Tik
... Tik .. Tik.
Rasanya baru beberapa waktu lalu suara dari Mesjid yang
mengingatkan sahur terdengar. Tidur larut dini hari rupanya tidak berpengaruh
sehingga aku tidak perlu bangun di waktu benar-benar siang. Aku bangun dan bisa
mendengarkan bunyi jarum jam tangan di atas meja. Mimpi satu sekuel dengan
mantan di era Putih Biru barusan memang membuatku satu sisi bisa tertawa, namun
di sisi lain menggelisahkan. Mungkin stimulus kegelisahan membuatku bangun
lebih awal dari prediksi. Bunga-bunga tidur dari taman alam bawah sadar. Siapa
yang paham.
Sebentar kusimak berita dari rekan di Roma. Rencana pertemuan 30
observer yang akan diseleksi dari ratusan kami yang menjadi member di jaringan
orang muda untuk keadilan sosial. Entahlah apakah undangan tersebut yang
menyertakan kata kunci menarik “akan turut misa khusus dengan seorang dengan
jubah putih” akan sampai padaku. Masih agak kecewa dengan kegagalan pertama ke
Roma karena keterlambatan visa. Menghadapi berita itu saja sebenarnya
membingungkan. Bahasa aliennya memicu galau. Antara berkah dan gelisah. Berkah
karena impian masa lalu dan kegagalan visa beberapa bulan lalu akan terobati.
Gelisah karena membayangkan keterbatasan bahasa dan lebih menggelisahkan lagi,
jauh dari nasi. Jauh dan harus hidup dengan roti, roti, dan ya ... pizza dan
roti lagi. Oh, sindrom kurang percaya diri akut dan nasib jadi warga dengan
kebijakan penyeragaman pangan.
Dasar pikiran kacau. Kulupakan sejenak Roma dan kembali kesini.
Realitas dan realitas bahwa saya saat ini di tanah air tercinta. Lebih sadar
lagi saat menyaksikan bahwa sampai detik ini masih saja banyak yang
membicarakan ormas anti maksiat. Ormas yang masih memicu perdebatan sampai
detik ini. Dari group kedaerahan hingga group nasional tempat para pendukung
pencapresan Gubernur DKI, semua bicara tentang ormas yang lebih tepatnya saya