Pilihan

Kamis, 11 Januari 2007

CeRpEn CeRiA!

CInTa ValenTina

Siapa tidak kesal kalau menunggu terlalu lama. Sudah senja, hujan deras lagi.
Apes benar nasib Bona hari ini. Pakaiannya sudah mulai basah dan tempat ia
berteduh semakin dipadati pejalan kaki yang mencoba melindungi diri dari hujan.
Tempat itu hanyalah sebuah kios kecil dipinggiran jalan yang sudah tutup.
Tadinya Bona berteduh disitu bersama seorang bocah kecil yang sering ngamen
disekitar tempat itu. Sekarang beberapa pejalan kaki menambah sesak tempat itu.
Tempat itu bagaimanapun hanya sebuah kios kecil dengan atap yang juga sudah
karatan bahkan bocor.
Lengkaplah sudah kekesalan Bona. Pakaian basah, yang ditunggu belum juga datang,
sementara ia harus berdesakan dengan para pejalan kaki yang berteduh dari
guyuran hujan. Bona sejenak menyadari kalau disitu hanya dirinyalah seorang
lelaki dengan seorang bocah pengamen itu, selebihnya adalah ibu-ibu paruh baya.
Bona menghela nafas dan pada akhirnya menyerah lalu berlalu dari situ. Tanpa
berusaha melindungi dirinya ia berjalan dibawah guyuran hujan menuju ke kosnya.
Toh bagaimanapun ia sudah terlanjur basah.
Bona mencoba memejamkan mata dalam selimut kesayangannya. Dingin mulai
merasukinya tanpa ia sadari. Ia benar-benar tak bisa menerima peristiwa hari
ini. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya sendiri. Janji ke gereja bareng malah
diguyur hujan dalam kesendiriannya. bona benar-benar tidak habis pikir dengan
sikap kekasihnya yang sudah 2 tahun ini mendampinginya. Ia kesal luar biasa.
Sambil berbaring ia melihat ponselnya yang mengalami kerusakan karena ia lupa
untuk mengamankannya. Barangkali karena terlalu kecewa sampai Bona bisa lupa
segalanya.
Sementara itu ditempat yang lain Alexia panik bukan main. Valentina saudarinya
tiba-tiba jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. Alexia yang seminggu ini berlibur
mengunjungi Valentina sudah kurang lebih 3 jam menunggui Valentina yang tak
kunjung siuman di ruang perawatan rumah sakit. Ia benar-benar mencemaskan
saudari sulungnya itu. Valentina adalah segalanya bagi Alexia. Ia begitu
mencintai Valentina karena memang hanya mereka berdualah yang dimiliki orang tua
mereka. Dan mereka selalu akrab satu sama lain. Terlebih setelah Alexia tahu apa
yang dialami Valentina.
Alexia menitikkan air mata, tak mampu ia menahan kesedihannya. Gadis itu tak
kuasa melihat keadaan Valentina yang terbaring lemah dengan infus ditubuhnya.
Alexia tak memahami keadaan saudarinya itu. Ia hanya tahu bahwa akhir-akhir ini
Valentina terlalu kelelahan membagi waktunya untuk kuliah dan bekerja di salah
satu stasiun Radio. Dan ia tak mampu menduga penyakit apa yang diderita
Valentina. Bahkan dokter belum memberi keterangan medis.
Alexia terkesiap ketika terlintas wajah Bona dalam benaknya. Bona, kekasih
kakaknya yang baru ia kenal beberapa hari lalu, pastilah belum mengetahui
kejadian ini. Gadis berambut ikal itu lalu mencari ponsel Valentina dalam
tasnya, lalu mencari nomor Bona. Ia baru memasang ponsel itu di telinganya dan
suara operator membuatnya kalut bukan main. Tak bisa disambungkan. Ia mencoba
hingga beberapa kali hingga ia sekali lagi tak mampu menahan tangisnya. Alexia
makin kalut, kegelapan malam serta hujan seakan menggambarkan suasana hatinya.
Ia terisak hingga terbawa dalam tidur karena kelelahan. Bahkan ketika seorang
perawat menyelimuti tubuh jenjangnya yang terbaring di sofa kamar perawatan itu,
ia pun tetap larut dalam tidurnya, dalam mimpi yang menyedihkan.
Selama itu, Alexia bisa mengenali sosok wanita yang berjalan didepannya. Itu
sosok Valentina. Alexia bingung menyaksikan pemandangan itu. Ia bahkan tak tahu
dirinya sedang berada dimana. Semua tampak putih di matanya. Suasana tempat itu
sungguh luar biasa unik tapi tetap Alexia merasakan kesenyapan yang aneh dalam
dirinya. Dan Valentina, kemana pula ia hendak berjalan. Jalan yang ditapakinya
itu mengarah pada cahaya yang lebih berkilau dari yang lain. Bahkan sepasang
mata Alexia tak kuasa menahan kilauan cahaya yang dituju Valentina. Alexia
berusaha menggapai kakaknya dan terus berteriak memanggil namanya, namun sosok
Valentina terus saja berjalan tanpa sekalipun menoleh padanya. Alexia terus
berteriak terus mencoba menggapai tubuh kakaknya namun sepasang tangan kuat
mencekal lengannya. Ia tak bisa menggapai lebih jauh dan Valentina semakin jauh
dari pandangan. Histeria Alexia tak tertahan.
" Alexia!! Alexia!! Sadar Alexia!! " Alexia merasakan seseorang memanggil
namanya. Sosok yang mencekal lengannya itu tampaknya ia kenal. Semua serba
putih. " Alexia!! Buka matamu, ini aku!!" Suara lirih itu dikenalnya. Suara
orang yang mncekalnya. Ia perlahan membuka mata dan bisa melihat dengan jelas
lelaki yang ada didepannya masih mencekalnya.
" Mas Bona..?" Alexia terisak kembali lalu merangkul lelaki itu, mencoba
menumpahkan kesedihannya.
" Tenanglah Alexia.." Bona mengusap rambut ikal Alexia " Semua akan beres " Dan
lama sampai akhirnya isak tangis Alexia mulai mereda. Ia mencoba menenangkan
dirinya sambil menarik napas dalam-dalam. Ia melirik jam dinding, tepat pukul 01
pagi. Ia bahkan tak menyadari kalau Bona sudah berada disitu hanya beberapa saat
setelah ia tertidur.
Bona membiarkan Alexia menyandarkan diri di sofa. Lelaki bertubuh atletis itu
melangkah menghampiri Valentina yang terbaring tak berdaya. Ia memegang tangan
gadis itu, mencoba menyapanya dalam bahasa yang berbeda. Bahasa cinta dua
manusia. Bona ingin Valentina bisa merasakan kehadirannya dalam
ketidaksadarannya. Mata Bona berkaca-kaca tak kuasa melihat keadaan kekasihnya
Valentina. Ia menyesali kecurigaannya beberapa waktu lalu. Ia baru memahami
ketika sadar bahwa selama ini Valentina belum pernah sekalipun mengecewakannya.
Dan kesadaran akan cintanya itu pula ia merasakan sesuatu telah terjadi dengan
kekasihnya itu. Sesuatu terjadi pada Valentina.
Bona menyapa jiwa Valentina yang hampa dan memohon dari sisi yang lain untuk
kesembuhan gadis bermata indah itu. Keindahan yang tampak redup dalam
keadaaannya. Bona berusaha menegarkan dirinya sendiri dan Valentina dalam bahasa
jiwanya. Alexia diam tak bergeming, membiarkan kebisuan meredam kesedihan
diantara mereka.
Alexia pada akhirnya memutuskan untuk menghubungi orang tuanya. Ia tak mampu
menjelaskan banyak. Isak tangisnya yang terdengar di telepon cukup menjelaskan
betapa Valentina mengalami sesuatu yang berat. Orang tua yang jarang saling
menyapa itu pada akhirnya memahami ini masalah puteri mereka, masalah mereka
sebagai orang tua. Valentina meredam ketidakcocokan orangtuanya dengan keadaan
lemahnya. Dua manusia paruh baya itu saling berangkulan, saling menegarkan diri
menghadapi keadaan. Mereka mempersipkan keberangkatan secepat mungkin menuju
Yogyakarta.
************************
Sepanjang hari ruang perawatan Valentina seolah tak pernah kosong.
Rekan-rekannya berdatangan menjenguknya dan memberikan dukungan bagi bona dan
Alexia. Semua memberi perhatian dan doa mereka walau hanya dalam kebisuan dan
ekspresi kesedihan. Tak satupun diantara mereka yang menyangka Valentina, wanita
penyabar dan dikenal tegar dan selalu ceria itu bisa terpuruk dalam keadaannya.
Bona membiarkan Alexia menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia tak mampu melihat
keadaan gadis itu saat mendengar keterangan dari Dokter yang menangani kesehatan
Valentina. Vonis dokter seakan menekan jiwa Alexia, juga Bona yang dalam
ketegaran mengalami kerapuhan dalam dirinya.
Alexia memandang lemah pada orangtuanya yang hanya mampu terpaku diambang pintu.
Alexia melangkahkan kakinya yang dengan tangan gemetar memeluk ibunya. Kebisuan
bertambah dalam dan menyakitkan. Ibu dan anak itu tercekam dalam kesedihan. Bona
memandang pada sosok lelaki yang terpaku diantara Alexia dan ibunya, tak seperti
apa yang pernah diceritakan valentina lelaki itutampak kusut dan lemah. Sorot
mata lelaki itu berbeda jauh dengan yang diketahuinya dari kisah kepedihan
Valentina. Sosok ayah yang tak pernah bisa menerima pilihan Valentina dalam
menjalani hidup. Sosok ayah yang selalu memaksa Valentina untuk berjodoh dengan
pilihannya bahkan meminta anaknya sendiri untuk berhenti kuliah demi
keinginannya. Keinginan untuk bisa menikahkan Valentina dengan putra salah
seorang temannya yang kini terpandang di daerahnya bahkan di kancah perpolitikan
nasional. Lelaki yang kerap mengancam menceraikan istrinya bila Valentina tak
memenuhi keinginannya. Tak aneh bila hampir setahun ini Valentina berusaha
memenuhi kebutuhannya sendiri. Ayahnya tak berkenan lagi membiayai kuliahnya.
Begitu beratnya persoalan yang harus dihadapi Valentina. Dan dari lubuk hatinya
Bona tahu kalau Valentina bahkan menentang kehendak orangtuanya, menegarkan
dirinya sendiri dalam keterasingan, demi cintanya. Demi cinta pada Bona yang
selama ini memberinya arti kasih dan hidup.
Valentina sudah terlalu banyak menderita bukan hanya untuk dirinya sendiri,
tetapi juga untuk cinta mereka berdua. Sudah beberapa kali mereka berdua pergi
ke gereja untuk mencari kekuatan cinta dalam doa novena, dan mestinya hari ini
mereka akan memasuki doa hari kedelapan mereka. Memang doa itu tetap dilanjutkan
berdua, walau dalam keadaan dan bahasa yang berbeda. Ia sangat yakin Valentina
berdoa bersamanya. Bona merasakan jiwanya terpuruk.
Segalanya menjadi hampa dan sulit untuk dipahami. Alexia, ayah dan ibunya, Bona
dan Valentina larut dalam kesedihan yang sama. Kesedihan yang bercampur dengan
penyesalan, doa, dan ketidakberdayaan. Walau sulit namun Bona mencoba menerima
penyesalan ayah Valentina yang dengan tangis kepedihan memeluknya.
" Tak seharusnya bapak melakukan ini, nak Bona " suara lirih penuh penyesalan
terngiang di telinga Bona. Dalam kepedihannya pun ia mencoba menghibur keluarga
tercinta kekasihnya itu.
Malam kian larut, Bona menyarankan Alexia untuk membawa orangtuanya beristirahat
di rumah kontrakan Valentina. Bona mencoba menenangkan mereka dan berjanji
menjaga Valentina. dengan berat hati mereka menerima saran Bona. bagaimanapun
orangtua itu menyadari kelemahan mereka yang sulit bertahan menjagai Valentina
dalam kesesakan jiwa mereka.
" Besok pagi pagi sekali, kalau bapak dan ibu sudah cukup tenang, kita bisa
bersama lagi menjagai Valentina." Bona memandang Alexia " Alexia, temani bapak
dan ibu, ya " ujarnya.
" Terima kasih, mas Bona " balas gadis itu lirih " saya bersama bapak dan ibu
secepatnya akan datang esok " ujarnya sambil mengemasi beberapa barang yang
harus dibawa pulang. Ibu Valentina menggenggam erat tangan Bona sambil
berterimakasih. Bona merasakan permohonan dan rasa iba dari sorot mata ayah
kekasihnya, ketika lelaki itu menepuk pundaknya pelan dengan tangan yang
gemetar.
Kini hanya ada Bona dan Valentina. Bona menggenggam lembut tangan Valentina dan
dengan bahasanya sendiri mengajak gadis lemah itu memulai novena hari terakhir
mereka. Tak ada yang lain di ruang perawatan itu selain doa dan sebuah harapan.
Dalam doa itu sedikit terselip pinta yang berbeda dari Bona, kesembuhan
Valentina.
**************************
Pagi itu cuaca cukup cerah. Walau begitu, cerahnya hari tak mampu merasuki
kepedihan hati Bona. Ia masih bisa melihat semua peristiwa itu. Ia bahkan masih
mampu mengingat sorot mata gadis pujaannya yang seakan mengatakan gadis itu
benar-benar mencintainya bahkan dalam detik-detik terakhir hidupnya. Sorot mata
yang terbuka sejenak setelah doa novena itu berakhir. Sorot mata yang dibukakan
oleh suatu keajaiban. Bahkan walau hanya sesaat mata itu menatap wajahnya Bona
merasakan cinta yang luar biasa terpancar dari rona wajah Valentina, bahkan
hingga mata itu kembali terpejam. Terpejam dalam cinta dan keabadian.
Sepuluh tahun sudah berlalu namun semua masih membekas dalam benak Bona. sepuluh
tahun tak mampu menghilangkan kebesaran cintanya pada Valentina. ia berjanji
pada dirinya sendiri, ia pun akan membawa cinta Valentina bersamanya untuk
selamanya. Sama seperti Valentina telah membawa cintanya dengan senyum keajaiban
saat ajal pada akhirnya merengkuh jiwanya. Sepuluh tahun sejak kematian
Valentina, tepat pada saat orang merayakan kebahagiaan Valentine, tepat saat
gadis yang dicintainya itu menyambut ulang tahunnya yang terakhir. Valentina
mengawali dan mengakhiri hidupnya dengan cintanya dengan keajaiban Valentine.
Keajaiban yang mampu membuat Bona tegar dengan kehidupan cintanya.
Setangkai mawar dan sekotak coklat tergeletak tepat diatas pusara Valentina
saat. Bona tak tahu kapan ia akan kembali lagi dalam nostalgia cintanya di
pusara Valentina. Namun ia tetap bertekad untuk mengenang Valentine bersama di
pusara Valentina, selama ia bisa. Ia ingin merenungkan hakikat cinta yang tak
bisa musnah walau oleh kematian. Dan di pusara itu ia mampu merenungkan
segalanya. Karena ia yakin Valentina pun masih bersamanya, ada di kedalaman
hatinya. Menguatkan dan selalu tersenyum padanya.
Bona menyentuh salib mungil yang ada diujung nisan pusara itu. Ia menyapa jiwa
Valentina dalam bahasa doanya. Happy Valentine, Valentina!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar