Pilihan

Kamis, 31 Maret 2011

DE OMNIBUS DUBITANDUM

"DE OMNIBUS DUBITANDUM". Demikian sebuah kalimat penting yang beberapa pekan ini terlintas di benakku. Kalimat tersebut kurang lebih bermaksud menyatakan agar kita selalu mempertanyakan apa yang kita yakini sebagai sebuah kenyataan dan fakta. Sebab apa yang kita yakini benar atau fakta barangkali merupakan sebuah rekayasa pikiran kita yang dipacu oleh situasi yang kita lihat, atau pernyataan orang yang kita dengar.

Banyak kali kita, kerap menganggap bahwa apa yang kita lihat dan kita dengar sebagai sebuah kebenaran. Lebih rumit lagi ketika kebenaran tersebut kita tangkap tanpa proses pengujian lebih lanjut melalui rasionalitas yang teruji pula. Konsekuensinya kita menggunakan "Kebenaran" itu sebagai sebuah sikap dalam menghadapi orang-orang disekitar kita. Jiwa dan pikiran yang labil membuat kita mudah menerima setiap masukan yang direspon melalui pikiran kita. Ada dua kemungkinan bahwa kita menjadi kerap ngotot dengan apa yang kita yakini atau yang kedua kita mudah terombang ambing dan tidak bisa memasang jangkar prinsip kita.

Beberapa kali saya mengalaminya atau menemukan teman yang terjebak dalam situasi ini. Beberapa kali saya mudah berubah pikiran dan membuat orang di sekitar saya pusing tujuh kali tujuh keliling. Begitu pula ketika teman saya yang demikian, giliran saya yang pusing tujuh turunan. Acapkali jalan pikiran yang kurang logis menyesatkan kita dan membuat kita hidup dalam ketidakjelasan.

Untuk menghadapi situasi ini, maka kalimat latin diatas tampaknya patut kita jadikan sebagai sebuah pegangan dalam merespon situasi di sekitar kita. Mengujinya sebelum kita jadikan sebagai sebuah kebenaran bagi diri kita. Agar jangan sampai kita terjebak. Hendak menyatakan diri kita sebagai putih diantara hitam, tapi kita lupa menanggalkan warna hitam diri kita. Selamat mencoba.

Jumat, 25 Maret 2011

NEGERI PARA BAJINGAN


Membaca harian Kompas dalam hari-hari ini membuat hati miris. Tidak hanya miris, tapi melihat jumlah angka yang fantastis dan relevansinya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat membuat saya bertannya, masihkah ada Politisi yang punya hati? Punya hati untuk sadar diri kalau belum punya kinerja yang membangunkan negeri, sadar diri kalau kerjaannya masih hanya menghamburkan uang rakyat dengan studi banding ke luar negeri, dan tiap hari muncul dengan kisruh politik di televisi. Punya hati untuk merasakan derita rakyat dibalik glamornya pemberitaan Kasus Bank Century, Gayus Tambunan, hingga bom buku di dalam negeri.

Proyek pembangunan untuk gedung baru DPR RI yang akan mulai pada 22 Juni kabarnya menelan biaya Rp 1,138 triliun. Sebagian besar dari total biaya itu diserap untuk pembuatan 560 ruangan anggota DPR yang akan menghabiskan biaya sekitar Rp 800 juta per ruangannya (Kompas.com 25/03). Seolah anggota DPR sudah kehilangan rasa malu, kerjanya ribut mengurus kepentingan partai tapi minta gedung dewan sekelas istana senyaman suasana pantai.

Belum lagi pemerintah dalam hal ini jelas sekali tampak linglung. Periode kepemimpinan untuk kedua kalinya bagi kepala negara seharusnya menjadi masa penting dalam perombakan proses penyelenggaraan negara tapi yang muncul adalah sebaliknya. Pemerintah pun terjebak dalam kekisruhan politik yang tak berujung. Kegamangan dalam bekerja jelas menyeret pemerintah dalam pusaran kesia-siaan. Dukungan rakyat yang besar tidak mendorong pemimpin makin percaya diri. Sebaliknya kekuatan pemerintah dibangun diatas koalisi yang amburadul dan rentan terhadap praktik politik dagang sapi. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan lagi, benarkah dukungan besar itu dulu berasal dari rakyat atau barangkali dukungan itu sesungguhnya tak pernah ada?

Lihatlah bagaimana kasus-kasus yang terjadi di daerah. Lebih seringlah membaca kabar dari daerah. Temukan bagaimana kondisi masyarakat di daerah. Para petani yang tanahnya dirampas untuk kepentingan penguasa, para petani yang gagal panen, hingga petani yang mampu panen tapi tak mampu mendapat kesejahteraan karena harga komoditas yang rendah. Belum lagi berita dari para pelaksana kebijakan di daerah yang tingkahnya makin aneh. Di Aceh, DPR Aceh mengaku banding terhadap putusan MK yang memutuskan Calon Independen atau perseorangan dapat maju menuju pentas pemilihan kepala daerah tanpa jalur partai. Tindakan ini disertai dengan ancaman pula dengan dalih Aceh punya keistimewaan di bidang politik berdasarkan perjanjian Helsinki. Sikap ini jelas arogan dan mengandung perlawanan terhadap konstitusi dimana putusan MK merupakan putusan final bagi seluruh pihak. Lebih nyeleneh lagi dalam suatu pidato bupati beberapa oknum camat ketahuan menonton video porno sebagai suatu bagian yang dengan semangat dilawan oleh Menkoinfokom, Tifatul Sembiring.

Lalu masihkah kita egois untuk bersikap tidak peduli dengan kenyataan ini. Masihkah kita mengatakan, ya sudahlah. Anda barangkali berpikir bahwa semua hal yang terjadi sekarang seperti sebuah sandiwara. Saya sepakat dengan anda. Tapi sandiwara ini benar-benar nyata dan tidak lucu sama sekali. Jangan kira ratusan juta rupiah untuk satu ruangan anggota DPR itu datangnya dari langit. Uang itu berasal dari uang negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan anda, mengurangi biaya kuliah anda yang harganya selangit, untuk membangun jalan raya agar motor dan mobil anda tidak perlu rusak rutin karena jalan berlubang, membangun industri agar anda atau sanak keluarga anda tidak perlu menganggur dan rentan menjadi pelaku kriminal.

Jika anda masih berpikir egois dan barangkali berkata, persetan dengan semua,. Maka sama saja sebenarnya kita melengkapi rencana Negara Gagal Republik Indonesia. Bila pemerintah hanya sibuk bersolek untuk mengadakan perjanjian "Cinta Satu Malam" dengan para kapitalis, saat anggota Dewan sibuk bersandiwara dan menghambur-hamburkan uang negara yang barangkali datang dari pinjaman pula, lembaga-lembaga negara saling main mata, PSSI kerjanya rebutan bola dan melupakan piala, rakyat seperti kita ini makin tidak peduli dan bersikap apatis, maka lengkaplah perangkat negeri baru kita.

Negeri Para Bajingan.... Selamat Datang!