Pilihan

Rabu, 27 Mei 2009

Sebuah Pengalaman MAGiS


Beberapa waktu lalu saya risau. Proyek kecil saya bersama 5 orang teman untuk orang muda (PMKRI.com = Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada Camping Orang Muda), persiapannya serba terbatas. Ya terbatas orang, ya terbatas waktu, ya terbatas kesabaran.
Awalnya acara ini digagas untuk merespon curhat Mgr. Ign Suharyo dalam wawan hati di Kevikepan Semarang untuk menyambut Tahun Kaum Muda KAS 2009. Dalam acara tersebut, beliau mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya orang muda yang tidak memahami tujuan hidupnya dan tidak tahu berefleksi. Selain itu, sebagai upaya PMKRI St. Gregorius Semarang untuk mengarahkan kaum muda untuk bergerak di ranah kepemimpinan sosial seturut tema Tahun Kaum Muda Menggugah dan Mengubah Dunia.
Sebagai orang yang mengusulkan, saya diminta bantuan menangani acara. Dalam keterbatasan waktu dan beratnya tuntutan kerja, aku mulai mengumpulkan 5 orang tim dan memulai sharing bersama. Kendati demikian, berhubung 5 anak manusia ini terdiri dari 3 pekerja dan 2 mahasiswa di ujung tanduk (dituntut segera menyelesaikan skripsi), maka seluruh komitmen pun dihadang badai keterbatasan. Beberapa yang lain tidak bisa terlibat berhubung jadwal yang tidak sesuai. Waktu pelaksanaan diundur, rekan baru dicari tapi tetap saja sulit.
Seminggu menjelang hari H aku mengontak Tjoen dan menjelaskan kondisiku. Berharap akan ada yang bisa membantu dari MAGiS terutama mereka yang kemarin beruntung berangkat ke Sidney. Aku juga mengontak Sr. Iren dan meminta doa untuk persiapan acara ini. Fr. Bagus yang lagi facebook-an juga tak luput kuminta bantuan materi. Serba mendadak, serba melelahkan. Semua teman dikontak dan semua tidak menjawab. Beberapa yang sempat mengiyakan, mundur teratur karena tuntutan kampus. Hanes dan Bell gonta-ganti mengontak meminta kejelasan acara. Sampai-sampai ada konflik komunikasi antara aku dan Bella, karena carut marut komunikasi antara aku yang minta tolong dan yang hendak menolong. Ribetnya kerjaan membuatku selalu jadi lupa membalas dan menjelaskan secara rinci mengenai acara. Lagi pula memang saat itu aku sendiri belum fix dengan acara. (Bella trims udah mau mengerti).
Dua malam sebelum hari H aku tidak bisa tidur. Mempersiapkan materi yang kiranya perlu disiapkan. Jumat malam sepulang dari kantor, di Wisma Drijarkara kurancang ulang semua jadwal acara. Pusiiiing. Aku resah. Khawatir kalau acara ini hanya akan menjadi produk gagal dari mimpi-mimpi kecilku. Aku berusaha tidak menyakiti perasaan teman-teman lain dengan bersikap terlalu emosional. Aku sangat paham kalau emosiku bisa meledak setiap saat mengingat totalitas hanya milik satu dua orang teman saja (dalam pengamatanku).
Menjelang hari H, tenda-tenda terpasang dan seluruh persiapan dadakan harus dilakukan. Banyak teman tidak tahu perannya, sebagian lagi tidak mau tahu. Rasa lega sedikit muncul saat Bella dan Hanes menyatakan mereka siap meluncur ke Camping Ground Gua Maria Kerep Ambarawa. Lebih lega lagi ketika Niko Simamora yang sejak awal kubujuk datang akhirnya menyatakan diri segera datang dari Jogja. (Sempat kepikiran kalau manusia satu ini tidak datang, kontrak persahabatannya akan dikaji lagi. Heheeee).
Lalu keresahan lain pun muncul, hujan mulai turun. Wahhh, acara bisa terganggu, pikirku. Tapi dengan segala keterbatasan dan tanpa pikir panjang soal jadwal aku minta acara dimulai. Keresahan itu masih tersembunyi dibalik rambutku yang kusut.
So, acara pembukaan. Peserta dijelaskan mengenai acara, latar belakang, dan tujuannya. Tema menggugah dan mengubah dunia, Waooo!!. Para peserta masih terpaku. Kontrak belajar seluruh harta benda dan peranti teknologi berbagai merek diamankan. Peserta pun memulai acara dengan sesi mengenal Prinsip dasar rasul awam (menurut pematerinya), yang seutuh-utuhnya merupakan penjelasan mengenai azas dan dasar. Beberapa peserta bingung.
Makan malam, rehat sejenak, lalu sesi berikut perkenalan profile MAGiS dan program Ignasian-nya. Aku, Bella, Hanes, Tera dan Nino memperkenalkan keluarga kita (dua nama terakhir merupakan saudara sekandung di MAGiS09). Berikutnya kita berbagi pengalaman dan mengajak peserta belajar mengenal doa hening, examen hingga Jurnaling. Dalam hitungan jam, proses kita setahun dibagikan secara instan. Kedatangan Niko di sela perkenalan makin menambah semangat. Ia membagikan pengalaman ikut WYD.
Dalam proses doa hening, setelah sebelumnya memberi gambaran hingga sikap tubuh, Tera memandu peserta. Sepuluh menit keheningan pun dibagikan. Hasilnya beberapa peserta mulai berubah ekspresinya. Ada yang kusut, ada yang meringis karena keram, dan ada yang kebingungan. Kami menjawab beberapa pertanyaan seturut pengalaman kami.
Berikutnya kami mendampingi dalam examen para peserta dibawah gerimis tipis yang tak mau meninggalkan bumi Palagan Ambarawa. Dengan selembar kertas panduan examen dan sebuah lilin yang bernyala mereka menjalani examen.
Dari jurnaling malam itu, kami mulai melihat pengalaman masing-masing peserta. Bella sempat tersenyum sambil mengatakan kalau melihat jurnal peserta itu, ia mengingat bagaimana dulu di awal program MAGiS ia menulis. Kami tertawa. Tapi tak sedikit juga dari tulisan tersebut, sampai pada penemuan pengalaman akan Allah yang begitu dekat dengan mereka. Dua diantara jurnal yang sempat kubaca bahkan menunjukkan pergulatan penulisnya untuk melakukan rekonsiliasi dengan persoalan yang dihadapi. Ada yang dengan rendah hati menerima kenyataan dirinya.
Mengingat waktu, setelah sejenak meringankan pikiran dengan icebreaking peserta diminta istirahat secara sadar seturut kebutuhan. Rata-rata peserta hilang dan tak tahu kemana. Beberapa mulai bersiap istirahat, beberapa yang lain cari makan tengah malam, ada yang ke gua Maria, dan ada yang menuju api unggun. AKu sendiri pergi menemui beberapa pengurus PMKRI dari Jogja, Solo dan Semarang. Mereka yang haus diskusi ini tampaknya memanfaatkan momen untuk bertemu rekan seperhimpunannya, tanpa minat ikut berproses di acara. Hingga pukul setengah 3 pagi sampai akhirnya aku, Niko dan Olan terkapar di salah satu tenda yang basah dan ditinggalkan penghuninya mengungsi ke Rumah Kaca.
Beberapa jam kemudian di pukul 06 pagi, aku melihat beberapa orang yang melakukan Exodus sesuai saran di malam sebelumnya. Beberapa yang lain masih molor. Saat akan memulai outbond aku sempat menanyakan berapa peserta yang ikut eksodus. Beberapa maju kedepan menyatakan diri. Yang lain tertunduk lesu karena mengabaikan satu bagian dalam proses. Aku tetap menyemangati dan membiarkan mereka menikmati proses berikutnya.
Outbond dengan spider web game dan web ball di sungai pagi hari itu menambah suasana akrab peserta yang baru semalam saling kenal. Percikan air mengenai peserta. Satu sama lain makin larut dalam kegembiraan. Saling menyiram dengan air tak terelakkan sampai-sampai kegembiraan itu membuat salah seorang peserta pingsan. Menghindari kepanikan, seluruh peserta diminta kembali ke arena camping. Peserta yang pingsan segera diamankan dan dibantu dalam proses pemulihan. Syukurlah segera siuman. Bahkan bersama peserta lain sudah kembali bisa turut dalam examen dan jurnaling siang itu. Dalam sharing kelompok yang difasilitasi oleh rekan-rekan, tampak ketertarikan beberapa peserta mengenal lebih jauh spiritualitas yang dipelajari rekan-rekan MAGiS. Beberapa bahkan menunjukkan minat terlibat di program MAGiS berikutnya, jika tahun berikutnya ada.
Dalam misa penutup, kami memilih dua orang peserta membagikan pengalaman menjelang homili. Lista, peserta dari PMKRI Solo tak bisa menahan haru menceritakan pengalamannya. Bagaimana ia awalnya kurang memahami proses, sampai kemudian dalam Exodus dan sharing, ia mulai menyadari betapa selama ini ia begitu jauh dari Tuhan. Relasinya terasa jauh akibat kurangnya ia memberi waktu untuk menyadari relasi tersebut. Air mata haru itu membuat suasana sedikit terpengaruh. Peserta lain ada yang tertunduk. Mudahan karena merasakan hal yang sama dengan Lista.
Chandra, peserta dari komunitas mahasiswa Katolik IKIP PGRI Semarang, mengungkapkan pengalamannya dalam Exodus lebih mantap. Ia menemukan kesadaran bagaimana TUhan menemaninya setiap waktu. Ia begitu bersyukur untuk tiap peristiwa dalam hidupnya yang ia yakini selalu ditemani oleh TUhan.
Hal yang membuatku terharu adalah satu titik dimana aku tidak membayangkan peserta mampu sampai pada kesadaran itu, padahal aku sendiri mempersiapkan segala sesuatunya dalam situasi yang tidak mengenakkan dan terkesan kurang siap. Namun seperti yang kami sepakati di sharing sebelumnya bersama teman-teman MAGiS, bahwa standar kesuksesan acara kami tegaskan bila minimal 1 orang peserta bisa sampai pada penemuan dan kesadaran akan hadirnya Allah dalam peristiwa hidup mereka. Dalam misa penutup itulah kemudian aku pun dalam kebanggan hati menyadari kerendahanku. Sebab bagaimanapun bila aku sendiri tidak pernah memprediksi hasil sedemikian bagus itu, maka sekali lagi rahmat Tuhan yang telah membuat semua proses mengalir membentur jadwal yang kaku dan menemani peserta itu dalam pergulatan batin mereka.
Terima kasih Tuhan atas kesetiaan dan rahmatMu. Terima kasih rekan-rekan panitia dan Pengurus PMKRI Semarang, Tim Kecil pendampingan MAGiS (Tjoen, Bella, Hanes, Niko, Tera dan Nino). Terima kasih semua peserta.
Semoga semua ini menjadi satu langkah menuju langkah berikutnya dalam upaya menggugah dan mengubah dunia yang kian terasing. Semoga ini membuat kita semua menyadari dan selalu berupaya menjaga semangat komunitas kita, Keep MAGiS! Pro Ecclesia Et Patria!

Teriring salam dan terima kasih,