawasan. Max juga girang bukan kepalang ketika tahu, orang yang dicarinya itu adalah romo yang menyelenggarakan pertemuan aktivis tersebut. Artinya si Max akan bertemu dengan orang yang begitu dihormati dan dicarinya. Ini sesuatu yang lebih bernilai dari pada nilai HP yang hilang di jalan. Ujarku. Max tersenyum bahagia. Aku sendiri tertidur pulas saat Max masih ngobrol dengan rekan-rekan di Semarang.

Tanggal 30 Desember 2008. Keesokan harinya. Aku bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Sempat kulihat Lukas menggenjot sepedanya meninggalkan wisma, ke rumahnya. Bersiap mengikuti acara hari itu. Setelah mandi aku baca koran pagi dan menyapa Romo Edy dan seorang bapak yang ada disitu. Mas Luluk ikut nimbrung. Pembicaraan di ruang baca itu sampai pada persoalan gempuran Israel terhadap wilayah Gaza, Palestina. Bapak yang ada disitu mengungkapkan kegelisahannya atas isu Palestina yang tidak banyak digubris apalagi dikecam pihak non-muslim. Menurutnya kalangan katolik terutama harus punya suara tegas terhadap kekejaman Israel yang serakah. Persoalan di Palestina bukan soal agama, melainkan persoalan kebebasan dan hak hidup sebuah bangsa. Maka sudah layak dan sepantasnya atas nama kemanusiaan kita bersikap atas kekejian Israel yang memborbardir wilayah Palestina. Aku setuju.
Saat hendak menuju kantor, aku baru sadar kalau spion motor itu hanya satu. Padahal di Semarang kesalahan kecil tidak dapat ditolerir. Karena takut ditilang, STNK belum diperpanjang, dan urusan bisa tambah panjang aku berusaha mencari spion kanan yang mungkin ada di Wisma Drijarkara. Mas Luluk memberiku satu spion kecil dan bisa dipakai. Kendati tidak seimbang. Tapi cukup menambah kepercayaan diri melaju di jalanan utama kota Semarang. Kok gak kepikiran sejak di Jogja. Batinku sambil garuk-garuk kepala.
Usai training sore itu pukul 17.00 WIB dan setelah berbasa-basi dengan Max dan Lukas seputar acara mereka hari itu, kami putuskan kembali ke Jogja saat itu juga. Takut keburu hujan. Setelah pamitan dengan rekan-rekan dan Romo Edy kami melaju meninggalkan Semarang.
Sayang lagi, dugaan kami salah. Keputusan berangkat saat itu juga ternyata membuahkan pengalaman mengesankan. Hujan turun mengguyur kami. Kami terpaksa mencari tempat berteduh. Agak nyesal gak bawa mantel. Menunjukkan kami yang tidak siap berangkat dengan sigap sebelumnya dari Jogja. Kami hanya bisa tertawa. Setelah menunggu sekitar setengah jam di emperan warung yang gelap itu kami putuskan melanjutkan perjalanan, kendati hujan belum reda. Baru sekitar lima menit melaju kami harus mencari tempat berteduh lagi. Hujan makin deras dan tidak bersahabat. Sulit mencari tempat berteduh di jalur padat Semarang-Ungaran. Yang ada hanya halte tua yang atapnya bocor. Kami berteduh disitu. Hujan tetap saja tak reda. Menunggu sekitar 30 menit lagi kuajak Max melanjutkan perjalanan. Mengambil resiko kehujanan sedikit, sampai menemukan tempat berteduh yang cocok. Tempat berteduh dengan makanan dan minuman penghangat badan. Sambil menembus hujan yang malah tambah deras, kami akhirnya menemukan sebuah Warung Tegal yang cukup nyaman. Kami putuskan berhenti disitu sambil makan malam.
Setelah makan dan beristirahat cukup lama. Hujan tak juga reda. Aku menyempatkan diri tidur diemperan warung itu. Radang tenggorokanku tak bisa dikompromi. Cukup lama juga aku menyempatkan diri untuk tidur.
Tak jua hujan reda, kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Nekat menembus hujan. Masih sempat berhenti dua kali di wilayah Magelang karena hujan juga. Sampai akhirnya kami tiba di Jogja. Alhamdulilahhhhhh.
Bagiku pengalaman ini menunjukkan betapa semangat diri saat masih muda itu begitu hebatnya sampai mengalahkan logika untuk antisipasi keberangkatan. Selain itu perjalanan menjelang akhir tahun ini bagiku makin menguatkan keyakinanku bahwa Tuhan senantiasa menyertai perjalanan hidup kita. Kendati rintangan dan kendala tak sesuai harapan, kendati bayangan indah perjalan hidup tak kunjung nyata, kasih dan perlindungannya satu-satunya yang tetap nyata.

En Todos Amar y Servir!