Jumat, 30 Januari 2009
Kamis, 01 Januari 2009
MELINTASI MASA DALAM PERSAHABATAN

Usai misa kami nongkrong sebentar di depan gereja menyambut detik-detik pergantian tahun bersama umat yang lain. Sambil menikmati segelas kopi hangat dan jagung rebus yang disediakan Mudika Kota Baru kami ngobrol seputar catatan akhir tahun PMKRI. Saking asyiknya ngobrol kami lupa kalau kami sebenarnya orang yang terasing dari keluarga nun jauh disana. Begitu hangatnya suasana bersama.
Saat akhirnya detik-detik pergantian tahun itu tiba, kami saling berangkulan dan berdoa bersama agar diberi kekuatan dan harapan di tahun yang baru, sebagai pribadi kader maupun secara organisasi PMKRI. Diharapkan PMKRI di tahun 2009 menemukan titik balik pencerahannya. Setelah sempat bercanda kami melanjutkan dengan doa pribadi di depan kandang natal.
Perjalanan pun berlanjut ke daerah Code. Sambil nobrol, teh hangat, kopi, Susu Jahe dan semangkuk mie rebus menjadi hidangan. Obrolan kami pun ngalor ngidul, mulai dari Jogja sampai Palestina. Mulai pribadi sampai PMKRI. Kebiasaan berdiskusi itu tetap tak lekang. Hal yang masih selalu kubanggakan dari PMKRI generasi kami. Kami juga mendiskusikan seputar keprihatinan akan persoalan PMKRI di tingkatan cabang maupun nasional. Sambil ngobrol jeda SMS tahun baru pun berdatangan ke ponsel teman-teman.
Melaju lagi di Tugu Jogja. Kami foto bersama dan meluapkan kegembiraan bersama ratusan anak muda dalam dan luar kota yang ada di sekitar situ. Tak tampak pengawasan khusus Polantas. Semua orang larut dalam kegembiraan Tahun Baru. Bunyi terompet dan raungan motor sampai klakson menyemarakkan suasana, terkadang memekakkan telinga. Kami melanjutkan perjalanan lagi.
Alun-alun kota Jogja. Kami tertawa dan menertawakan Oland yang mengadu peruntungannya menembus pasangan beringin alun-alun Selatan yang santer terdengar keunikannya. Banyak kalangan berkerumun di sana merayakan tahun baru. Ada yang bergerombol cekikikan, ada yang berpelukan mesra dengan pasangannya, dan ada yang mengais rejeki dengan mencari direrumputan barangkali ada barang berharga yang terjatuh dan bisa dipungut.
Petualangan dan pengalaman begadang sampai hari terang sungguh berkesan. Kami menyambut hari pertama 2009 dengan kebersamaan yang penuh harapan. Seperti kata Romo Inug dalam kotahnya yang mengutip sebuah lagu. Persahabatan bagai kepompong, merubah ulat menjadi kupu-kupu. Membuat segalanya makin indah. Terima kasih Tuhan atas tahun 2008 yang lalu dan 2009 yang kau masih kau perkenankan untuk kujalani. Semoga kerapuhan di 2008 diperbaiki di 2009 dan kebaikan ditahun yang lalu masih dapat kumiliki dan lebih kukembangkan dalam hidup sehari-hari. Terima kasih atas persahabatan!!
Perjalanan Menjelang Akhir Tahun

Dalam perjalanan kami bercerita soal pentingnya pemahaman organisasi bagi kader-kader gereja dan bangsa. Max sepakat dengan pandanganku bahwa kader tanpa pemahaman organisasi yang baik, pastilah bukan kader. Maka penting bagi setiap orang yang hendak menjadi kader untuk terbuka dan belajar lebi banyak untuk meningkatkan kemampuan diri baik kecerdasan otak maupun kualitas watak.
Selama perjalanan menuju Semarang aku baru tahu kalau Max ternyata belum punya SIM. Namun aku percaya saja ia yang menyetir motor. Tak ragu kalau terjadi soal di jalanan yang padat. STNK motor juga sudah kadaluarsa, tidak membantu malah bisa saja menyulitkan.
Sempat dihadang hujan, namun dengan visualisasi ala D Secret dan keyakinan akan perlindungan Tuhan semua pada akhirnya baik. Hujan tidak mengganggu sampai kami tiba di Ambarawa. Aku menawarkan Max untuk mampir ke rumah Nino yang berada di belakang kelenteng Ambarawa, tidak ada dalam skenario visualisasi untuk mampir. Maksud hati hendak menyampaikan selamat natal. Tidak ada Nino, ya keluarga yang ada. Sayang saat hendak mampir, tak seorangpun yang bisa di jumpai kecuali kerabat Nino disekitar rumah itu. Kami putuskan melanjutkan perjalanan. Namun baru melaju sebentar Max mengatakan Hpnya raib, sendalnya juga putus. Setelah mencari dengan gelisah kami putuskan mengabaikan saja dan merelakan HP tersebut. Baru hendak melanjutkan perjalanan, motor juga ikut-ikutan mogok. Eeee ... hujan juga turun mengguyur kota Palagan Ambara. Apesssss. Batinku.
Max mengungkapkan kehilangan terbesar adalah no penting yang ada dalam HP bukan HP, katanya. Tapi mengingat ketidaknyamanan beruntun ini, Max mereka-reka kejadian ini dan mempertanyakan kira-kira tanda apa yang tengah terjadi. Aku memintanya mengabaikan saja tanpa harus dianggap sebagai tanda-tanda. Aku mengatakan bahwa ini tandanya kita akan dapat sesuatu yang lebih besar nilainya dibandingkan kehilangan HP. Kami melanjutkan perjalanan. Saat tiba di Ungaran ia mengatakan sekali lagi keinginannya untuk mencari Romo Sugondo, SJ yang merupakan orang tua angkat baginya selama dulu berada di Sorong, Papua. Menurutnya Romo tersebut setelah dari Papua berada di Ungaran. Sambil menunjuk Pasturan Jesuit di Girisonta. Mudahan kalau tidak bertemu hari ini, ya besok. Ujarku. Saat aku ke kantor mengikuti training kamu boleh berjalan-jalan dan belajar banyak hal dengan Lukas. Tambahku.
Sesampai di Sekretariat Semarang, Lukas pak Ketua Presidium PMKRI Cabang Semarang menyambut dengan senyum. Aku bersyukur, akhirnya sampai juga. Setelah menceritakan pengalaman perjalanan kami Lukas hanya tertawa kecil sambil senyum-senyum. Sisa malam itu kami manfaatkan untuk mendampingin Max belajar keorganisasian terlebih seputar pemahaman akan pentingnya isu strategis Gerakan Kemasyarakatan. Selain itu Max diajak mengikuti misa dan temu aktivis bersama Romo Pendamping Mahasiswa yang dulu pernah berkarya di Wisma Drijarkara, Semarang. Aku meminta Lukas mendampinginya. Max senang mendapat ruang baru menambah luasnya wawasan. Max juga girang bukan kepalang ketika tahu, orang yang dicarinya itu adalah romo yang menyelenggarakan pertemuan aktivis tersebut. Artinya si Max akan bertemu dengan orang yang begitu dihormati dan dicarinya. Ini sesuatu yang lebih bernilai dari pada nilai HP yang hilang di jalan. Ujarku. Max tersenyum bahagia. Aku sendiri tertidur pulas saat Max masih ngobrol dengan rekan-rekan di Semarang.
Tanggal 30 Desember 2008. Keesokan harinya. Aku bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Sempat kulihat Lukas menggenjot sepedanya meninggalkan wisma, ke rumahnya. Bersiap mengikuti acara hari itu. Setelah mandi aku baca koran pagi dan menyapa Romo Edy dan seorang bapak yang ada disitu. Mas Luluk ikut nimbrung. Pembicaraan di ruang baca itu sampai pada persoalan gempuran Israel terhadap wilayah Gaza, Palestina. Bapak yang ada disitu mengungkapkan kegelisahannya atas isu Palestina yang tidak banyak digubris apalagi dikecam pihak non-muslim. Menurutnya kalangan katolik terutama harus punya suara tegas terhadap kekejaman Israel yang serakah. Persoalan di Palestina bukan soal agama, melainkan persoalan kebebasan dan hak hidup sebuah bangsa. Maka sudah layak dan sepantasnya atas nama kemanusiaan kita bersikap atas kekejian Israel yang memborbardir wilayah Palestina. Aku setuju.
Saat hendak menuju kantor, aku baru sadar kalau spion motor itu hanya satu. Padahal di Semarang kesalahan kecil tidak dapat ditolerir. Karena takut ditilang, STNK belum diperpanjang, dan urusan bisa tambah panjang aku berusaha mencari spion kanan yang mungkin ada di Wisma Drijarkara. Mas Luluk memberiku satu spion kecil dan bisa dipakai. Kendati tidak seimbang. Tapi cukup menambah kepercayaan diri melaju di jalanan utama kota Semarang. Kok gak kepikiran sejak di Jogja. Batinku sambil garuk-garuk kepala.
Usai training sore itu pukul 17.00 WIB dan setelah berbasa-basi dengan Max dan Lukas seputar acara mereka hari itu, kami putuskan kembali ke Jogja saat itu juga. Takut keburu hujan. Setelah pamitan dengan rekan-rekan dan Romo Edy kami melaju meninggalkan Semarang.
Sayang lagi, dugaan kami salah. Keputusan berangkat saat itu juga ternyata membuahkan pengalaman mengesankan. Hujan turun mengguyur kami. Kami terpaksa mencari tempat berteduh. Agak nyesal gak bawa mantel. Menunjukkan kami yang tidak siap berangkat dengan sigap sebelumnya dari Jogja. Kami hanya bisa tertawa. Setelah menunggu sekitar setengah jam di emperan warung yang gelap itu kami putuskan melanjutkan perjalanan, kendati hujan belum reda. Baru sekitar lima menit melaju kami harus mencari tempat berteduh lagi. Hujan makin deras dan tidak bersahabat. Sulit mencari tempat berteduh di jalur padat Semarang-Ungaran. Yang ada hanya halte tua yang atapnya bocor. Kami berteduh disitu. Hujan tetap saja tak reda. Menunggu sekitar 30 menit lagi kuajak Max melanjutkan perjalanan. Mengambil resiko kehujanan sedikit, sampai menemukan tempat berteduh yang cocok. Tempat berteduh dengan makanan dan minuman penghangat badan. Sambil menembus hujan yang malah tambah deras, kami akhirnya menemukan sebuah Warung Tegal yang cukup nyaman. Kami putuskan berhenti disitu sambil makan malam.
Setelah makan dan beristirahat cukup lama. Hujan tak juga reda. Aku menyempatkan diri tidur diemperan warung itu. Radang tenggorokanku tak bisa dikompromi. Cukup lama juga aku menyempatkan diri untuk tidur.
Tak jua hujan reda, kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Nekat menembus hujan. Masih sempat berhenti dua kali di wilayah Magelang karena hujan juga. Sampai akhirnya kami tiba di Jogja. Alhamdulilahhhhhh.
Bagiku pengalaman ini menunjukkan betapa semangat diri saat masih muda itu begitu hebatnya sampai mengalahkan logika untuk antisipasi keberangkatan. Selain itu perjalanan menjelang akhir tahun ini bagiku makin menguatkan keyakinanku bahwa Tuhan senantiasa menyertai perjalanan hidup kita. Kendati rintangan dan kendala tak sesuai harapan, kendati bayangan indah perjalan hidup tak kunjung nyata, kasih dan perlindungannya satu-satunya yang tetap nyata.
En Todos Amar y Servir!
Kamis, 25 Desember 2008
NATAL, HARAPAN, DAN PENGABDIAN

Seluruh rangkaian trainingku di Bank Umum Purba Danarta berakhir (24/12). Lewat upaya maksimal dan perjuangan jatuh bangun, aku akhirnya lulus training. Sekarang aku sah sebagai seorang PPW alias Pembina Purna Waktu yang menjadi salah satu mesin karya Bank Umum Purba Danarta dalam menjalankan misinya di sektor ekonomi mikro. Kami adalah laskar baru generasi 2008 PPW yang ditugaskan untuk melayani masyarakat melalui mikro development bank program.
Saat laporan hasil training beserta putusannya disampaikan, sebenarnya aku bersyukur karena disaat banyak orang yang di PHK dan terancam PHK aku justeru di terima bekerja dengan kontrak sekian masa. Kendati demikian syukur itu tidak begitu terasa karena aku merasakan tubuhku tidak nyaman. Berbagai penyakit menyerang dan membuat kondisiku makin tidak nyaman. Kepalaku diserang pusing luar biasa, sariawan menjajah lidah dan mulutku, sementara diare menyerang bagian perut. ASTAGA NAGA!!!!!!!
Kesempatan pulang lebih awal untuk persiapan Natal yang diberikan oleh bank cukup menyenangkan hati, kendati demikian lagi-lagi aku agak frustasi. Ya, menjelang natal aku kehilangan HP rongsok kesayanganku (menjadi kesayangan karena satu-satunya HP yang kumiliki). Hilang bukan dicuri, tapi tidak lagi dapat difungsikan. Otomatis komunikasi putus dengan kerabat dan sahabat. Selain itu sakit yang mendera tak kunjung lega. Aku bersiap menunggu Lukas yang sebelumnya kuhubungi via ponsel teman. Kuminta datang jam 3, saat menanti di lobi kantor hingga pukul 17.00, Lukas tak juga datang. Hal ini pun membuatku bertambah stress.
Coba ada hape, coba gak sakit, coba ada kendaraan pribadi, coba ... coba ... ah macam-macam pikiran menggelayut di otakku.
Yang makin membuatku cemas, aku khawatir kehilangan momen malam natal di gereja. Kendati bukan manusia altar sepenuhnya aku tetap tidak bisa kehilangan momen spesial Natal. Entah kenapa. Mungkin karena habit atau mungkin karena yang lain. Setelah berupaya meredam emosiku yang tak terkontrol dengan baik, saat itu Lukas datang dengan senyumnya sambil mengatakan keterlambatannya karena tertidur. Aku tersenyum dalam hati bersyukur. Untung si teman datang, kalau tidak aku bisa bingung sendiri mencari jalan untuk bisa mengikuti misa malam natal di kota Semarang yang masih terasa asing bagiku.
Akhirnya malam natal kami ikut Romo Edy Pr, misa di salah satu stasi. Kalau tidak salah, namanya Grobogan. Saat mengikuti perayaan ekaristi ada perasaan miris dalam benakku. Mengapa harus 3in1 penyakit di kepala mulut dan perut menyerangku saat natal begini. Aku merasa tidak nyaman dan tertekan. Keluhan senantiasa terdengar dalam benakku bersama gerutu. Namun dalam kondisi demikian dalam kesadaranku aku menyatakan sesal atas kerapuhanku, aku mengatakan pada Tuhan betapa hinanya aku dihadapanNya.
Suasana misa yang gembira membuatku menemukan sesuatu yang lebih berarti kali ini dibanding natal-natal sebelumnya selama aku berada di Jawa. Malam itu aku begitu gembira menyaksikan dan mengtikuti perayaan dengan tarian dan dramatisasi kelahiran Yesus menurut konteks kekinian, yang diperankan oleh remaja-remaja stasi yang begitu bersemangat. Sesekali lidahku perih karena sariawan.
Natal adalah momen spesial bagiku pribadi selain paskah dan hari-hari khusus lainnya. Natal adalah penemuan dan kelahiran kembali jiwa yang rapuh. Natal adalah syukur atas kelemahan dan kemiskinan yang melekat dalam wujud manusiawiku. Karena dengan cara-cara kemiskinan dan kelemahan pula Yesus Sang Teladan lahir dalam kehinaan kandang Betlehem. Maka momen natal ini kendati tanpa sebuah prosesi khusus refleksi, aku menemukan gelora dalam diriku yang menyatakan kerapuhanku sepanjang tahun yang telah lalu dan ada ajkan untuk membaharui diri, melahirkan kembali spiritualitas hidupku yang goyah.
Bagiku hal yang paling suliut adalah meneladani Yesus yang menjadi pribadi unik karena konsistensinya dalam berkata dan bertindak. Maka aku mengambil pelajaran dari kekeluan lidah dan perih yang mendera karena sariawan sebagai ingatan atas inkonsistensiku dalam tahun 2008. Aku ditegur dalam ketidakberdayaanku agar terus mengembangkan diri dengan meneladani Sang Guru. Bagiku menyegarkan kembali motivasi dan tujuan hidup sebagai abdi menjadi begitu penting terutama memasuki tahun 2009 sebagai seorang Pembina Purna Waktu Bank Purba Danarta. Aku harus kemudian selalu sadar akan perutusanku. Perutusan yang bukan semata-mata untuk mengembangkan kehidupanku tapi semata-mata demi kemuliaan Allah yang kuabdi dalam kehidupanku. Mengabdi sambil menaruh hati pada kerapuhanku agar tidak mengganggu karya ditengah masyarakat nanti.
Maka aku ingin kuat dan tegar menghadapi tahap baru dalam kehidupanku dengan senantiasa memohon rahmat Tuhan dan memegang harapan sebagai satu-satunya kekuatan yang memberi kedamaian bagiku. Bukankah kekacauan dimulai dari rancangan hati satu orang anak manusia? Maka menyadari itu aku menyadari pentingnya kedamaian hati bagiku pribadi dalam menjalani hidup. Paling tidak agar aku tidak mengacaukan pengabdian dan orang-orang yang harusnya kulayani. Maka aku butuh kedamaian hati.
Spirit Natal makin mendorongku agar lebih terbuka dalam menerima rahmat Allah dan terbuka terhadap kerapuhanku. Harapan adalah kekuatanku dalam Natal tahun ini agar semakin tulus dan terbuka dalam pengabdian di masyarakat, terutama memasuki tahun yang penuh harapan 2009.
En Todos Amar Y Servir!
Ad Maiorem Dei Gloriam!
Langganan:
Postingan (Atom)