Pilihan

Rabu, 04 Desember 2013

SEPOTONG CATATAN TENTANG KADERISASI KATOLIK


Sebagai sebuah catatan singkat, penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang Kaderisasi dalam tubuh internal masyarakat KATOLIK. Hal ini menarik bagi saya karena hingga hari ini kaderisasi bagi kaum muda katolik masih belum beranjak secara signifikan. Terlebih setelah beberapa organisasi mainstream yang menggunakan label katolik banyak yang mengalami pasang surut dan bahkan ada yang sedang karam. Sejauh pemahaman dan yang saya ketahui dalam kontek Keuskupan Agung Semarang, ada macam ragam kaderisasi awam. Kaderisasi berbasis spiritual dalam berbagai bentuk juga marak mengikuti spiritualitas tarekat yang mendampingi.

Kaderisasi Sosial Politik sebagaimana yang lekat dengan citra Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) juga hadir dalam berbagai bentuk. Namun gerakannya masih terbatas pada upaya produksi insan katolik lewat jalur pelatihan. Bukan sebuah komunitas yang bergerak dan mampu menampakkan wajah yang luas di masyarakat. Ada upaya dari beberapa kalangan muda Yogyakarta yang mencoba mendorong mahasiswa katolik untuk tampil ke wilayah ini namun sifatnya sporadis dan tidak sistemik. Hal ini terjadi di tengah arus apatisme kuat yang menyeruak di kalangan mahasiswa yang merupakan generasi digital dan smartphone. Belum ada langkah taktis yang dapat dikatakan sukses untuk menarik kaum muda dari rumitnya dan juga kompleksnya praktik pendidikan di kampus.

EGO golongan yang kuat dan besar masih menjadi salah satu tantangan para pendamping kaderisasi. Sudah ada upaya misalnya di wilayah gerejani Semarang membangun kordinasi kaderisasi, sejauh ini sesuai Arah Dasar Keuskupan, walau masih bergerak perlahan. Kaderisasi awam dalam tubuh gereja tak ubahnya seperti dalam PMKRI. PMKRI hanya salah satu contoh terumit yang barangkali ada. Namun dalam konteks cabang, PMKRI masih patut bersyukur bila ada cabang yang

tetap eksis dengan minimal 15 Anggota setiap tahunnya dan mendapatkan pendidikan berjenjang. Sebab tidak semua pelatihan memiliki sifat yang secara sistem dimiliki PMKRI.

Catatan minus dari seluruh pelatihan yang saya kenali selama bergumul dengan wilayah kaderisasi di Semarang adalah kurangnya kordinasi jejaring, lemahnya visi bersama, pendampingan pasca pelatihan, ego pendamping/kelompok, serta sifatnya yang masih berbasis kuantitas serta tidak ada indikator standar untuk mengukur keberhasilan kaderisasi yang komprehensif. Warna atau kharisma golongan masih lebih dominan daripada warna kekatolikan itu sendiri. Belum tampak benang merah bersama yang dapat mendorong sinergi efektif diantara pelatihan-pelatihan yang ada. Baik dalam dinamika parokial, kemahasiswaan maupun kelompok kategorial lainnya.

Pelatihan yang terbatas tanpa pendampingan lebih lanjut hanya memberi sedikit wawasan kepemimpinan. Barangkali membuka sedikit ruang kesadaran kaum muda. Namun dalam era digital dan menguatnya arus konsumerisme yang diimbangi semangat individualisme, tentu saja tanpa pendampingan akan sulit. Sama hal seperti mengajari bayi melangkah tertatih dan membiarkanya berkeliaran di jalanan tanpa pengawasan. Hal ini tampak dari masih lemahnya gerakan personal maupun komunal dari mereka yang dididik melalui kaderisasi masa kini. Indikasi ini misalnya tampak dari kemampuan menentukanl pilihan keberpihakan, disiplin gerakan, serta kemampuan melakukan personal atau communal discerment. Catatan plusnya bahwa pada regio KAS sudah ada kordinasi meskipun perkembangannya masih lamban. Diharapkan bahwa kesadaran ini semakin ditopang oleh berbagai kebijakan yang mendukung. Syukur bahwa gerakan sinergitas kaderisasi awam ditopang dan didukung penuh oleh pihak KWI. Tentu saja kita mesti kritis dalam kondisi kekinian bangsa dengan melihat kaderisasi sebagai sarana utama dalam mengatasi tantangan gereja di masa yang akan datang.  

Kaderisasi dapat memilih bentuknya merujuk pada identitas kita sebagai garam dan terang. Ada yang memilih tidak tampak namun terasa dengan cara menggarami. Sebaliknya ada yang juga menerangi dan ingin mencerahkan. Dasar fundamental dari semua kaderisasi yang ada ini hendaknya adalah kebaikan bersama (bonum communae) yang ditopang dengan kualitas kaderisasi. Kita perlu menyadari dan mengambil langkah strategis menyikapi kondisi kekinian kaum muda kita agar isu kebangsaan dan keadilan sosial tidak hilang dari ruang perhatian mereka. Tentu saja ditengah remuk redamnya kondisi kebangsaan yang dikacaukan oleh keriuhan politik, kita perlu mawas diri dan menyiapkan generasi bangsa yang visioner dan berkarakter. Keteladan dari pemimpin utama gereja yakni Sang Guru Teladan itu sendiri barangkali perlu diaplikasikan dalam bentuk gerakan yang sinergis. Kita dapat mengambil contoh hidupnya dengan meneladani semangat hidup dan keberpihakan Paus Fransiskus yang kini tengah memandu kita dari Tahta Suci lewat jejaring sosial yang kian memudahkan kita dipandu.

Selamat bergerak dan berjejaring pada pegiat dan kelompok kaderisasi. Tanamkan fondasi kebangsaan dan semangat universalitas pada kader muda kita agar tidak terjebak dalam kotak golongan semata. Indonesia Baru menanti peran putera-puteri gereja dalam membangun arus baru dan visi masyarakat yang jujur, bersih, dan berkeadilan.

Ite, inflammate omnia!

1 komentar:

  1. Saya sepakat sodara,, kondisi ini saya pikir hampis semua wilayah keuskupan di Indonesia mengalaminya.
    Trimakasih artikelnya..
    Menarik..
    Mohon izin share.

    BalasHapus