Pilihan

Kamis, 01 Januari 2009

Perjalanan Menjelang Akhir Tahun

Tanggal 29 Desember 2008. Aku melaju menuju Semarang sekitar pukul 17.00 WIB bersama Max (rekan di PMKRI Yogyakarta). Dari kota Gudeg Jogja aku memang memintanya menemaniku ke Semarang dengan mengendarai motor. Esoknya aku harus mengikuti training. Setelah itu kantor libur dan ini kesempatan buatku kembali lagi ke Jogja bersama Max dalam hitungan singkat.
Dalam perjalanan kami bercerita soal pentingnya pemahaman organisasi bagi kader-kader gereja dan bangsa. Max sepakat dengan pandanganku bahwa kader tanpa pemahaman organisasi yang baik, pastilah bukan kader. Maka penting bagi setiap orang yang hendak menjadi kader untuk terbuka dan belajar lebi banyak untuk meningkatkan kemampuan diri baik kecerdasan otak maupun kualitas watak.
Selama perjalanan menuju Semarang aku baru tahu kalau Max ternyata belum punya SIM. Namun aku percaya saja ia yang menyetir motor. Tak ragu kalau terjadi soal di jalanan yang padat. STNK motor juga sudah kadaluarsa, tidak membantu malah bisa saja menyulitkan.
Sempat dihadang hujan, namun dengan visualisasi ala D Secret dan keyakinan akan perlindungan Tuhan semua pada akhirnya baik. Hujan tidak mengganggu sampai kami tiba di Ambarawa. Aku menawarkan Max untuk mampir ke rumah Nino yang berada di belakang kelenteng Ambarawa, tidak ada dalam skenario visualisasi untuk mampir. Maksud hati hendak menyampaikan selamat natal. Tidak ada Nino, ya keluarga yang ada. Sayang saat hendak mampir, tak seorangpun yang bisa di jumpai kecuali kerabat Nino disekitar rumah itu. Kami putuskan melanjutkan perjalanan. Namun baru melaju sebentar Max mengatakan Hpnya raib, sendalnya juga putus. Setelah mencari dengan gelisah kami putuskan mengabaikan saja dan merelakan HP tersebut. Baru hendak melanjutkan perjalanan, motor juga ikut-ikutan mogok. Eeee ... hujan juga turun mengguyur kota Palagan Ambara. Apesssss. Batinku.
Max mengungkapkan kehilangan terbesar adalah no penting yang ada dalam HP bukan HP, katanya. Tapi mengingat ketidaknyamanan beruntun ini, Max mereka-reka kejadian ini dan mempertanyakan kira-kira tanda apa yang tengah terjadi. Aku memintanya mengabaikan saja tanpa harus dianggap sebagai tanda-tanda. Aku mengatakan bahwa ini tandanya kita akan dapat sesuatu yang lebih besar nilainya dibandingkan kehilangan HP. Kami melanjutkan perjalanan. Saat tiba di Ungaran ia mengatakan sekali lagi keinginannya untuk mencari Romo Sugondo, SJ yang merupakan orang tua angkat baginya selama dulu berada di Sorong, Papua. Menurutnya Romo tersebut setelah dari Papua berada di Ungaran. Sambil menunjuk Pasturan Jesuit di Girisonta. Mudahan kalau tidak bertemu hari ini, ya besok. Ujarku. Saat aku ke kantor mengikuti training kamu boleh berjalan-jalan dan belajar banyak hal dengan Lukas. Tambahku.
Sesampai di Sekretariat Semarang, Lukas pak Ketua Presidium PMKRI Cabang Semarang menyambut dengan senyum. Aku bersyukur, akhirnya sampai juga. Setelah menceritakan pengalaman perjalanan kami Lukas hanya tertawa kecil sambil senyum-senyum. Sisa malam itu kami manfaatkan untuk mendampingin Max belajar keorganisasian terlebih seputar pemahaman akan pentingnya isu strategis Gerakan Kemasyarakatan. Selain itu Max diajak mengikuti misa dan temu aktivis bersama Romo Pendamping Mahasiswa yang dulu pernah berkarya di Wisma Drijarkara, Semarang. Aku meminta Lukas mendampinginya. Max senang mendapat ruang baru menambah luasnya wawasan. Max juga girang bukan kepalang ketika tahu, orang yang dicarinya itu adalah romo yang menyelenggarakan pertemuan aktivis tersebut. Artinya si Max akan bertemu dengan orang yang begitu dihormati dan dicarinya. Ini sesuatu yang lebih bernilai dari pada nilai HP yang hilang di jalan. Ujarku. Max tersenyum bahagia. Aku sendiri tertidur pulas saat Max masih ngobrol dengan rekan-rekan di Semarang.

Tanggal 30 Desember 2008. Keesokan harinya. Aku bangun dan melihat jam menunjukkan pukul 6 pagi. Sempat kulihat Lukas menggenjot sepedanya meninggalkan wisma, ke rumahnya. Bersiap mengikuti acara hari itu. Setelah mandi aku baca koran pagi dan menyapa Romo Edy dan seorang bapak yang ada disitu. Mas Luluk ikut nimbrung. Pembicaraan di ruang baca itu sampai pada persoalan gempuran Israel terhadap wilayah Gaza, Palestina. Bapak yang ada disitu mengungkapkan kegelisahannya atas isu Palestina yang tidak banyak digubris apalagi dikecam pihak non-muslim. Menurutnya kalangan katolik terutama harus punya suara tegas terhadap kekejaman Israel yang serakah. Persoalan di Palestina bukan soal agama, melainkan persoalan kebebasan dan hak hidup sebuah bangsa. Maka sudah layak dan sepantasnya atas nama kemanusiaan kita bersikap atas kekejian Israel yang memborbardir wilayah Palestina. Aku setuju.
Saat hendak menuju kantor, aku baru sadar kalau spion motor itu hanya satu. Padahal di Semarang kesalahan kecil tidak dapat ditolerir. Karena takut ditilang, STNK belum diperpanjang, dan urusan bisa tambah panjang aku berusaha mencari spion kanan yang mungkin ada di Wisma Drijarkara. Mas Luluk memberiku satu spion kecil dan bisa dipakai. Kendati tidak seimbang. Tapi cukup menambah kepercayaan diri melaju di jalanan utama kota Semarang. Kok gak kepikiran sejak di Jogja. Batinku sambil garuk-garuk kepala.
Usai training sore itu pukul 17.00 WIB dan setelah berbasa-basi dengan Max dan Lukas seputar acara mereka hari itu, kami putuskan kembali ke Jogja saat itu juga. Takut keburu hujan. Setelah pamitan dengan rekan-rekan dan Romo Edy kami melaju meninggalkan Semarang.
Sayang lagi, dugaan kami salah. Keputusan berangkat saat itu juga ternyata membuahkan pengalaman mengesankan. Hujan turun mengguyur kami. Kami terpaksa mencari tempat berteduh. Agak nyesal gak bawa mantel. Menunjukkan kami yang tidak siap berangkat dengan sigap sebelumnya dari Jogja. Kami hanya bisa tertawa. Setelah menunggu sekitar setengah jam di emperan warung yang gelap itu kami putuskan melanjutkan perjalanan, kendati hujan belum reda. Baru sekitar lima menit melaju kami harus mencari tempat berteduh lagi. Hujan makin deras dan tidak bersahabat. Sulit mencari tempat berteduh di jalur padat Semarang-Ungaran. Yang ada hanya halte tua yang atapnya bocor. Kami berteduh disitu. Hujan tetap saja tak reda. Menunggu sekitar 30 menit lagi kuajak Max melanjutkan perjalanan. Mengambil resiko kehujanan sedikit, sampai menemukan tempat berteduh yang cocok. Tempat berteduh dengan makanan dan minuman penghangat badan. Sambil menembus hujan yang malah tambah deras, kami akhirnya menemukan sebuah Warung Tegal yang cukup nyaman. Kami putuskan berhenti disitu sambil makan malam.
Setelah makan dan beristirahat cukup lama. Hujan tak juga reda. Aku menyempatkan diri tidur diemperan warung itu. Radang tenggorokanku tak bisa dikompromi. Cukup lama juga aku menyempatkan diri untuk tidur.
Tak jua hujan reda, kami akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Nekat menembus hujan. Masih sempat berhenti dua kali di wilayah Magelang karena hujan juga. Sampai akhirnya kami tiba di Jogja. Alhamdulilahhhhhh.
Bagiku pengalaman ini menunjukkan betapa semangat diri saat masih muda itu begitu hebatnya sampai mengalahkan logika untuk antisipasi keberangkatan. Selain itu perjalanan menjelang akhir tahun ini bagiku makin menguatkan keyakinanku bahwa Tuhan senantiasa menyertai perjalanan hidup kita. Kendati rintangan dan kendala tak sesuai harapan, kendati bayangan indah perjalan hidup tak kunjung nyata, kasih dan perlindungannya satu-satunya yang tetap nyata.

En Todos Amar y Servir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar