Pilihan

Kamis, 11 Januari 2007

CeRpEn CeRiA!

Met Valentine!

( Thomas Sembiring, Yogyakarta )

Alex tersenyum menatap Robi yang sedari tadi mendengarkannya di kamar kost
sahabatnya itu. Mendengarkan semua rencana Alex yang tidak terlalu mengagetkan
Robi. Sebuah rencana yang sesungguhnya pernah ada dalam benak kedua bersahabat
itu dan muncul saat masa SMU dulu. Tetapi agak berbeda keadaannya ketika rencana
itu kini ingin dijalankan kembali oleh Alex.
Robi belum menanggapi semua rencana Alex dan tawarannya untuk memenuhi semua
yang pernah ada dalam benak mereka dulu. Rencana yang hingga kini pun keduanya
belum mengerti alasan mengapa hal itu tidak terlaksana saat kelulusan dulu. Robi
mengarahkan pandangannya pada lembaran brosur yang ada di meja belajarnya yang
tadi Alex bawa sewaktu datang. Disana tercantum nama sebuah serikat imam
misionaris.
" Apa kamu benar-benar mantap, Lex? " tanyanya seakan belum yakin.
" Yup! Seperti yang kusampaikan pada kamu, sobat. Aku belum pernah merasa
semantap ini untuk memilih. Terus terang belum pernah " ujar Alex sambil menatap
Robi " Bagaimana denganmu sendiri? " Alex balas bertanya
" Entahlah sobat, sebaliknya kurasa. Aku sama sekali belum merasakannya "
" Aku tidak memaksamu, hanya sekadar menawarkan " Alex tersenyum " Siapa tahu
waktu telah menempa semangat dan panggilanmu " Robi terdiam " Aku harap kamu
berhasil dengan kuliahmu.., tapi kemungkinan untuk terpanggil itu selalu ada,
sobat. Selalu ada seperti adanya kemungkinan untuk tidak terpilih. Kuharapkan
dukunganmu ".
" Aku pasti selalu mendukungmu, Lex. Selalu dalam doaku " balas Robi sambil
menawarkan secangkir kopi hangat yang ada. Pembicaraan kedua bersahabat itu pun
menghangat dalam sekejap. Sehangat kopi dibawah langit kota Yogya yang basah
oleh hujan dalam sepekan. Tak ada yang dapat dibayangkan Robi saat mendengar
rencana Alex selain wajah seorang gadis manis, yang diyakini bakal menangis oleh
pilihan sahabatnya itu. Wajah yang setiap saat dengan antusiasnya mencari
keterangan tentang Alex darinya.
Seminggu berlalu sejak liburan sebulan penuh telah habis. Semua aktivitas Robi
mulai terasa melelahkan dengan jadwal kuliah yang padat dan tugas yang setiap
saat lumayan berat. Walau begitu rasa lelah baginya tak bakal sebanding dengan
hasil yang memuaskan saat menerima hasil ujian. Kecuali bagi yang memang sama
sekali tidak ingin lelah memperjuangkan kuliahnya. Dan Robi tahu, tugasnya
sebagai mahasiswa semester IV program diploma III adalah menuntaskan sisa masa
kuliahnya dengan tepat waktu dan hasil yang tentunya cukup memuaskan.
Robi melintasi ruangan Badan Eksekutif Mahasiswa ketika ia sadar bahwa disana
tengah terjadi diskusi menarik. Ia memutuskan untuk tidak bergabung sebelum
menyerahkan hasil Praktik Manajemen Pemasarannya pada Pak Petrus, dosennya. Ia
yakin pada rekan-rekannya. Biasanya hasil diskusi mereka bakal menarik dan pasti
unik. Apalagi ini diskusi tentang Valentine Kampus. Tentu saja ini benar-benar
bakalan menarik, pikirnya. Sebelum ia dipanggil oleh rekan-rekannya itu untuk
turut dalam diskusi, acungan jempol terpaksa diarahkannya pada Haris yang
terlanjur melihatnya. Ekspresi wajahnya seakan mencoba menjelaskan adanya
kepentingan lain yang mesti diselesaikan dulu.
Begitu urusan dengan dosennya selesai, Robi bergegas hendak bergabung bersama
rekan-rekannya di ruang BEM. Baru saja ia tiba didepan pintu ruangan dan
beberapa pasang mata yang ada disitu menyambutnya sambil tersenyum, Robi sadar
ada seseorang yang memanggilnya dari belakang. Sesaat menoleh ia melihat seorang
gadis manis sedang melangkah kearahnya dengan tampak terburu-buru. Ia mengenal
gadis itu sebaik ia mengenal harapan gadis itu pada seorang sahabat terdekatnya.

" Maaf teman-teman.. " Robi tampak kikuk " silahkan lanjutkan diskusinya. Aku
akan menyusul sebentar lagi " ujar Robi seolah tak melihat raut wajah mereka
yang tiba-tiba berubah bingung. Sandra yang ada disudut ruangan merasa
penasaran, ia berjalan dan melihat keluar pintu persis saat gadis yang tadi
memanggil juga sudah ada tepat dibelakang Robi.
" Ooo.., ada Cintya rupanya " spontan terdengar diskusi yang tadi sempat behenti
berubah topik ketika sandra menyebut nama gadis itu lumayan keras. Dan Robi
kenal suara Kris ketika ia nyeletuk dari dalam. " Valentine pribadi nech! "
celetuknya
" Maaf mengganggu kalian. Robi, bisa bicara sebentar? " Cintya memandang sejenak
lalu tersenyum manis pada Sandra yang bersandar ditepi pintu. Robi melihat
Sandra hanya bisa tersenyum dan mengisyaratkan sesuatu pada yang lain di ruangan
itu.
" Nggak apa-apa kok, Lex. Lagian ini emang tanggung jawab Tim Kerja. Nanti aku
buatkan laporannya padamu. Udah, sana! Semua bakal beres dech " Sandra
menyakinkan Robi. Seperti biasa Robi tidak meragukan Sekretaris Bidang Kreasi
Seni dan Budaya Mahasiswa BEM yang satu ini. Ia cakap dan cerdas. Setidaknya
Robi yakin akan hal itu.
" Trims, Sandra " ujar Robi sambil berlalu mengikuti Cintya ke taman kampus.
" Sekali lagi maaf sudah mengganggumu " nada menyesal terdengar dari Cintya
" Nggak apa-apa kok. Lagian ada Sandra disana. Pasti beres " Robi tersenyum
sambil memuji paras wajah Cintya yang anggun, dalam hatinya tentu. Namun ada
perasaan tidak enak juga dalam hatinya. Perasaan yang belum saatnya ditunjukkan,
sesuai perjanjian.
" Bidang yang kamu ketuai udah membentuk Tim Kerja ya? " Robi bisa menebak kalau
pertanyaan Cintya sekadar basa basi. Sejatinya bukan yang ingin dibicarakannya.
" Yaa, sebelum libur kemarin. Kebetulan idenya mau ngadain Valentine dengan
nuansa budaya dan ragam etnik yang tentunya memang dibawa oleh kita
masing-masing dari daerah " Robi mencoba menguraikan sedikit rencana yang
diketahuinya beberapa waktu lalu. " Kamu juga boleh bergabung, kalau kamu mau.
Bukankah sedikit pemikiran dan ide tentang nuansa etik Bali dari kamu akan cukup
menarik? " Robi melihat gadis yang bernama lengkap I Gusti Agung Cintya Ayu itu
tertawa. Sekali lagi Robi sulit melukiskan kekagumannya pada pesona gadis Bali
yang kini tengah berada disisinya. Sesaat hening ketika tawa gadis itu mulai
mereda. Ia juga menatap Robi, kali ini sambil tersenyum. Robi agak grogi. Ge-eR
barangkali.
Cintya tertunduk sambil mencoba menyadari apa yang baru saja muncul dalam
benaknya. Aneh, suatu perasaan yang berbeda seolah muncul dari sosok Robi,
sahabat seorang pemuda yang dicintanya. Ia seolah tersadarkan ketika bayangan
wajah Alex yang tampan semakin menguasai pikirannya. Ia mengabaikan perasaan
aneh yang baru saja dialaminya.
" Robi, sebenarnya aku ingin tahu kabar Alex. Aku tak melihatnya dalam beberapa
waktu sesudah liburan ini. Dimana dia? " Ia tak lagi tertunduk tapi menatap Robi
penuh harapan akan Alex. Sesaat Robi terdiam. Sulit untuk menjelaskan, namun
lebih sulit lagi bila hanya diam dalam kebisuan. " Yach, dia baik-baik saja "
dan Robi sadar ia tidak sedang menjawab pertanyaan Cintya. " Emm, maaf, maksudku
ia masih ada urusan di Malang. Mungkin ia akan datang pada Valentine Kampus
besok " ujarnya sambil menyadari kalau baru saja ia benar tentang Malang, namun
salah besar tentang Valentine Kampus. Robi sadar ia dalam situasi sulit, dan
dipastikan Alex tak bakalan datang atau sekadar mampir dalam Valentine Kampus
besok. Ia tak mau menambah kekecewaan yang akan Cintya terima. Ia juga tak mau
merusak keindahan penantian Cintya pada sahabatnya, Alex.
Alex yang bodoh, pikirnya. Bagaimana selama ini bisa ia pura-pura tidak memahami
perasaan Cintya padanya. Bagaimana pula ia bisa bertahan untuk tidak menyatakan
rasa sayangnya pada Cintya yang sebenarnya juga senantiasa mengusik tidurnya -
Paling tidak begitulah yang diungkapakan Alex pada Robi setiap saat mereka
berdiskusi tentang Panggilan hidup yang sesungguhnya rumit dan sulit untuk
dimengerti. Alex yang bodoh, pikir Robi sekali lagi sebelum akhirnya ia berpikir
barangkali ia jauh lebih bodoh dari sahabatnya yang mantap dengan pilihannya
itu.
" Itulah misteri panggilan ini, dan sebuah misteri tetap akan menjadi misteri
bila kita tak terpanggil untuk berjuang keras memahami dan memecahkannya menjadi
intisari yang luar biasa " begitu ujar Alex membagikan hasil refleksinya pada
Robi sesaat sebelum kereta api membawanya berangkat melalui stasiun Tugu menuju
Surabaya dan selanjutnya tentu berakhir di Malang.
" Maaf Cintya, kalau kamu tidak keberatan, bagaimana kalau besok malam kita
bertemu di Valentine Kampus. Ada yang ingin aku sampaikan padamu " dan Robi bisa
melihat ekspresi wajah gadis itu yang keheranan " Oh.. dan tentu saja ini bukan
ajakan kencan. Jadi aku harap kamu tidak salah sangka dulu terhadapku " Robi
terpaksa tersenyum malu, khawatir kalimatnya barusan salah diartikan. Cintya
sekali lagi tertawa dan sekaligus mengejutkan ketika tangan kanannya mencubit
pergelangan tangan Robi.
" Waaoow " teriak Robi mengundang perhatian beberapa mahasiswa yang tengah sibuk
berdiskusi di taman itu. Rona wajah Robi memerah, sesaat terdiam dan pada
akhirnya tersenyum malu. Sementara Cintya semakin menertawakannya yang tampak
lucu barangkali, menurutnya.
Kali ini sungguh berat, batin Robi.
Sekali lagi Robi tak lupa berdoa dalam hati agar terlepas dari masalah. Dan itu
semakin giat giat dilakukannya sejak ia sepakat dengan perjanjiannya bersama
Alex, sahabatnya. Ia bisa membayangkan bagaimana saat ini Alex sedang
menyesuaikan diri dengan kesejukan Malang dan tentunya bangunan yang kerap
disebutnya sebagai Penjara Kudus. Istilah yang tidak terlalu baik dan tidak
terlalu buruk untuk menyebut tempat yang dulu ingin ditujunya dan saat ini sudah
menjadi tujuan sahabatnya.
Acara Valentine Kampus berjalan cukup meriah dan benar-benar unik. Sekilas mirip
Perayaan Hallowen bila dilihat dari tata busana mahasiswa yang beragam. Tapi
yakin saja itu bukan kostum-kostum yang menggambarkan ketakutan dan misteri
melainkan busana warna-warni yang sarat dengan nuansa etnik. Disetiap sudut
dapat dilihat beragam warna yang berbeda. Kebanyakan yang berpasangan mengenakan
busana daerah yang sama. Tak jarang pula yang berbeda sehingga semakian menambah
keunikan tersendiri. Ada pria berpakaian ala Papua bergandengan dengan mahasiswi
yang mengenakan busana Jawa, pasangan lain dengan paduan serasi busana
Manado-Flores, dan banyak lagi. Tak kalah unik, grup band di panggung acara yang
mengenakan busana Jawa dengan rantai metal tetap tergantung dileher. Sulit
dibayangkan saat mereka harus bergerak energik dengan sarung yang seakan
membatasi jarak langkah kaki mereka, namun kenyataannya bisa saja, dan luar
biasa unik.
Aku tak bisa menahan tawaku ketika melihat Chriistianus dengan pakaian Betawinya
menggandeng seorang gadis cantik. Ia tampak berlagak seperti seorang pendekar
dalam cerita rakyat Betawi dan disisinya, si gadis manis dengan busana ulos
Batak mirip dengan ulos yang juga dikenakan Robi. Mereka melangkah kearah Robi.
" Boru Sidabutar, teman " bisik Kris pada Robi dan dengan senyum hangat Robi
mengulurkan tangannya pada gadis itu " Silalahi! " ujar Robi memperkenalkan diri
dan sebuah senyum juga tampak diwajah gadis itu. " Sidabutar! " balasnya. Dan
kulihat Kris agak protes dengan perubahan marga Robi dalam waktu singkat. Robi
coba menjelaskan sedikit, " Tak usah bingung Kris. Sembiring sama halnya dengan
Silalahi, sejauh yang kutahu " dan kulihat gadis Batak itu mengangguk setuju
lalu tersenyum pada Kris.
" Maaf sekali, aku harus meninggalkan kalian berdua. Happy Valentine! " ucapku
saat mendengar suara pujian beberapa teman di pintu masuk yang kalau tidak salah
menyebut nama Bali beberapa kali. Robi mencoba memastikan, dan tepat dugaannya,
itu Cintya dengan busana Bali yang menarik. Ia pun melihatku pada akhirnya lalu
tersenyum.
" Happy Valentine, Cintya! " Robi menyambut uluran tangan Cintya yang lembut.
" Happy Valentine, too! " senyumnya masih dapat terlihat merekah, penuh pesona.
Ia melihat sekeliling dan pertanda agar Robi sebaiknya menjelaskan semua pada
Cintya sebelum ia bertanya tentang Alex. Atau setidaknya membiarkan gadis itu
paham sendiri dengan situasi yang akan dihadapinya. Aku mengajaknya mencari
tempat yang cocok untuk situasi sulit yang sedang dihadapinya. Dan kemana lagi
pilihan kalau bukan di taman kampus, dimana beberapa pasangan lainnya menyalakan
lilin dan kembang api disana. Menurut keyakinan turun temurun segelintir
mahasiswa, setiap doa yang dipanjatkan dengan sebuah lilin merah dan dinyalakan
di taman kampus itu pada saat Valentine pasti akan dikabulkan. Barangkali saja
benar, kalau memang keduanya benar-benar tulus berdoa dan saling mencintai.
Kalau tidak? Sebuah hal yang tidak biasa lagi adalah Robi dan Cintya bukan
pasangan kekasih dan aneh bila mereka kebetulan memilih tempat itu. Robi memilih
duduk tepat di bangku taman yang disinari oleh terang lampu.
" Untuk apa kita kesini, Robi? " pertanyaan Cintya tampak wajar, walau sediklit
curiga kalau-kalau Robi bakal menyatakan sayang padanya. Tapi keyakinan yang
lebih besar dan ada dalam benaknya adalah : Robi mengatur pertemuannya dengan
Alex. Dan semua itu adalah pemikiran yang salah.
Cintya mencoba tenang dan menyembunyikan rasa penasarannya. Dalam hati ia
mengira-ngira dari arah mana Alex bakal datang dengan busana Batak seperti yang
dikenakan orang yang saat ini bersamanya, sahabat Alex, Robi sendiri. Ia
membayangkan kebahagiaan yang akan menghampirinya di Valentine tahun ini.
Bayangan yang sesungguhnya bakal menkadi bumerang. Cintya menepuk bahu Robi dan
melihat lelaki itu tertunduk tanpa semangat dan tanpa senyum. Ada apa? Batinnya.

" Cintya.." Robi tersenyum sekaligus sedikit melegakan Cintya. Gadis itu
membayangkan Alex yang datang padanya sambil menghadiahkan Cokelat dan sekuntum
Mawar. Sekali lagi ia mendengar dengan antusias kata-kata Robi berikutnya.
" Katakanlah, Robi! Dimana Alex? " Cintya kian penasaran " Kau hendak
mempertemukan kami, kan? " tanyanya dengan sebuah semangat.
" Maafkan aku Cintya " Robi terdiam lagi membuat gadis itu mencoba menebak
dengan pikiran positif. Ia mendesah dan terpaku menatap lilin-lilin bernyala
disekitar taman itu.
" Aku tahu, Robi! " Cintya coba meneruskan " Alex tidak bakal datang, kan? Ia
sudah memiliki kekasih dan ia sama sekali tak mencintaiku. Bukankah begitu? "
suaranya merendah
" Bukan sama sekali! " Robi memandang gadis itu yang tampak semakin bingung "
Aku tahu kamu gadis baik yang bijaksana dan cantik. Dan aku yakin kamu pasti
tahu apa yang terbaik bagi kamu dan bagi Alex " Robi bicara tanpa melepas
pandangannya dari Cintya yang juga memandangnya. Robi merogoh sesuatu dari saku
kemejanya dan menyerahkan amplop manis dengan ukiran hati berisi surat dari
Alex. Sambutan Cintya pada surat itu agak melegakan Robi. Ia ingin gadis itu
membaca sendiri surat Alex dan memahaminya. masih bingung, gadis itu mulai
membuka amplop dan membaca isi surat itu.
Hening .....
Sama sekali tanpa suara mereka berdua
Robi mengambil sapu tangan dari sakunya yang lain dan menawarkan pada Cintya
saat ia mulai melihat air mata menitik dan membasahi surat di pangkuan gadis
itu. Apa yang dulu dikhawatirkannya, benar-benar sedang terjadi. Cintya
menangis. Ia mengalami kesedihan yang teramat sangat. Cintya mengusap matanya
dan agak lama sampai akhirnya ia bicara seolah-olah Alex ada diantara mereka
berdua.
" Selamat Hari Kasih Sayang juga Lex, Cintya sayang ma kamu Alex.." dan sesudah
mengucapkan kalimat itu ada sebuah senyum getir terlukis dibibir gadis itu. Robi
mencoba mengerti dan memang ia akan mengerti. Walau begitu ia coba menghibur.
" Maafkan aku Cintya. Ini semua kulakukan atas permintaannya. Aku tak bermaksud
menyembunyikan semua darimu " suara Robi berisi penyesalan yang sesungguhnya tak
perlu " Walau aku heran dengan sikap dan pilihan Alex, tapi bagaimanapun aku
bangga padanya. Dan kuharap ini sebuah pilihan tepat baginya "
" Yachh..., itulah misteri panggilan yang disampaikannya dalam suratnya. Aku tak
bisa memungkiri bahwa selain aku mencintainya, aku juga harus bangga atas
pilihannya. Pilihan untuk masuk biara yang disebutnya 'Penjara Kudus'. Pilihan
menjadi seorang Imam misionaris " Cintya kali ini memandangku lebih tenang
dengan senyum yang belum juga hilang bersama titik air matanya.
" Penjara Kudus? " kata Robi datar lalu tertawa dan tak sadar kalau ia sedang
mengusik doa-doa pasangan yang ada di taman kampus. Ya, Robi mengusik doa mereka
dengan doa untuk Alex dalam hatinya. Robi tak menyadari gangguan kecilnya itu,
bahkan tak menyadari kalau Cintya tengah menyalakan lilin merah dan berdoa bagi
keberhasilan Alex - seperti yang diharapkan Alex darinya dalam suratnya.
Robi masih tertawa saat matanya juga mulai menitikkan air mata. Air mata
kebahagiaan atas seorang sahabat yang berani dan mantap dengan pilihan hidup,
setidaknya tidak sepertinya. Ia berada dalam proses pemaknaan jati dirinya. Sama
seperti masa-masa yang dialami Alex. Dan tampaknya Robi sedang menunggu saatnya,
seperti Alex yang juga berdoa dengan lilin merah untuk cintanya pada Cintya dan
untuk Robi.
Berdoa atas panggilan dalam meneladani Sang Guru.
(Didedikasikan untuk Calon Imam SVD Malang dari Aceh Tenggara. Horas!!)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar