Pilihan

Kamis, 11 Januari 2007

CeRpEn CeRiA!

Cinta Suster Valentina


Dua insan itu masih terdiam satu sama lain. Masing-masing menyimpan sebuah
gejolak yang tak terungkapkan. Frans memandang gadis di sebelahnya dengan sorot
mata yang penuh cinta. Dalam lubuk hatinya ia menghadapi dilema. Satu sisi ia
menolak pilihan gadis itu, namun di sisi lain ia tak kuasa menghalangi pilihan
itu. Bagaimanapun gadis yang sudah 3 tahun menjadi kekasihnya itu punya alasan
yang tak kuasa ditolaknya. Ia mencoba melihat kedepan dan membayangkan
seandainya ia juga menghadapi situasi seperti dialami kekasihnya itu. Dan mau
tak mau juga ia harus mengakui bahwa dirinya juga mengalami hal yang sama.
Frans meraih tangan gadis itu, yang mulai menitikkan air matanya. Diusapnya air
mata itu dengan tangannya. Sungguh ia mencoba untuk bisa menerima semua itu.
Dikecupnya kening gadis itu dengan lembut. Dipandangnya sekali lagi lekat-lekat
wajah yang selama ini selalu menghiasi mimpi dan hari-harinya. Perlahan dengan
sorot mata yang mantap, Frans mengangguk memenuhi keinginan kekasihnya itu.
Sorot mata lelaki itu mencoba memberi kekuatan pada kekasihnya. Gadis itu
memeluk Frans seolah berterima kaih atas kebesaran hati Frans. Tak kuasa mata
Frans berkaca-kaca melihat tangis kebahagiaan kekasihnya.
Mereka berpisah. Berpisah karena cinta.
Senja itu Suster Valentina tengah menyiram tanaman mawar kesayangannya. Ia
tengah menunggu kedatangan seorang calon aspiran yang hendak bergabung dengan
tarekatnya. Calon aspiran itu berasal dari Jakarta. Sambil menunggu kedatangan
si calon, ia menyempatkan diri menyapa tanaman mawarnya.
Ia mendengar suara deru mobil memasuki garasi biara. Sambil membereskan letak
kerudung putihnya ia melangkah keluar menyambut si calon aspiran dan Suster
Andrea yang menyertai kedatangannya. Penuh kehangatan dipeluknya si calon yang
baru lulus SMA itu.
" Selamat datang Valentina " sapanya sambil menggenggam erat tangan gadis itu.
Ia tahu kalau gadis itu memiliki nama yang sama dengannya " Saya juga Valentina.
Suster Valentina " sambungnya sambil tersenyum hangat. Gadis itu balas tersenyum
atas keramahan Suster yang bakal mendampinginya selama menjalani masa aspiran di
biara itu.
Sehabis makan malam bersama, Suster Valentina memanggil Valentina ke ruangannya.
Segelas teh hangat telah tersedia di meja. Sebuah patung Bunda Maria dengan bayi
Yesus yang mungil juga ada disana bersama beberapa buku bacaan rohani. Dengan
sikap ramah Suster Valentina mempersilahkannya duduk. Ia sekali lagi menatap
paras manis gadis yang kini duduk didepannya. Ia jadi teringat ketika ia pertama
kali memasuki masa aspirannya sama seperti gadis itu.
" Baiklah Valentina " ujarnya " Sekali lagi selamat datang, dan Suster harap
kamu betah tinggal bersama kami disini. Katakan nak, bagaimana aku harus
membedakan nama kita yang sama. Oya, nama lengkap kamu siapa? " tanyanya lebih
lanjut.
" Fransiska Valentina. panggil saja saya Vale, suster " jawabnya. Suster
tertegun mendengar jawaban gadis itu.
Suster Valentina merasakan sesuatu bergejolak dalam dirinya. Nama itu sungguh
indah dan unik baginya. Nama yang mengingatkannya pada seseorang dan tentunya
pada dirinya sendiri. Vale, itu panggilan sayang yang pernah diberikan kepadanya
semasih kuliah dulu. Saat ia belum menjadi seorang Suster seperti sekarang.
" Maaf Suster " Vale menyadarkan Suster Valentina " Apakah ini berarti, besok
suster juga merayakan ulang tahun? " pertanyaan gadis muda itu membuat Suster
Valentina sekali lagi tersenyum mengangguk.
Setelah bercengkerama cukup lama, Suster Valentina mengajak gadis itu untuk
turut dalam ibadat malam bersama di kapel. Namun sebelumnya ia mempersilahkan
gadis itu untuk mengajukan pertanyaan terakhir kalinya sebelum mereka berdoa.
" Maaf suster saya tidak bertanya " katanya " hanya saya mau memberi tahu kalau
besok kemungkinan ayah saya akan datang untuk menengok saya. Maklum ia baru tahu
kalau saya di biara ini. "
Suster mengangguk penuh wibawa sambil mempersilahkan Vale menghabiskan sisa teh
di gelasnya. Suster Valentina mengernyitkan dahi ketika menyadari kata-kata
terakhir Vale tadi. Ia agak bingung namun sungkan untuk mempertanyakannya karena
terlambat menyadari.
Dan malam itu sesudah ia mengucapkan selamat tidur pada Vale, Suster Valentina
membuka kotak kecil yang berada diantara buku doanya. Ia membaca sebuah puisi
dengan tulisan tangan yang ada di kotak itu lalu memandang foto seorang pemuda
berukuran 4X6 yang ada bersama tulisan itu. Kenangan terakhir dari seseorang
yang pernah dicintainya, seseorang yang 20 tahun ini tidak ia ketahui
keberadaaannya. Dan, puisi singkat itu pula yang senantiasa dibacanya tiap kali
ia hendak tidur. Dibaringkannya tubuhnya dan sambil memejamkan mata ia
melafaskan puisi itu. Kata yang penuh kesan bermakna mendalam. Kata-kata
ketulusan, pengorbanan, dan kesetiaan memberi dukungan.
" Ketika engkau melangkahkan kakimu selangkah pada pilihanmu
jangan pernah menoleh kebelakang untuk melihatku
( cukup doakan aku dalam nubarimu )
sebab kau tak akan melihatku lagi disana
aku akan berada disisimu menemani langkahmu
selalu "
Selepas misa pagi itu Suster Valentina merapikan beberapa arsip yang tergeletak
sembarangan di ruang kerjanya. Ia memasukkan arsip itu ke dalam lemari kerja dan
baru akan menandatangani beberapa surat untuk dikirimkan ke provinsialat sebelum
pintu ruang kerjanya di ketuk. Ia melangkah kearah pintu dan melihat Vale
tersenyum padanya.
" Selamat pagi suster! " ujarnya
" Selamat pagi juga Vale, ada apa nak? " tanyanya dengan suara penuh keibuan
" Maaf Suster, bolehkah suster menyempatkan diri menemui ayah saya? Beliau baru
saja tiba "
" Oh ya " agak bingung Suster Valentina mendengar hal itu. Selama dua tahun ia
berkarya ditempat itu belum pernah ada orang yang bertamu sepagi itu. Ini diluar
kebiasaan. Tapi karena tamu ini adalah keluarga Vale, maka ia merangkul gadis
itu sambil melangkah.
" Tentu saja saya akan menemuinya " ia berkata sambil mempererat rangkulannya.
Ketika tiba di ruang tamu biara Vale menatap wajah Suster Valentina yang tampak
bingung melihat sosok tamu lelaki yang tengah membelakangi mereka. Lelaki itu
ternyata tengah asyik menikmati keindahan lukisan laut yang terpajang di ruang
tamu itu. Namun Suster Valentina tetap tak mengerti dengan apa yang dihadapinya.
Ia ingat kalau Vale mengatakan orang yang akan mengunjunginya adalah ayahnya.
Tetapi sosok yang yang tengah membelakangi mereka itu tak seperti ayah
kebanyakan yang dibayangkan suster pimpinan komunitas itu. Ia berjubah layaknya
dirinya sendiri.
" Ehhmmm, Selamat pagi! " sapa Suster Valentina sambil berdehem mencoba tampak
berwibawa. Bermaksud mengatakan pada lelaki itu bahwa dirinya dan Vale tengah
berada dibelakang. Lelaki itu kaget dan berbalik.
" Slamat..," Ia tercekat " Pagi!" seketika, lelaki itu kaget bukan bukan main
melihat sosok berjubah didepannya. Sebaliknya Suster Valentina tak kalah kaget
melihat tampang lelaki yang juga berjubah itu. Seakan tak percaya Suster
Valentina memegang kedua pipinya. Lelaki itu mengangkat tangannya menunjuk
kearah Suster Valentina.
" Vale..??! " seakan lelaki itu tak percaya. Dan kali ini Vale yang agak kaget
karena sebutan ayahnya itu tak sesuai dengan arah tangannya. Gadis itu bingung,
ia tahu Vale itu nama kesayangan yang diberikan padanya. Tapi kalau tangan itu
mengarah pada Suster Valentina, artinya? Ia hanya terpaku melihat ekspresi dua
orang berjubah itu.
" Oh Yesus.., kaukah itu Frans?! " Suster Valentina masih belum percaya kalau
sosok lelaki yang didepannya itu sama dengan sosok lelaki yang pernah mengisi
kehidupan masa mudanya itu. Lelaki yang dulu amat dicintainya. " Kau…? "
sambungnya sambil menggerakkan tangannya seolah mempertanyakan jubah lelaki itu.

" Oh Vale.., Puji Tuhan, kita masih bisa bertemu. Ya ini aku Frans yang dulu. "
kali ini frans mencoba bersikap lebih tenang. " Kau kaget dengan keadaanku? Ya,
ini aku, Frans. Romo Frans. " ujarnya sambil tersenyum. Seketika itu juga Suster
Valentina tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Ia sulit untuk menahan
keinginannya merangkul lelaki itu. Frans membalas rangkulan itu penuh cinta,
namun buru-buru ia menyadari kebingungan Vale, anak saudara sulungnya, yang
makin menjadi. Tangan Frans masih menggenggam erat tangan Suster Valentina.
" Vale, anakmu? Apa maksudnya ini? " tanya Suster Valentina pada akhirnya sambil
mengajak duduk Vale diantara mereka. Frans mengusap kepala Vale.
" Ya, si cantik ini anakku " ujarnya " Maksudku, gadis ini, anak saudara
sulungku tentu saja. Dan dalam budaya kami, aku juga adalah ayahnya " jelas
Frans menghapus kebingungan Suster Valentina.
" Aku pikir ... " ujar Suster Valentina pelan. Namun sebelum kata-kata itu selesai
Frans keburu menyelanya. " Dengan berjubah seperti ini? Oh, Jangan berpikir ..."
sela Frans membuat ketiganya tertawa.
Vale si gadis manis itu pada akhirnya memahami semuanya. Frans menceritakan
tentang siapa sebenarnya Suster Valentina dan bagaimana dulu mereka sangat
mencinta hingga karena begitu cintanya keduanya rela mengambil keputusan
berpisah demi kata hati mereka. Dan tentu saja itu juga demi cinta dan
pengorbanan yang lebih besar. Vale dan Suster Valentina kaget ketika Frans
menceritakan asal nama Vale.
" Ayahmu memberimu nama Fransiska karena ingin menyesuaikan dengan namaku, dan
kebetulan kami memang pecinta St.Fransiskus " ujarnya " ketika aku menyadari
kamu terlahir saat valentine, maka kutambahkan nama seorang Valentina yang
kukenal di belakang namamu. Ayahmu bahkan tidak sadar ketika nama itu
kutambahkan saat aku membaptismu. Ya, karena namamu terlalu indah untuknya, Vale
" Vale menyimak kisah namanya penuh antusias.
" Tak satupun yang mengerti bahwa nama itu begitu berarti bagiku. Dan sepanjang
waktu aku berdoa untukmu dan tentu dua orang lainnya juga yang hidup dalam
namamu itu " Suster Valentina larut dalam haru.
Begitulah Frans harus menerima permintaan Suster Valentina untuk mempersembahkan
misa esok untuk Vale dan dirinya yang berulang tahun di kapel. Sekaligus
memohonkan keselamatan untuk dirinya sendiri yang siangnya mesti berangkat
kembali ke Jakarta untuk selanjutnya ke tanah misi di Afrika sesuai rencana yang
telah ditetapkan bersama pembesarnya.
Esoknya, ekaristi pagi itu menjadi sebuah nostalgia bagi Frans dan Valentina.
Ekaristi dalam perayaan Valentine dan juga merayakan ulang tahun Vale dan Suster
Valentina. Mereka sangat mengagungkan ekaristi. Selain karena penghayatan
imannya, juga karena Kristus justru menebar pesona dan cinta diantara mereka
pertama kalinya saat dua insan itu bertemu dalam ekaristi kampus puluhan tahun
silam. Kini keduanya mampu merasakan betapa hebat rencana Allah atas cinta
mereka. Keduanya saling mencinta, keduanya berbagi cinta, keduanya mewartakan
cinta, dalam cara hidup yang berbeda. Vale dan suster-suster lainnya tertawa
ceria sepanjang kotbah Romo Frans yang diganti dengan share kisah cintanya.
Bahkan Suster Maria yang renta tak bisa menahan tawanya melihat bagaimana
ekspresi Romo Frans mengungkapkan kisah cinta itu. Penuh canda dan refleksi yang
maknanya mendalam. Sementara Suster Valentina hanya bisa tersipu malu dan
menitikkan air mata, Terharu mengingat betapa agung rencana Tuhan atas cintanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar