Pilihan

Minggu, 24 November 2013

S.O.S (Solidaritas Oentoek Sinaboeng)




“Berterimakasihlah pada segala yang memberi kehidupan.”
Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Siang itu saya baru menyelesaikan sebagian kecil ujian skripsi saya. Sembari menanti nilai sebuah panggilan masuk di ponsel. Sebuah suara memperkenalkan diri. Seorang kenalan lama dan senior di Mudika Karo Katolik Yogyakarta. Mengingat saya masih berada di depan ruang dosen menanti nasib baik, saya meminta untuk nanti menghubungi kembali yang bersangkutan.

Selepas mendapat kabar baik dari dosen saya bergegas keluar dari zona kampus. Menghubungi kembali si penelepon sebelumnya. Bang Merro Ginting, demikian nama yang bersangkutan kerap disebut. Ajakan untuk terlibat memberi sesuatu untuk pengungsi di Sinabung dari Bang Merro Ginting, mantap saya jawab. Selama berada di Jogja dan terlibat dalam dinamika kemahasiswaan kampus maupun gerakan ekstrauniversiter, saya tidak banyak ikut dinamika masyarakat karo. Hanya pernah sempat bergabung namun memutuskan tidak aktif karena ada peluang belajar lebih di komunitas lain.

Secara jujur saya juga memang agak kecewa pula dengan mentalitas beberapa rekan mahasiswa Karo yang pernah saya kenal. Berbahasa pun jarang yang percaya diri menggunakan bahasa Karo. Tak jarang malas diajak terlibat dalam aktivitas yang
dalam pandangan saya penting untuk para pelajar dari daerah. Namun demikianlah identitas budaya tidak akan pernah lepas bagaimanapun kita melihatnya. Kesadaran akan diri dan identitas saya sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat Karo memanggil saya. Toh apa yang saya saksikan dan alami lebih adalah tindakan pribadi. Bukan cermin masyarakat Karo sepenuhnya. Kesadaran akan tidak menuntut dan secara pribadi bertanggungjawab atas kelestarian budaya Karo itu sendiri berhasil menyakinkan diri saya terlibat pada gerak berbasis kedaerahan. Terlebih saya baru saja menyelesaikan satu tahap pendidikan. Selain tanggungjawab sebagai Kalak Karo, ini adalah ungkapan syukur.

Maka sore itu segera saya memenuhi undangan untuk berdiskusi. Hanya sekitar 10 orang yang hadir diantaranya 3 intelektual muda Karo yang telah berkeluarga. Selebihnya adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Tidak perlu waktu lama kami menyambut gagasan untuk terlibat menyuarakan kondisi pengungsi dan membangun solidaritas bersama mereka. Kami sepakat dengan gagasan para senior tentang ide Karo Jogja Peduli Sinabung. Tentu rasanya ada yang aneh bilamana saat erupsi Merapi di Jogja kami terlibat menggalang aksi solidaritas, namun untuk Sinabung kami hanya turut berkabung.

Setelah berdiskusi sejenak, jadilah tim kecil Karo Jogja Peduli Sinabung dengan jumlah yang terbatas. Kami memilih untuk memulai dengan langkah pertama 2 hari kemudian melakukan Aksi Solidaritas Peduli Sinabung di Titik Nol Kilometer Jogja. Demi memperluas aksi solidaritas saya usulkan agar identitas Karo yang kita bawa tidak eksklusif namun hendaknya inklusif. Maka berhubung kami sedikit banyak terpengaruh oleh gaya seni Jogja serta menambah ruang kepedulian banyak pihak, kami membangun gerakan dengan nama S.O.S (Solidaritas Oentoek Sinabung). Yeah, tentu saja nama itu dipilih juga karena para pengungsi dan Sinabung itu sendiri berada dalam keadaan darurat serta membahayakan.

Maka akhirnya tanpa banyak pikir panjang, hari itu Kamis 21 November tepat di hari ujian pendadaranku, identitasku sebagai seorang Kalak Karo pun turut diuji. Akhirnya sekian tahun menghindari organisasi atau gerakan kedaerahan, saya kembali pulang ke akar identitas daerah dan kultural saya. Semacam refleksi kesadaran diri yang bergerak pulang ke akar agar identitas diri semakin kokoh.

Sebagai sebuah gerakan, kami lewat Karo Jogja Peduli Sinabung (KJPS) menggunakan S.O.S sebagai sarana edukasi solidaritas terhadap pengungsi Sinabung khususnya advokasi pendidikan pelajar dan mahasiswa Karo, alat untuk membangun kesadaran publik akan bahaya yang masih mengancam masyarakat di Tanah Karo, serta kesempatan mempromosikan eksistensi kultural masyarakat Karo karena dalam menggalang aksi kami menggunakan kain tradisionil karo.

Hari ini baru beberapa saat kami memulai sebuah gerakan. Masih kecil namun tidak berarti kerdil. Kesempatan ini bagus sebagai sebuah sentilan kedalam bagi kaum muda Karo agar punya kepedulian terhadap masyarakatnya. Sebaliknya ajakan keluar agar publik Indonesia khususnya di Jogja berkenan berbagi solidaritas bagi para rekan dan sahabat kami yang barangkali menjadi korban. Korban dalam pendidikannya karena pada saat yang sama orang tua mereka tidak mampu mencari nafkah ditengah Sinabung yang tampaknya penuh amarah.

Bila sejenak kita berefleksi. Membangun paradigma lain dalam memandang bencana di Sinabung. Sinabung selain menyimpan kisah pedih para pengungsi, sebenarnya sedang menawarkan tantangan tersendiri. Gunung Sinabung ditengah geliatnya tengah mengajar masyarakat yang selama ini hidup dari alamnya untuk belajar. Belajar untuk saling peduli, saling berbagi dan saling merawat satu sama lain. Dibalik seluruh kerepotan dan juga ketakutan, kita sedang diajak belajar dari momen letusan Sinabung untuk mengerti bahwa hidup kita ini tidak diciptakan untuk kita miliki sendiri dalam ruang yang sempit. Sinabung mengajarkan lewat kearifan alamnya agar kita agar kembali kepada akar kebudayaan kita khususnya masyarakat Karo yang mengajarkan sikap saling peduli dan solider.

Pranata sosial masyarakat karo dalam semangat rakut sitelu kini tengah diuji. Sinabung tengah menguji kesetiaan masyarakat Karo pada akar kebudayaannya yang penuh dengan ajar-ajar si mehuli. Ajaran tentang kebaikan hidup bagi diri, masyarakat dan semesta. Maka agar kita tidak terjebak dalam lautan kepedihan, mari kita tegar dan belajar bersama geliat erupsi serta letusan Sinabung. Tentu saja sambil berdoa dan berharap tidak ada korban jiwa. Bersama kita belajar membangun Solidaritas Oentoek Sinabung.

Pada Gunung Sinabung, terima kasih untuk memberi dan mengajar kami tentang kehidupan.

Mejuah-Juah ban kerina!
#MySinabung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar