Pilihan

Senin, 29 Juli 2013

MIMPI


Tik ... Tik .. Tik.
Rasanya baru beberapa waktu lalu suara dari Mesjid yang mengingatkan sahur terdengar. Tidur larut dini hari rupanya tidak berpengaruh sehingga aku tidak perlu bangun di waktu benar-benar siang. Aku bangun dan bisa mendengarkan bunyi jarum jam tangan di atas meja. Mimpi satu sekuel dengan mantan di era Putih Biru barusan memang membuatku satu sisi bisa tertawa, namun di sisi lain menggelisahkan. Mungkin stimulus kegelisahan membuatku bangun lebih awal dari prediksi. Bunga-bunga tidur dari taman alam bawah sadar. Siapa yang paham.

Sebentar kusimak berita dari rekan di Roma. Rencana pertemuan 30 observer yang akan diseleksi dari ratusan kami yang menjadi member di jaringan orang muda untuk keadilan sosial. Entahlah apakah undangan tersebut yang menyertakan kata kunci menarik “akan turut misa khusus dengan seorang dengan jubah putih” akan sampai padaku. Masih agak kecewa dengan kegagalan pertama ke Roma karena keterlambatan visa. Menghadapi berita itu saja sebenarnya membingungkan. Bahasa aliennya memicu galau. Antara berkah dan gelisah. Berkah karena impian masa lalu dan kegagalan visa beberapa bulan lalu akan terobati. Gelisah karena membayangkan keterbatasan bahasa dan lebih menggelisahkan lagi, jauh dari nasi. Jauh dan harus hidup dengan roti, roti, dan ya ... pizza dan roti lagi. Oh, sindrom kurang percaya diri akut dan nasib jadi warga dengan kebijakan penyeragaman pangan.

Dasar pikiran kacau. Kulupakan sejenak Roma dan kembali kesini. Realitas dan realitas bahwa saya saat ini di tanah air tercinta. Lebih sadar lagi saat menyaksikan bahwa sampai detik ini masih saja banyak yang membicarakan ormas anti maksiat. Ormas yang masih memicu perdebatan sampai detik ini. Dari group kedaerahan hingga group nasional tempat para pendukung pencapresan Gubernur DKI, semua bicara tentang ormas yang lebih tepatnya saya
katakan ormasnya para oknum Jenderal. Lebih memprihatinkan lagi, seakan mengkritisi ormas ini seperti mengkritisi sakralitas sebuah agama.

Syukurlah bahwa akal sehat itu masih ada. Mereka yang lantang bersuara justeru juga datang dari banyak sahabat dan saudara lintas agama. Sebab memang masih ada yang terlalu picik menggunakan akal sehat dalam membedah persoalan sosial dan produk dari rekayasa para elit aparat korup ini. Banyak yang kerap menuding dan menjatuhkan agama lain hanya karena sulitnya kita melihat bagaimana iblis kapitalisme dan gendruwo aparat korup mencuri keindahan nilai kita dan memanipulasinya. Kita kerap tertipu hanya karena label yang sakral dilekatkan disana.

Mengapa akal sehat kita mulai dipertanyakan? Sebab seakan ormas para jenderal ini adalah agama. Padahal seluruh dunia kagum dengan agama ini yang di Indonesia menjadi benar-benar memikat mereka yang diluar sana. Karena memang wajahnya yang paling unik dan mencerminkan keteduhan ini telah menjadi satu model bagi sebagian dunia di semenanjung arab sana. Hal ini juga yang membuat saya mencintai agama ini karena ia mempunyai pengaruh yang membuat nama bangsa ini dihormati. Para wali dan mereka yang berjuang setengah mati membangun agama ini di Nusantara kala dulu pastilah seorang yang sungguh teduh hatinya sehingga ia berwajah teduh dan menjadi referensi bagi banyak ulama di belahan bumi.

Ketika mengkritik tindakan anarkisnya lantas beberapa mereka yang picik menyebut kita yang mencoba menggunakan akal sehat disebut kafir. Apapun itu agama kita. Lebih repotnya lagi, dituding preman atau pro maksiat. Bukankah ini adalah sebuah cara pandang yang irrasional. Bagaimanapun pelanggaran hukum apalagi dengan tindak kekerasan yang meresahkan warga adalah tetap pelanggaran hukum. Alasan bahwa walaupun salah tapi mereka menghadapi orang yang memang pantas dihadapi dengan kekerasan tetaplah bukan jawaban yang logis.

Hal yang paling mendasar adalah kalau hendak melawan kebiasaan maksiat, bangun akhlak masyarakat dan bangun jejaring sipil juga. Lakukan pembinaan dengan membangun kontrol sosial dengan jejaring yang ada. Tanpa kekerasan. Lebih dari itu atasi bersama sumber utama dari seluruh maksiat itu. Pertama, pemerintah yang tidak menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi mereka yang dinilai maksiat. Agar diangkatlah derajat hidup mereka, bukan sekadar diinjak dan diancam. Kedua, kalau mereka tetap menolak karena memang kebiasaan buruk dorong aparat terkait untuk menertibkan secara elegan. Ketiga, hal yang paling mustahil namun barangkali didorong masyarakat sweeping aparat korup agar dapat bekerja sesuai dengan kaidah hukum. Tentu saja semua tidak boleh lepas dari kaidah hukum yang ada. Sebab kalau penegakan hukum tak berjalan dan sebaliknya kita memanfaatkan untuk membangun hukum sendiri, lalu apa bedanya kita dengan aparat korup yang kita nilai tidak bekerja itu.

Ibarat dokter bedah lelet bekerja lalu kita yang gemas dan jengkel lalu mengambil alih perannya membedah pasien. Begitulah kurang lebih yang tengah terjadi. Sangat berisiko dan sangat akan berhadapan dengan kaidah normatif masyarakat kita yang bagaimanapun tidak ingin menghadapi situasi chaos dan berujung kekerasan. Sudah cukup banyak tragedi rasis mulai dari kasus Situbondo, Mei 1998, Perang kepentingan di Ambon, Sampit, hingga kekerasan Syiah.

Lantas apa yang dapat dilakukan saat ini adalah mendorong ormas ini untuk membangun sinergitasnya dengan gerakan sipil lain dalam rangka membangun tatanan sosial yang lebih arif. Menjadi bagian dari sistem sosial masyarakat nusantara yang ramah sekaligus menjadi garda depan kritik sosial masyarakat yang tegas terhadap bobroknya penyelenggaraan Negara dan mandulnya kepastian hukum. Dengan demikian saya kira ormas ini tidak hanya akan mendapatkan penghormatan dari anggota dan simpatisannya tapi juga disegani oleh publik secara keseluruhan. Ormas ini punya jaringan yang cukup untuk melakukan transformasi sosial ke arah yang lebih baik. Ini semua hanya dapat terjadi bila ormas ini memulai babak baru sejarahnya dan lepas dari benang merah kepentingan oknum Jenderal di belakang layar. Apalagi selama ini masih jarang terdengar mereka melakukan aksi heroik melawan kemaksiatan di pusat-pusat kekuasaan para koruptor.

Bukan berarti pula ormas ini tidak pernah berbuat kebaikan. Sangat banyak aktivitas sosialnya yang patut diacungi jempol. Tetapi menyatakan media tidak adil dan menyudutkan rasanya juga tidak benar. Masyarakat yang jengah dengan hal yang demikian. Sebab bagaimanapun kebudayaan adiluhung yang pernah hidup di nusantara berabad-abad masih menjadi memori kolektif bangsa ini untuk hidup santun dan menjaga semangat rukun. Bukankah ada ungkapan karena nila setitik, rusak susu sebelanga? Ini bukan hanya soal keyakinan. Di politik atau bidang lain juga demikian. Integritas atau kesesuaian nama atau posisi anda akan dikaitkan selalu dengan keteladanan.

Sekali lagi, menolak tindakan anarkis tidak berarti membenci sebuah identitas agama. Menolak aksi kekerasan tidak berarti menerima maksiat. Soal sebutan Kafir, terserah anda. Sebab kelak Dia sendiri yang akan menyatakan langsung pada tiap kita kebenaran yang sesungguhnya.


Mari bangun iman dan ketakwaan masing-masing sembari membangun cara berpikir yang jernih. Bangun solidaritas kebangsaan dan semangat penegakan hukum. Rasanya itu sebuah hal yang lebih masuk akal. Sakit kepala perlu diberi obat sakit kepala, kalau tidak manjur bukan berarti harus diberi obat Rabies. Rasanya dengan demikian sakit sosial kita yang akut justeru akan bertambah larut dan semrawut.

Aku pun akhirnya memilih tak larut dengan pemberitaan. Kutuliskan hal ini dan kudoakan khususnya saudara dan keluarga besarku yang tengah berpuasa di tanah kelahiran tercinta, Aceh Tenggara, agar ibadah mereka berjalan lancar. Tak terasa kerinduanku semakin besar. Hampir satu dekade tak lagi merasakan indah dan damainya Idul Fitri yang menyejukkan disana. Tempat semua berbagi inspirasi dan kebaikan tanpa memandang agamamu apa. Rindu mendengar bunyi beduk dan suara takbiran di kampung yang terasa lebih segar daripada pesta kembang api di kota. Sebab seindah-indahnya perayaan adalah saat merayakan kebersamaan dengan orang-orang tercinta. Sebuah mimpi dari kampung halaman yang membuatku selalu merasa penuh berkah. Tanpa gelisah.

Srupppp…. Sisa terakhir kopi di gelas. Sungguh nikmat.
Selamat merayakan hidup dalam syukur.

(Jogja Pagi Hari, 28 Juli 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar