I have watching it a few minutes ago. I've learn from this movie when I could closing my eyes at Wisma Drijarkara, this morning. This movie show me how the truth love will lending you out from your dark side. Love should be equal and need a sacrifice also. I'm so great full to take some enligtening this morning, even I should pay it with rearrangement my Sleeping Time.
WMD Semarang, 04.43
Jumat, 23 Oktober 2009
Kamis, 22 Oktober 2009
LIRIH HIDUP SARJANA

Pria itu sedang galau. Tampaknya ia tak tenang dan kegelisahan terpancar dari air mukanya. Sudah hampir sejam ia mondar-mandir di pelataran margasiswa menjelang temu anggota PMKRI St. Thomas Aquinas Yogyakarta sore itu.
Saat pertemuan yang mendiskusikan mengenai komersialisasi pendiidkan berlangsung, pun ia tetap tak bisa tenang. Gelisah dan menunjukkan ketidaknyamanannya. Sudah empat kali ia beranjak keluar dari ruang pertemuan. Kelima kalinya ia keluar ruangan seraya mengangkat ponselnya. Simamora yang menjadi moderator pertemuan tampak memperhatikan tingkahnya. Aku tersenyum saat sorot mata Simamora menuju arahku.
Usai pertemuan berlangsung, kutawarkan pada Simamora untuk mengajak pria itu ke Djambur, sebuah warung kopi di seputar UGM. Saat kami mengajaknya, tampak ia ragu sampai akhirnya mengangguk setuju. Dari margasiswa kami pun melaju.
Sekitar pukul 22.00 WIB saat kami tiba. Suasana lengang tak seramai biasanya. Tampaknya para mahasiswa dari Tanah Karo yang jadi pelanggan utama warung kopi tengah mudik liburan. Kami mengambil tempat di sisi utara. Sambil menuliskan pesanan sesekali aku mengarahkan pandangan ke layar televisi, pertandingan sepak bola antar klub Eropa tengah berlangsung.
Setelah menyerahkan pesanan, aku mengambil posisi yang nyaman sambil bersandar. Simamora mengangkat tangan pada beberapa kenalan yang melambaikan tangan kearah kami. Mataku menangkap jiwa yang hampa pada pria itu. Matanya seakan menerawang jauh.
Saat pelayan tiba, segera saja kusambut pesanan kami. Setelah menyampaikan terima kasih aku mengedarkan minuman. Pertama pada simamora yang duduk disebelahku dan berikutnya pada pria yang tengah gelisah itu.
“ Jana, bagianmu “ ujarku membuyarkan lamunannya.
“ O, iya “ sahutnya. Ia mengulurkan tangannya menyambut minuman ditanganku.
“ Tampaknya kamu sedang gelisah, Jana “ Simamora angkat bicara.
“ Apakah ada yang ingin kamu ceritakan” sambungku
Asep Sarjana menggelengkan kepala. Teman seperhimpunan dari Jawa Barat ini tampak menjaga sesuatu dari kami. Wajahnya menunjukkan keraguan untuk bercerita.
“ Bah, kalau tidak ada, mari kita main catur saja “ ujar Simamora sambil melirik kearahku. Saat itu gerimis mulai turun.
“ Sebenarnya … “ suara Sarjana tertahan
Simamora tampak tersenyum puas. Tawarannya bermain catur berhasil memancing pria itu untuk berbagi cerita. Aku menempatkan diri untuk mendengar apapun yang hendak diceritakan Sarjana.
“ Sebelum pertemuan tadi ayahku memberi kabar “ ujarnya dengan suara berat
“ Rumah kami di Kuningan menjadi korban perusakan dan pembakaran sekelompok massa “ sambungnya yang membuatku terperangah. Simamora mengernyitkan keningnya.
Sesaat setelah menegakkan kepalanya, ia kembali bercerita. Sore tadi di desanya terjadi aksi massa yang mengarah ke rumah salah seorang tetangganya. Massa itu datang dari luar desa dengan mengusung simbol organisasi mereka sambil meneriakkan penolakan terhadap tetangga Sarjana yang diduga terlibat dalam salah satu kelompok aliran sesat. Massa awalnya hanya berorasi menyampaikan penolakan saat ayahnya baru saja tiba. Namun selang beberapa waktu massa mulai menunjukkan sikap arogan dengan melempari rumah tetangga mereka. Ketua RT bersama ayahnya dan ditemani seorang kepala polisi yang tiba dengan belasan anggotanya berupaya menenangkan massa.
Himbauan dari aparat desa dan kepolisian setempat ternyata tidak digubris. Sebaliknya massa makin beringas dan keadaan makin tak terkendali. Aparat kepolisian dan warga setempat yang berusaha menenangkan tak mampu membendung aksi perusakan lebih lanjut. Rumah tetangganya dilempari dan beberapa rumah lain turut menjadi korban, termasuk rumah orangtua Sarjana. Kepanikan tak dapat dielakkan tatkala nyala api mulai tampak membubung dari sisi yang berlawanan. Ada oknum yang melemparkan botol bersumbukan api kearah rumah. Segera saja situasi tak terkendali. Beberapa warga terluka dan aparat tak mampu berbuat sesuatu untuk mengendalikan situasi.
Kejadian itu berlangsung dalam hitungan satu jam. Satu jam yang menghebohkan dan menimbulkan trauma bagi warga setempat. Ayah dan keluarga Sarjana berhasil menyelamatkan diri, namun rumah dan isinya terlanjur habis dilalap si jago merah.
Sarjana tampak emosional. Air mukanya berubah sedih bercampur geram. Simamora tertunduk lesu mendengar penuturan rekan kami itu. Aku sendiri tak dapat menyimpan keprihatinanku. Amarah bergejolak dalam diriku tak bisa menerima kalau keluarga yang tak berdaya itu harus kian menderita karena ulah oknum tak bertanggungjawab.
Aku kini bisa memahami apa yang terjadi dibalik kegelisahan Sarjana. Pastinya ia tengah mengkhawatirkan keluarga dan desanya. Saking emosinya hingga aku tak sadar mataku berkaca-kaca mendengar cerita pilu Sarjana.
Sulit bagiku membayangkan keadaan sarjana. Sebulan lalu pernah ia berkisah tentang susahnya kehidupan keluarganya. Tentang kesulitan ayahnya yang hanya seorang buruh tani untuk mengatasi tunggakan biaya studi dirinya dan empat orang adiknya.
Ayahnya yang bersahaja memiliki impian besar terhadap anaknya. Impian polosnya adalah bisa menyaksikan anaknya meraih gelar sarjana untuk memperbaiki keadaan keluarga. Impian yang dibangun sejak putera pertamanya lahir dan diberi nama Sarjana. Nama yang sarat dengan harapan.
Harapan yang sederhana itu pula yang membuat ayah Sarjana rela menjual tanah warisan keluarga demi membiayai kuliah Sarjana. Kendati puteranya bisa meraih beasiswa karena prestasi, tetap saja itu tak mampu menutupi berbagai kekurangan biaya studi dan biaya hidup. Sarjana masih harus kuliah sambil nyambi jadi loper koran.
Sisi lain dari kehidupan Sarjana itu yang membuatku merasa dekat dengannya. Aku bisa merasakan sesaknya kehidupan Sarjana yang tak jauh beda dengan kehidupanku. Sikap soliderku timbul, namun ia tak cukup mengatasi perih hidup Sarjana.
“ Besok pagi aku segera ke sana “ suara pelan Sarjana mengusik batinku
Sebulan lalu saat Sarjana dan aku berbagi cerita kehidupan, kami masih bisa saling menguatkan. Ia masih bisa tersenyum tegar mendengar saranku. Namun saat ini semua berbeda. Mendengar kisahnya, aku kehilangan kata-kata. Tak mampu memberinya saran kecuali sebuah tatapan penuh arti. Sekarang sebuah diskusi dan proses dialektika jadi mati rasa. Ia kehilangan daya dorong perubahannya dan tak berarti dalam cerita kepiluan hati.
Sarjana kini sama denganku dan puluhan juta sarjana lain yang hidup di kubangan ketidakadilan. Ia kini menjadi bagian dari objek diskusi Jumat malam dan pemeran dari kisah pilu kehidupan. Lemah dalam ketidakberdayaan terhadap sistem yang menindas.
Langit semakin gelap dan hujan makin deras mengguyur kota Jogja. Kami larut dalam kebisuan dan dinginnya hawa malam. Segelas kopi terabaikan dan kian dingin tanpa disentuh. Seandainya perihnya penderitaan sama cepatnya berlalu seperti kehangatan segelas kopi.
Yogyakarta menjelang Natal 2007
Rabu, 27 Mei 2009
Sebuah Pengalaman MAGiS
Beberapa waktu lalu saya risau. Proyek kecil saya bersama 5 orang teman untuk orang muda (PMKRI.com = Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada Camping Orang Muda), persiapannya serba terbatas. Ya terbatas orang, ya terbatas waktu, ya terbatas kesabaran.
Awalnya acara ini digagas untuk merespon curhat Mgr. Ign Suharyo dalam wawan hati di Kevikepan Semarang untuk menyambut Tahun Kaum Muda KAS 2009. Dalam acara tersebut, beliau mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya orang muda yang tidak memahami tujuan hidupnya dan tidak tahu berefleksi. Selain itu, sebagai upaya PMKRI St. Gregorius Semarang untuk mengarahkan kaum muda untuk bergerak di ranah kepemimpinan sosial seturut tema Tahun Kaum Muda Menggugah dan Mengubah Dunia.
Sebagai orang yang mengusulkan, saya diminta bantuan menangani acara. Dalam keterbatasan waktu dan beratnya tuntutan kerja, aku mulai mengumpulkan 5 orang tim dan memulai sharing bersama. Kendati demikian, berhubung 5 anak manusia ini terdiri dari 3 pekerja dan 2 mahasiswa di ujung tanduk (dituntut segera menyelesaikan skripsi), maka seluruh komitmen pun dihadang badai keterbatasan. Beberapa yang lain tidak bisa terlibat berhubung jadwal yang tidak sesuai. Waktu pelaksanaan diundur, rekan baru dicari tapi tetap saja sulit.
Seminggu menjelang hari H aku mengontak Tjoen dan menjelaskan kondisiku. Berharap akan ada yang bisa membantu dari MAGiS terutama mereka yang kemarin beruntung berangkat ke Sidney. Aku juga mengontak Sr. Iren dan meminta doa untuk persiapan acara ini. Fr. Bagus yang lagi facebook-an juga tak luput kuminta bantuan materi. Serba mendadak, serba melelahkan. Semua teman dikontak dan semua tidak menjawab. Beberapa yang sempat mengiyakan, mundur teratur karena tuntutan kampus. Hanes dan Bell gonta-ganti mengontak meminta kejelasan acara. Sampai-sampai ada konflik komunikasi antara aku dan Bella, karena carut marut komunikasi antara aku yang minta tolong dan yang hendak menolong. Ribetnya kerjaan membuatku selalu jadi lupa membalas dan menjelaskan secara rinci mengenai acara. Lagi pula memang saat itu aku sendiri belum fix dengan acara. (Bella trims udah mau mengerti).
Dua malam sebelum hari H aku tidak bisa tidur. Mempersiapkan materi yang kiranya perlu disiapkan. Jumat malam sepulang dari kantor, di Wisma Drijarkara kurancang ulang semua jadwal acara. Pusiiiing. Aku resah. Khawatir kalau acara ini hanya akan menjadi produk gagal dari mimpi-mimpi kecilku. Aku berusaha tidak menyakiti perasaan teman-teman lain dengan bersikap terlalu emosional. Aku sangat paham kalau emosiku bisa meledak setiap saat mengingat totalitas hanya milik satu dua orang teman saja (dalam pengamatanku).
Menjelang hari H, tenda-tenda terpasang dan seluruh persiapan dadakan harus dilakukan. Banyak teman tidak tahu perannya, sebagian lagi tidak mau tahu. Rasa lega sedikit muncul saat Bella dan Hanes menyatakan mereka siap meluncur ke Camping Ground Gua Maria Kerep Ambarawa. Lebih lega lagi ketika Niko Simamora yang sejak awal kubujuk datang akhirnya menyatakan diri segera datang dari Jogja. (Sempat kepikiran kalau manusia satu ini tidak datang, kontrak persahabatannya akan dikaji lagi. Heheeee).
Lalu keresahan lain pun muncul, hujan mulai turun. Wahhh, acara bisa terganggu, pikirku. Tapi dengan segala keterbatasan dan tanpa pikir panjang soal jadwal aku minta acara dimulai. Keresahan itu masih tersembunyi dibalik rambutku yang kusut.
So, acara pembukaan. Peserta dijelaskan mengenai acara, latar belakang, dan tujuannya. Tema menggugah dan mengubah dunia, Waooo!!. Para peserta masih terpaku. Kontrak belajar seluruh harta benda dan peranti teknologi berbagai merek diamankan. Peserta pun memulai acara dengan sesi mengenal Prinsip dasar rasul awam (menurut pematerinya), yang seutuh-utuhnya merupakan penjelasan mengenai azas dan dasar. Beberapa peserta bingung.
Makan malam, rehat sejenak, lalu sesi berikut perkenalan profile MAGiS dan program Ignasian-nya. Aku, Bella, Hanes, Tera dan Nino memperkenalkan keluarga kita (dua nama terakhir merupakan saudara sekandung di MAGiS09). Berikutnya kita berbagi pengalaman dan mengajak peserta belajar mengenal doa hening, examen hingga Jurnaling. Dalam hitungan jam, proses kita setahun dibagikan secara instan. Kedatangan Niko di sela perkenalan makin menambah semangat. Ia membagikan pengalaman ikut WYD.
Dalam proses doa hening, setelah sebelumnya memberi gambaran hingga sikap tubuh, Tera memandu peserta. Sepuluh menit keheningan pun dibagikan. Hasilnya beberapa peserta mulai berubah ekspresinya. Ada yang kusut, ada yang meringis karena keram, dan ada yang kebingungan. Kami menjawab beberapa pertanyaan seturut pengalaman kami.
Berikutnya kami mendampingi dalam examen para peserta dibawah gerimis tipis yang tak mau meninggalkan bumi Palagan Ambarawa. Dengan selembar kertas panduan examen dan sebuah lilin yang bernyala mereka menjalani examen.
Dari jurnaling malam itu, kami mulai melihat pengalaman masing-masing peserta. Bella sempat tersenyum sambil mengatakan kalau melihat jurnal peserta itu, ia mengingat bagaimana dulu di awal program MAGiS ia menulis. Kami tertawa. Tapi tak sedikit juga dari tulisan tersebut, sampai pada penemuan pengalaman akan Allah yang begitu dekat dengan mereka. Dua diantara jurnal yang sempat kubaca bahkan menunjukkan pergulatan penulisnya untuk melakukan rekonsiliasi dengan persoalan yang dihadapi. Ada yang dengan rendah hati menerima kenyataan dirinya.
Mengingat waktu, setelah sejenak meringankan pikiran dengan icebreaking peserta diminta istirahat secara sadar seturut kebutuhan. Rata-rata peserta hilang dan tak tahu kemana. Beberapa mulai bersiap istirahat, beberapa yang lain cari makan tengah malam, ada yang ke gua Maria, dan ada yang menuju api unggun. AKu sendiri pergi menemui beberapa pengurus PMKRI dari Jogja, Solo dan Semarang. Mereka yang haus diskusi ini tampaknya memanfaatkan momen untuk bertemu rekan seperhimpunannya, tanpa minat ikut berproses di acara. Hingga pukul setengah 3 pagi sampai akhirnya aku, Niko dan Olan terkapar di salah satu tenda yang basah dan ditinggalkan penghuninya mengungsi ke Rumah Kaca.
Beberapa jam kemudian di pukul 06 pagi, aku melihat beberapa orang yang melakukan Exodus sesuai saran di malam sebelumnya. Beberapa yang lain masih molor. Saat akan memulai outbond aku sempat menanyakan berapa peserta yang ikut eksodus. Beberapa maju kedepan menyatakan diri. Yang lain tertunduk lesu karena mengabaikan satu bagian dalam proses. Aku tetap menyemangati dan membiarkan mereka menikmati proses berikutnya.
Outbond dengan spider web game dan web ball di sungai pagi hari itu menambah suasana akrab peserta yang baru semalam saling kenal. Percikan air mengenai peserta. Satu sama lain makin larut dalam kegembiraan. Saling menyiram dengan air tak terelakkan sampai-sampai kegembiraan itu membuat salah seorang peserta pingsan. Menghindari kepanikan, seluruh peserta diminta kembali ke arena camping. Peserta yang pingsan segera diamankan dan dibantu dalam proses pemulihan. Syukurlah segera siuman. Bahkan bersama peserta lain sudah kembali bisa turut dalam examen dan jurnaling siang itu. Dalam sharing kelompok yang difasilitasi oleh rekan-rekan, tampak ketertarikan beberapa peserta mengenal lebih jauh spiritualitas yang dipelajari rekan-rekan MAGiS. Beberapa bahkan menunjukkan minat terlibat di program MAGiS berikutnya, jika tahun berikutnya ada.
Dalam misa penutup, kami memilih dua orang peserta membagikan pengalaman menjelang homili. Lista, peserta dari PMKRI Solo tak bisa menahan haru menceritakan pengalamannya. Bagaimana ia awalnya kurang memahami proses, sampai kemudian dalam Exodus dan sharing, ia mulai menyadari betapa selama ini ia begitu jauh dari Tuhan. Relasinya terasa jauh akibat kurangnya ia memberi waktu untuk menyadari relasi tersebut. Air mata haru itu membuat suasana sedikit terpengaruh. Peserta lain ada yang tertunduk. Mudahan karena merasakan hal yang sama dengan Lista.
Chandra, peserta dari komunitas mahasiswa Katolik IKIP PGRI Semarang, mengungkapkan pengalamannya dalam Exodus lebih mantap. Ia menemukan kesadaran bagaimana TUhan menemaninya setiap waktu. Ia begitu bersyukur untuk tiap peristiwa dalam hidupnya yang ia yakini selalu ditemani oleh TUhan.
Hal yang membuatku terharu adalah satu titik dimana aku tidak membayangkan peserta mampu sampai pada kesadaran itu, padahal aku sendiri mempersiapkan segala sesuatunya dalam situasi yang tidak mengenakkan dan terkesan kurang siap. Namun seperti yang kami sepakati di sharing sebelumnya bersama teman-teman MAGiS, bahwa standar kesuksesan acara kami tegaskan bila minimal 1 orang peserta bisa sampai pada penemuan dan kesadaran akan hadirnya Allah dalam peristiwa hidup mereka. Dalam misa penutup itulah kemudian aku pun dalam kebanggan hati menyadari kerendahanku. Sebab bagaimanapun bila aku sendiri tidak pernah memprediksi hasil sedemikian bagus itu, maka sekali lagi rahmat Tuhan yang telah membuat semua proses mengalir membentur jadwal yang kaku dan menemani peserta itu dalam pergulatan batin mereka.
Terima kasih Tuhan atas kesetiaan dan rahmatMu. Terima kasih rekan-rekan panitia dan Pengurus PMKRI Semarang, Tim Kecil pendampingan MAGiS (Tjoen, Bella, Hanes, Niko, Tera dan Nino). Terima kasih semua peserta.
Semoga semua ini menjadi satu langkah menuju langkah berikutnya dalam upaya menggugah dan mengubah dunia yang kian terasing. Semoga ini membuat kita semua menyadari dan selalu berupaya menjaga semangat komunitas kita, Keep MAGiS! Pro Ecclesia Et Patria!
Teriring salam dan terima kasih,
Minggu, 05 April 2009
KAMPANYE & KEBOHONGAN

Hari ini suasana Semarang riuh dengan deru motor dan pagelaran music The Changcuters di Kawasan Simpang Lima. Aku tidak peduli. Seperti kemarin Gerindra dan hari lalui PDI-P unjuk massa dalam kampanye, hari ini basis nasionalis Jawa Tengah pun disesaki ratusan mungkin ribuan motor dan ratusan angkutan roda empat lainnya.
Baru saja aku mendatangi calon klienku dan menanyakan alasan penundaan janji ketemu tadi sore. Ia sambil tersenyum mengungkapkan kalau tadi ia tengah mengikuti kampanye partai Demokrat. Usut punya usut dia mengatakn kalau ia bertugas sebagai korlap pengerah massa di daerahnya. Dua partai besar PKB dan Demokrat memakai jasanya. Imbalannya? Ia tersenyum sambil mengatakan kalau dari PKB ia mendapatkan sedikit uang dan Handphone. Untuk setiap orang yang diajak ia memberi Rp. 30.000. Padahal dari partai ia menerima lebih dari nilai tersebut perorangnya. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Sebelum membuka Facebook, kemudian di drive D komputer warnet kutemukan hasil jepretan kampanye tadi. Beberapa foto menunjukkan ramainya massa yang hadir di Kawasan Simpang Lima mengikuti kampanye putaran terakhir Demokrat di Semarang. Salah satu foto yang lain membuatku miris. (Lihat sendiri).
Aku berkesimpulan, kalau demokrasi yang sedang kita bangun ini benar-benar masih ternoda oleh kebohongan para pejabat yang katanya Berjuang Untuk Rakyat. ASTAGA NAGA!!!
Baru saja aku mendatangi calon klienku dan menanyakan alasan penundaan janji ketemu tadi sore. Ia sambil tersenyum mengungkapkan kalau tadi ia tengah mengikuti kampanye partai Demokrat. Usut punya usut dia mengatakn kalau ia bertugas sebagai korlap pengerah massa di daerahnya. Dua partai besar PKB dan Demokrat memakai jasanya. Imbalannya? Ia tersenyum sambil mengatakan kalau dari PKB ia mendapatkan sedikit uang dan Handphone. Untuk setiap orang yang diajak ia memberi Rp. 30.000. Padahal dari partai ia menerima lebih dari nilai tersebut perorangnya. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Sebelum membuka Facebook, kemudian di drive D komputer warnet kutemukan hasil jepretan kampanye tadi. Beberapa foto menunjukkan ramainya massa yang hadir di Kawasan Simpang Lima mengikuti kampanye putaran terakhir Demokrat di Semarang. Salah satu foto yang lain membuatku miris. (Lihat sendiri).

Minggu, 01 Maret 2009
PANGGUNG POLITIK MENUJU PANGGUNG HIBURAN
Perkembangan politik nasional akhir-akhir ini tampaknya menunjukkan gejala entertaint. Tidak ada pendidikan dan perkembangan politik yang mendewasakan bangsa ini lewat topic-topik media mengenai politikus kita. Layaknya panggung hiburan, dunia politik nasional pun kebanyakn menyajikan kekonyolan para politikus kita. Mulai dari kritik PDI-Perjuangan lewat Bu Mega yang terkesan lebih emosional ketimbang mengedepankan tangungjawab moralnya sebagai partai oposan untuk menunjukkan data-data mutakhir dan solusi atas kemelut persoalan bangsa ini. Demikian pula yng dikritik, pemerintahan terutama sosok SBY lebih sibuk mengurusi pamor partainya lewat iklan-iklan yang gencar dilakukan di pelbagai media nasional dan local. Klaim sukses pun diwartakan sebagai upaya mendongkrak simpati masyarakat pemilih di Pemilu 2009 mendatang. Tak hanya sampai disitu, sikap tidak dewasa yang ditunjukkan SBY lewat respon atas isu ABS dikalangan unternal TNI pun ditanggapi dengan tidak proporsional. Seolah hendak membangun opini SBY yang Terdzalimi, partai democrat dan SBY sibuk mengeluarkan statement konyol di media. Mulai dari sitiran pada para politikus untuk tidak main keroyokan hingga respon emosional terhadap isu ABS yang sebenarnya dapat digolongkan sebagai gossip, sebab tidak diketahui darimana isu itu muncul.
Hasil survey memang menunjukkan bahwa dalam Pemilu ini nanti SBY versus Mega, lagi-lagi bersaing menuju RI 1. Namun apa yang ditampilkan oleh kedua tokoh nasional ini pada akhirnya bukan tidak mungkin menyadarkan masyarakat kita tentang kekonyolan pemimpinnya dalam menyikapi soal kebangsaan dan Negara ini. Para pemimpin kini tak ubahnya comedian yang mengocok perut masyarakat kita yang tak kunjung sejahtera. Pemimpin yang menghabiskan waktu dengan sindir menyindir tanpa memikirkan krisis global dan krisis mental yang menyengsarakan rakyat.
Kejenuhan terhadap situasi ini pula pada akhirnya yang membuka ruang bagi para capres-capres alternative untuk menunjukkan kualitas dirinya pada khalayak umum. Tidak sebatas iklan namun juga tindakan konkrit menjawab berbagai soal bangsa yang akhir-akhir ini bertambah. Mulai dari korupsi, banjir, bencana alam, hingga mental kekanak-kanakan yang kian mewabah dikalangan intelektual dan pemimpin partai. Maka bagi setiap warga Negara yang memiliki hak dan kualitas diri, mari tunjukkan daya dan kualitas diri membangun bangsa ini. Tidak sebatas menjadi capres, taoi juga bias menjadi sahabat bagi yang terpinggirkan. Jabatan bagaimanapun seharusnya dipandang sebagai sarana pengabdian bagi kesejahteraan banyak orang. Bukan semata-mata tahta untuk jadi sorotan ratusan juta pasangf mata manusia Indonesia.
Perubahan segera datang. Bersiaplah sebelum kita buta terhadap perubahan!
Hasil survey memang menunjukkan bahwa dalam Pemilu ini nanti SBY versus Mega, lagi-lagi bersaing menuju RI 1. Namun apa yang ditampilkan oleh kedua tokoh nasional ini pada akhirnya bukan tidak mungkin menyadarkan masyarakat kita tentang kekonyolan pemimpinnya dalam menyikapi soal kebangsaan dan Negara ini. Para pemimpin kini tak ubahnya comedian yang mengocok perut masyarakat kita yang tak kunjung sejahtera. Pemimpin yang menghabiskan waktu dengan sindir menyindir tanpa memikirkan krisis global dan krisis mental yang menyengsarakan rakyat.
Kejenuhan terhadap situasi ini pula pada akhirnya yang membuka ruang bagi para capres-capres alternative untuk menunjukkan kualitas dirinya pada khalayak umum. Tidak sebatas iklan namun juga tindakan konkrit menjawab berbagai soal bangsa yang akhir-akhir ini bertambah. Mulai dari korupsi, banjir, bencana alam, hingga mental kekanak-kanakan yang kian mewabah dikalangan intelektual dan pemimpin partai. Maka bagi setiap warga Negara yang memiliki hak dan kualitas diri, mari tunjukkan daya dan kualitas diri membangun bangsa ini. Tidak sebatas menjadi capres, taoi juga bias menjadi sahabat bagi yang terpinggirkan. Jabatan bagaimanapun seharusnya dipandang sebagai sarana pengabdian bagi kesejahteraan banyak orang. Bukan semata-mata tahta untuk jadi sorotan ratusan juta pasangf mata manusia Indonesia.
Perubahan segera datang. Bersiaplah sebelum kita buta terhadap perubahan!
Langganan:
Postingan (Atom)