Pilihan

Selasa, 12 April 2011

KEHILANGAN TEMAN BUKAN MASALAH

Untuk apa menaruh harapan pada kesia-siaan. Sama halnya seperti menaruh kepercayaan pada bejana pertemanan tapi tak pernah terisi karena bocor. Memiliki teman tapi si teman tidak menganggap anda sebagai teman. Lalu apakah anda merasa tersinggung dengan orang demikian?

Barangkali anda akan menjawab, Pasti! Tetapi perhatikan baik-baik pertemanan yang sedang anda bangun saat ini. Benarkah dibangun dari dua arah yang bersinergi, atau sebatas satu arah dari anda. Sebab ketika anda menaruh kepercayaan dan memberi perhatian layaknya teman pada seseorang, tetapi di sisi lain ia menafikkan sikap pertemanan anda, maka saatnya bertanya. Benarkah ia seorang teman?

Saya belajar dari beberapa kali pengalaman. Menaruh kepercayaan pada orang-orang di dekat saya. Menganggap mereka teman dan tak jarang bahkan menganggap seperti saudara. Saya menempatkan diri sebagai seorang teman yang setara dalam membina kebersamaan. Berharap demikian pula sebaliknya dari orang yang saya anggap teman. Tetapi banyak kali dari pengalaman tersebut saya dikecewakan atau terkecewakan. Kecewa mengingat pada praktiknya nilai pertemanan tak ubahnya seperti kumpulan sampah. Tak pernah berguna dan hanya sebatas hanya polesan relasi saja.

Beranjak dari kekecewaan ini, saya melihat kembali betapa lekatnya saya pada yang namanya pertemanan. Berharap banyak dari orang-orang yang saya anggap teman. Berharap agar mereka mau berbicara dari hati ke hati, berharap ada yang bertanya tentang keadaan saya, berharap mereka mengerti kesulitan saya, berharap dan berharap. Tetapi banyak kali, seperti yang saya utarakan sebelumnya, orang yang saya anggap teman malah berpaling. Tak jarang malah muncul suatu waktu menjadi lawan yang tanggung. Menyerang dari rimbunan kekosongan. Bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan sinyal pertemanan yang kita berikan.

Maka belajar dari itu saya berpikir bahwa tidaklah patut kita hidup dalam kelekatan akan pertemanan. Tak baik kiranya bila hati menjadi risau melihat teman ternyata tak lebih dari sekadar kata TEMAN. Tak elok bila menaruh harap dan kepercayaan pada teman yang hanya pajangan semata. Maka beranilah membuka mata dan hati sambil menyadari bahwa kadangkala teman tak lebih dari seorang lawan. Maka hadapilan kenyataan.

Minggu, 10 April 2011

SEJARAH HIDUP DAN LUKA BATIN

Suatu saat dalam salah satu fase Program MAGiS (Program Pendalaman Spiritualitas Ignasian) yang saya ikuti beberapa tahun silam. Dalam bagian program kami diminta menuliskan sejarah hidup masing-masing. Secara sederhana, tiap-tiap kami diminta menulis pengalaman hidup sejak usia kanak-kanak hingga kini, sejauh ingatan. Saya mengerjakannya dengan lumayan baik, kendati ingatan soal waktu tidak dapat secara jelas saya uraikan. Seolah seperti menulis miniotobiografi.

Ketika dalam suatu sesi saya ditanyakan mengenai sejarah hidup saya, dengan tersenyum bangga karena telah menyelesaikan tugas, saya mengatakan hidup saya baik-baik saja. Pertanyaan yang sama diulang dan saya masih menjawab dengan jawaban yang sama, hidup saya baik-baik saja. Lantas saya diminta untuk membaca ulang sejarah hidup saya dengan merasakan secara sadar tiap-tiap pengalaman dalam kisah tersebut. Pada bagian tertentu dalam sejarah hidup yang saya tulis dan baca kembali dengan sadar, saya tertegun dan merasakan bagian dalam diri seperti tertarik ke dalam satu kalimat di sejarah hidup tersebut. Saat, pertanyaan yang sama oleh pendamping rohani diajukan sambil menatap dalam ke arah mata saya, tak sadar air mata saya jatuh.

Ternyata setelah melewati proses sharing dalam pendampingan saya sadar bahwa pada bagian sejarah tersebut, ada yang tidak tuntas dalam hidup saya. Saya tidak menyadarinya selama itu, hingga akhirnya dalam kesempatan program tersebut saya mengenali istilah luka batin. Secara umum Luka batin adalah sebuah peristiwa atau pengalaman yang sangat mengguncang atau menyedihkan sehingga melukai perasaan/batin kita. Peristiwa atau pengalaman ini dapat menciptakan trauma yang membekas dan melekat sampai ke batin yang paling dalam.

Melalui Program Magis saya mengenali luka batin saya dan mencoba menyembuhkannya melalui olah diri dan hati. Fase-fase berat yang tidak bisa saya lupakan indahnya. Demikian membekas hingga saya mensyukuri proses tersebut yang tidak semua orang memiliki kesempatan mendapatkannya. Hari-hari ini setelah mengingat kembali pertama kali saya menemukan luka tersebut, sedikit demi sedikit hidup saya kian membaik dari dalam, bukan dari luar diri saya. Saya menemukan betapa sekarang luka tersebut perlahan disembuhkan oleh penerimaan dan kesediaan berdamai dengan masa lalu. Hari-hari ini setelah sekian tahun, saya menikmati buah-buahnya yang kian matang dan berasa manis.

Demikianlah setiap orang pada akhirnya memiliki sejarah hidupnya masing-masing. Tiap-tiap sejarah kita tidak menutup kemungkinan adanya bagian luka yang sama seperti yang saya miliki. Kesadaran kita yang mampu mengantar dan membawa penyembuhan. Sebab kesadaran sebagaimana lazimnya hanya dapat kita pahami sebesar kurang dari 20% dari kesadaran yang seutuhnya. Sekadar contoh saat kita tertawa, seberapa kita sadar alasan MENGAPA KITA TERTAWA. Biasanya yang terjadi kita tertawa dan yang hanya bisa kita sadari adalah bahwa kita gembira. Jarang kita sampai pada titik mula kegembiraan dan tawa. Apalagi sampai pada titik akhirnya yakni syukur.

Maka mengingat kesadaran lapis luar kita begitu terbatas, kerap kali kita kurang menaruh perhatian pada kondisi kita saat ini yang sebenarnya berada pada satu garis rantai dengan masa lalu kita. Sejarah hidup menyatukan mata rantai yang ada dan kesadaran yang baik membantu kita mengenali mata rantai persoalan kita di masa lalu. Dengan mengenalinya kita dapat kembali ke bagian mata rantai pengalaman tersebut yang potensial menyimpan luka batin. Kembali menatap pengalaman tersebut dan menangisinya untuk sejenak sambil mengulurkan kesadaran dan menerimanya. Menerimanya sebagai bagian dari hidup kita dan mencoba berdamai dengannya.

Pada fase demikian, menerima apa adanya diri kita memiliki daya dorong untuk kita menjadi pribadi yang lebih utuh. Pribadi yang berani melangkah menuju masa depan sambil belajar dari olah pengalaman kita di masa lalu. Memandang hidup dengan lebih baik dan penuh syukur.

Bila kita memiliki sejarah hidup masing-masing, maka barangkali disana pun ada luka batin yang terpendam dalam sekali dibawah alam sadar kita. Setiap mereka yang mengerti dan berani mengolahnya, dapat memetik buahnya untuk kehidupan yang lebih baik. Be MAGiS!

Sabtu, 09 April 2011

KELUARGA, MASIHKAH BERHARGA?

Setiap kita berasal dari keluarga. Keluarga merupakan ruang pertama dan utama dalam kehidupan kita. Sukses tidaknya hidup kita mau tidak mau selalu berkaitan dengan relasi kekeluargaan. Setiap pengalaman dalam keluarga membentuk kehidupan kita kini dan masa yang akan datang.

Saat-saat kritis bisa saja terjadi dalam jalinan kekeluargaan. Bukan tidak mungkin menjadi krisis berkepanjangan. Situasi demikian dalam pertalian keluarga jelas bukan hal yang diinginkan. Kondisi tersebut cenderung menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita.

Bila anda memiliki keluarga yang senantiasa hidup dalam disharmoni, belajarlah mengalahkan sikap ego dalam diri kita masing-masing. Ego cenderung menghantar kita pada sikap menyerang dalam keluarga. Serangan demikian ini jelas dapat menggerogoti pula sendi-sendi masa depan anda.

Maka bila ingin memperbaiki hidup, baik bila anda mencoba mulai dari lingkungan keluarga. Memulainya dengan penuh kesadaran dan cinta. Mensyukurinya sebagai harta yang berharga bagi kita.

Kamis, 31 Maret 2011

DE OMNIBUS DUBITANDUM

"DE OMNIBUS DUBITANDUM". Demikian sebuah kalimat penting yang beberapa pekan ini terlintas di benakku. Kalimat tersebut kurang lebih bermaksud menyatakan agar kita selalu mempertanyakan apa yang kita yakini sebagai sebuah kenyataan dan fakta. Sebab apa yang kita yakini benar atau fakta barangkali merupakan sebuah rekayasa pikiran kita yang dipacu oleh situasi yang kita lihat, atau pernyataan orang yang kita dengar.

Banyak kali kita, kerap menganggap bahwa apa yang kita lihat dan kita dengar sebagai sebuah kebenaran. Lebih rumit lagi ketika kebenaran tersebut kita tangkap tanpa proses pengujian lebih lanjut melalui rasionalitas yang teruji pula. Konsekuensinya kita menggunakan "Kebenaran" itu sebagai sebuah sikap dalam menghadapi orang-orang disekitar kita. Jiwa dan pikiran yang labil membuat kita mudah menerima setiap masukan yang direspon melalui pikiran kita. Ada dua kemungkinan bahwa kita menjadi kerap ngotot dengan apa yang kita yakini atau yang kedua kita mudah terombang ambing dan tidak bisa memasang jangkar prinsip kita.

Beberapa kali saya mengalaminya atau menemukan teman yang terjebak dalam situasi ini. Beberapa kali saya mudah berubah pikiran dan membuat orang di sekitar saya pusing tujuh kali tujuh keliling. Begitu pula ketika teman saya yang demikian, giliran saya yang pusing tujuh turunan. Acapkali jalan pikiran yang kurang logis menyesatkan kita dan membuat kita hidup dalam ketidakjelasan.

Untuk menghadapi situasi ini, maka kalimat latin diatas tampaknya patut kita jadikan sebagai sebuah pegangan dalam merespon situasi di sekitar kita. Mengujinya sebelum kita jadikan sebagai sebuah kebenaran bagi diri kita. Agar jangan sampai kita terjebak. Hendak menyatakan diri kita sebagai putih diantara hitam, tapi kita lupa menanggalkan warna hitam diri kita. Selamat mencoba.

Jumat, 25 Maret 2011

NEGERI PARA BAJINGAN


Membaca harian Kompas dalam hari-hari ini membuat hati miris. Tidak hanya miris, tapi melihat jumlah angka yang fantastis dan relevansinya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat membuat saya bertannya, masihkah ada Politisi yang punya hati? Punya hati untuk sadar diri kalau belum punya kinerja yang membangunkan negeri, sadar diri kalau kerjaannya masih hanya menghamburkan uang rakyat dengan studi banding ke luar negeri, dan tiap hari muncul dengan kisruh politik di televisi. Punya hati untuk merasakan derita rakyat dibalik glamornya pemberitaan Kasus Bank Century, Gayus Tambunan, hingga bom buku di dalam negeri.

Proyek pembangunan untuk gedung baru DPR RI yang akan mulai pada 22 Juni kabarnya menelan biaya Rp 1,138 triliun. Sebagian besar dari total biaya itu diserap untuk pembuatan 560 ruangan anggota DPR yang akan menghabiskan biaya sekitar Rp 800 juta per ruangannya (Kompas.com 25/03). Seolah anggota DPR sudah kehilangan rasa malu, kerjanya ribut mengurus kepentingan partai tapi minta gedung dewan sekelas istana senyaman suasana pantai.

Belum lagi pemerintah dalam hal ini jelas sekali tampak linglung. Periode kepemimpinan untuk kedua kalinya bagi kepala negara seharusnya menjadi masa penting dalam perombakan proses penyelenggaraan negara tapi yang muncul adalah sebaliknya. Pemerintah pun terjebak dalam kekisruhan politik yang tak berujung. Kegamangan dalam bekerja jelas menyeret pemerintah dalam pusaran kesia-siaan. Dukungan rakyat yang besar tidak mendorong pemimpin makin percaya diri. Sebaliknya kekuatan pemerintah dibangun diatas koalisi yang amburadul dan rentan terhadap praktik politik dagang sapi. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan lagi, benarkah dukungan besar itu dulu berasal dari rakyat atau barangkali dukungan itu sesungguhnya tak pernah ada?

Lihatlah bagaimana kasus-kasus yang terjadi di daerah. Lebih seringlah membaca kabar dari daerah. Temukan bagaimana kondisi masyarakat di daerah. Para petani yang tanahnya dirampas untuk kepentingan penguasa, para petani yang gagal panen, hingga petani yang mampu panen tapi tak mampu mendapat kesejahteraan karena harga komoditas yang rendah. Belum lagi berita dari para pelaksana kebijakan di daerah yang tingkahnya makin aneh. Di Aceh, DPR Aceh mengaku banding terhadap putusan MK yang memutuskan Calon Independen atau perseorangan dapat maju menuju pentas pemilihan kepala daerah tanpa jalur partai. Tindakan ini disertai dengan ancaman pula dengan dalih Aceh punya keistimewaan di bidang politik berdasarkan perjanjian Helsinki. Sikap ini jelas arogan dan mengandung perlawanan terhadap konstitusi dimana putusan MK merupakan putusan final bagi seluruh pihak. Lebih nyeleneh lagi dalam suatu pidato bupati beberapa oknum camat ketahuan menonton video porno sebagai suatu bagian yang dengan semangat dilawan oleh Menkoinfokom, Tifatul Sembiring.

Lalu masihkah kita egois untuk bersikap tidak peduli dengan kenyataan ini. Masihkah kita mengatakan, ya sudahlah. Anda barangkali berpikir bahwa semua hal yang terjadi sekarang seperti sebuah sandiwara. Saya sepakat dengan anda. Tapi sandiwara ini benar-benar nyata dan tidak lucu sama sekali. Jangan kira ratusan juta rupiah untuk satu ruangan anggota DPR itu datangnya dari langit. Uang itu berasal dari uang negara yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan anda, mengurangi biaya kuliah anda yang harganya selangit, untuk membangun jalan raya agar motor dan mobil anda tidak perlu rusak rutin karena jalan berlubang, membangun industri agar anda atau sanak keluarga anda tidak perlu menganggur dan rentan menjadi pelaku kriminal.

Jika anda masih berpikir egois dan barangkali berkata, persetan dengan semua,. Maka sama saja sebenarnya kita melengkapi rencana Negara Gagal Republik Indonesia. Bila pemerintah hanya sibuk bersolek untuk mengadakan perjanjian "Cinta Satu Malam" dengan para kapitalis, saat anggota Dewan sibuk bersandiwara dan menghambur-hamburkan uang negara yang barangkali datang dari pinjaman pula, lembaga-lembaga negara saling main mata, PSSI kerjanya rebutan bola dan melupakan piala, rakyat seperti kita ini makin tidak peduli dan bersikap apatis, maka lengkaplah perangkat negeri baru kita.

Negeri Para Bajingan.... Selamat Datang!