Pilihan

Rabu, 27 Mei 2009

Sebuah Pengalaman MAGiS


Beberapa waktu lalu saya risau. Proyek kecil saya bersama 5 orang teman untuk orang muda (PMKRI.com = Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada Camping Orang Muda), persiapannya serba terbatas. Ya terbatas orang, ya terbatas waktu, ya terbatas kesabaran.
Awalnya acara ini digagas untuk merespon curhat Mgr. Ign Suharyo dalam wawan hati di Kevikepan Semarang untuk menyambut Tahun Kaum Muda KAS 2009. Dalam acara tersebut, beliau mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya orang muda yang tidak memahami tujuan hidupnya dan tidak tahu berefleksi. Selain itu, sebagai upaya PMKRI St. Gregorius Semarang untuk mengarahkan kaum muda untuk bergerak di ranah kepemimpinan sosial seturut tema Tahun Kaum Muda Menggugah dan Mengubah Dunia.
Sebagai orang yang mengusulkan, saya diminta bantuan menangani acara. Dalam keterbatasan waktu dan beratnya tuntutan kerja, aku mulai mengumpulkan 5 orang tim dan memulai sharing bersama. Kendati demikian, berhubung 5 anak manusia ini terdiri dari 3 pekerja dan 2 mahasiswa di ujung tanduk (dituntut segera menyelesaikan skripsi), maka seluruh komitmen pun dihadang badai keterbatasan. Beberapa yang lain tidak bisa terlibat berhubung jadwal yang tidak sesuai. Waktu pelaksanaan diundur, rekan baru dicari tapi tetap saja sulit.
Seminggu menjelang hari H aku mengontak Tjoen dan menjelaskan kondisiku. Berharap akan ada yang bisa membantu dari MAGiS terutama mereka yang kemarin beruntung berangkat ke Sidney. Aku juga mengontak Sr. Iren dan meminta doa untuk persiapan acara ini. Fr. Bagus yang lagi facebook-an juga tak luput kuminta bantuan materi. Serba mendadak, serba melelahkan. Semua teman dikontak dan semua tidak menjawab. Beberapa yang sempat mengiyakan, mundur teratur karena tuntutan kampus. Hanes dan Bell gonta-ganti mengontak meminta kejelasan acara. Sampai-sampai ada konflik komunikasi antara aku dan Bella, karena carut marut komunikasi antara aku yang minta tolong dan yang hendak menolong. Ribetnya kerjaan membuatku selalu jadi lupa membalas dan menjelaskan secara rinci mengenai acara. Lagi pula memang saat itu aku sendiri belum fix dengan acara. (Bella trims udah mau mengerti).
Dua malam sebelum hari H aku tidak bisa tidur. Mempersiapkan materi yang kiranya perlu disiapkan. Jumat malam sepulang dari kantor, di Wisma Drijarkara kurancang ulang semua jadwal acara. Pusiiiing. Aku resah. Khawatir kalau acara ini hanya akan menjadi produk gagal dari mimpi-mimpi kecilku. Aku berusaha tidak menyakiti perasaan teman-teman lain dengan bersikap terlalu emosional. Aku sangat paham kalau emosiku bisa meledak setiap saat mengingat totalitas hanya milik satu dua orang teman saja (dalam pengamatanku).
Menjelang hari H, tenda-tenda terpasang dan seluruh persiapan dadakan harus dilakukan. Banyak teman tidak tahu perannya, sebagian lagi tidak mau tahu. Rasa lega sedikit muncul saat Bella dan Hanes menyatakan mereka siap meluncur ke Camping Ground Gua Maria Kerep Ambarawa. Lebih lega lagi ketika Niko Simamora yang sejak awal kubujuk datang akhirnya menyatakan diri segera datang dari Jogja. (Sempat kepikiran kalau manusia satu ini tidak datang, kontrak persahabatannya akan dikaji lagi. Heheeee).
Lalu keresahan lain pun muncul, hujan mulai turun. Wahhh, acara bisa terganggu, pikirku. Tapi dengan segala keterbatasan dan tanpa pikir panjang soal jadwal aku minta acara dimulai. Keresahan itu masih tersembunyi dibalik rambutku yang kusut.
So, acara pembukaan. Peserta dijelaskan mengenai acara, latar belakang, dan tujuannya. Tema menggugah dan mengubah dunia, Waooo!!. Para peserta masih terpaku. Kontrak belajar seluruh harta benda dan peranti teknologi berbagai merek diamankan. Peserta pun memulai acara dengan sesi mengenal Prinsip dasar rasul awam (menurut pematerinya), yang seutuh-utuhnya merupakan penjelasan mengenai azas dan dasar. Beberapa peserta bingung.
Makan malam, rehat sejenak, lalu sesi berikut perkenalan profile MAGiS dan program Ignasian-nya. Aku, Bella, Hanes, Tera dan Nino memperkenalkan keluarga kita (dua nama terakhir merupakan saudara sekandung di MAGiS09). Berikutnya kita berbagi pengalaman dan mengajak peserta belajar mengenal doa hening, examen hingga Jurnaling. Dalam hitungan jam, proses kita setahun dibagikan secara instan. Kedatangan Niko di sela perkenalan makin menambah semangat. Ia membagikan pengalaman ikut WYD.
Dalam proses doa hening, setelah sebelumnya memberi gambaran hingga sikap tubuh, Tera memandu peserta. Sepuluh menit keheningan pun dibagikan. Hasilnya beberapa peserta mulai berubah ekspresinya. Ada yang kusut, ada yang meringis karena keram, dan ada yang kebingungan. Kami menjawab beberapa pertanyaan seturut pengalaman kami.
Berikutnya kami mendampingi dalam examen para peserta dibawah gerimis tipis yang tak mau meninggalkan bumi Palagan Ambarawa. Dengan selembar kertas panduan examen dan sebuah lilin yang bernyala mereka menjalani examen.
Dari jurnaling malam itu, kami mulai melihat pengalaman masing-masing peserta. Bella sempat tersenyum sambil mengatakan kalau melihat jurnal peserta itu, ia mengingat bagaimana dulu di awal program MAGiS ia menulis. Kami tertawa. Tapi tak sedikit juga dari tulisan tersebut, sampai pada penemuan pengalaman akan Allah yang begitu dekat dengan mereka. Dua diantara jurnal yang sempat kubaca bahkan menunjukkan pergulatan penulisnya untuk melakukan rekonsiliasi dengan persoalan yang dihadapi. Ada yang dengan rendah hati menerima kenyataan dirinya.
Mengingat waktu, setelah sejenak meringankan pikiran dengan icebreaking peserta diminta istirahat secara sadar seturut kebutuhan. Rata-rata peserta hilang dan tak tahu kemana. Beberapa mulai bersiap istirahat, beberapa yang lain cari makan tengah malam, ada yang ke gua Maria, dan ada yang menuju api unggun. AKu sendiri pergi menemui beberapa pengurus PMKRI dari Jogja, Solo dan Semarang. Mereka yang haus diskusi ini tampaknya memanfaatkan momen untuk bertemu rekan seperhimpunannya, tanpa minat ikut berproses di acara. Hingga pukul setengah 3 pagi sampai akhirnya aku, Niko dan Olan terkapar di salah satu tenda yang basah dan ditinggalkan penghuninya mengungsi ke Rumah Kaca.
Beberapa jam kemudian di pukul 06 pagi, aku melihat beberapa orang yang melakukan Exodus sesuai saran di malam sebelumnya. Beberapa yang lain masih molor. Saat akan memulai outbond aku sempat menanyakan berapa peserta yang ikut eksodus. Beberapa maju kedepan menyatakan diri. Yang lain tertunduk lesu karena mengabaikan satu bagian dalam proses. Aku tetap menyemangati dan membiarkan mereka menikmati proses berikutnya.
Outbond dengan spider web game dan web ball di sungai pagi hari itu menambah suasana akrab peserta yang baru semalam saling kenal. Percikan air mengenai peserta. Satu sama lain makin larut dalam kegembiraan. Saling menyiram dengan air tak terelakkan sampai-sampai kegembiraan itu membuat salah seorang peserta pingsan. Menghindari kepanikan, seluruh peserta diminta kembali ke arena camping. Peserta yang pingsan segera diamankan dan dibantu dalam proses pemulihan. Syukurlah segera siuman. Bahkan bersama peserta lain sudah kembali bisa turut dalam examen dan jurnaling siang itu. Dalam sharing kelompok yang difasilitasi oleh rekan-rekan, tampak ketertarikan beberapa peserta mengenal lebih jauh spiritualitas yang dipelajari rekan-rekan MAGiS. Beberapa bahkan menunjukkan minat terlibat di program MAGiS berikutnya, jika tahun berikutnya ada.
Dalam misa penutup, kami memilih dua orang peserta membagikan pengalaman menjelang homili. Lista, peserta dari PMKRI Solo tak bisa menahan haru menceritakan pengalamannya. Bagaimana ia awalnya kurang memahami proses, sampai kemudian dalam Exodus dan sharing, ia mulai menyadari betapa selama ini ia begitu jauh dari Tuhan. Relasinya terasa jauh akibat kurangnya ia memberi waktu untuk menyadari relasi tersebut. Air mata haru itu membuat suasana sedikit terpengaruh. Peserta lain ada yang tertunduk. Mudahan karena merasakan hal yang sama dengan Lista.
Chandra, peserta dari komunitas mahasiswa Katolik IKIP PGRI Semarang, mengungkapkan pengalamannya dalam Exodus lebih mantap. Ia menemukan kesadaran bagaimana TUhan menemaninya setiap waktu. Ia begitu bersyukur untuk tiap peristiwa dalam hidupnya yang ia yakini selalu ditemani oleh TUhan.
Hal yang membuatku terharu adalah satu titik dimana aku tidak membayangkan peserta mampu sampai pada kesadaran itu, padahal aku sendiri mempersiapkan segala sesuatunya dalam situasi yang tidak mengenakkan dan terkesan kurang siap. Namun seperti yang kami sepakati di sharing sebelumnya bersama teman-teman MAGiS, bahwa standar kesuksesan acara kami tegaskan bila minimal 1 orang peserta bisa sampai pada penemuan dan kesadaran akan hadirnya Allah dalam peristiwa hidup mereka. Dalam misa penutup itulah kemudian aku pun dalam kebanggan hati menyadari kerendahanku. Sebab bagaimanapun bila aku sendiri tidak pernah memprediksi hasil sedemikian bagus itu, maka sekali lagi rahmat Tuhan yang telah membuat semua proses mengalir membentur jadwal yang kaku dan menemani peserta itu dalam pergulatan batin mereka.
Terima kasih Tuhan atas kesetiaan dan rahmatMu. Terima kasih rekan-rekan panitia dan Pengurus PMKRI Semarang, Tim Kecil pendampingan MAGiS (Tjoen, Bella, Hanes, Niko, Tera dan Nino). Terima kasih semua peserta.
Semoga semua ini menjadi satu langkah menuju langkah berikutnya dalam upaya menggugah dan mengubah dunia yang kian terasing. Semoga ini membuat kita semua menyadari dan selalu berupaya menjaga semangat komunitas kita, Keep MAGiS! Pro Ecclesia Et Patria!

Teriring salam dan terima kasih,

Minggu, 05 April 2009

KAMPANYE & KEBOHONGAN



Hari ini suasana Semarang riuh dengan deru motor dan pagelaran music The Changcuters di Kawasan Simpang Lima. Aku tidak peduli. Seperti kemarin Gerindra dan hari lalui PDI-P unjuk massa dalam kampanye, hari ini basis nasionalis Jawa Tengah pun disesaki ratusan mungkin ribuan motor dan ratusan angkutan roda empat lainnya.
Baru saja aku mendatangi calon klienku dan menanyakan alasan penundaan janji ketemu tadi sore. Ia sambil tersenyum mengungkapkan kalau tadi ia tengah mengikuti kampanye partai Demokrat. Usut punya usut dia mengatakn kalau ia bertugas sebagai korlap pengerah massa di daerahnya. Dua partai besar PKB dan Demokrat memakai jasanya. Imbalannya? Ia tersenyum sambil mengatakan kalau dari PKB ia mendapatkan sedikit uang dan Handphone. Untuk setiap orang yang diajak ia memberi Rp. 30.000. Padahal dari partai ia menerima lebih dari nilai tersebut perorangnya. Aku hanya tersenyum mendengar penuturannya.
Sebelum membuka Facebook, kemudian di drive D komputer warnet kutemukan hasil jepretan kampanye tadi. Beberapa foto menunjukkan ramainya massa yang hadir di Kawasan Simpang Lima mengikuti kampanye putaran terakhir Demokrat di Semarang. Salah satu foto yang lain membuatku miris. (Lihat sendiri).
Aku berkesimpulan, kalau demokrasi yang sedang kita bangun ini benar-benar masih ternoda oleh kebohongan para pejabat yang katanya Berjuang Untuk Rakyat. ASTAGA NAGA!!!

Minggu, 01 Maret 2009

PANGGUNG POLITIK MENUJU PANGGUNG HIBURAN

Perkembangan politik nasional akhir-akhir ini tampaknya menunjukkan gejala entertaint. Tidak ada pendidikan dan perkembangan politik yang mendewasakan bangsa ini lewat topic-topik media mengenai politikus kita. Layaknya panggung hiburan, dunia politik nasional pun kebanyakn menyajikan kekonyolan para politikus kita. Mulai dari kritik PDI-Perjuangan lewat Bu Mega yang terkesan lebih emosional ketimbang mengedepankan tangungjawab moralnya sebagai partai oposan untuk menunjukkan data-data mutakhir dan solusi atas kemelut persoalan bangsa ini. Demikian pula yng dikritik, pemerintahan terutama sosok SBY lebih sibuk mengurusi pamor partainya lewat iklan-iklan yang gencar dilakukan di pelbagai media nasional dan local. Klaim sukses pun diwartakan sebagai upaya mendongkrak simpati masyarakat pemilih di Pemilu 2009 mendatang. Tak hanya sampai disitu, sikap tidak dewasa yang ditunjukkan SBY lewat respon atas isu ABS dikalangan unternal TNI pun ditanggapi dengan tidak proporsional. Seolah hendak membangun opini SBY yang Terdzalimi, partai democrat dan SBY sibuk mengeluarkan statement konyol di media. Mulai dari sitiran pada para politikus untuk tidak main keroyokan hingga respon emosional terhadap isu ABS yang sebenarnya dapat digolongkan sebagai gossip, sebab tidak diketahui darimana isu itu muncul.
Hasil survey memang menunjukkan bahwa dalam Pemilu ini nanti SBY versus Mega, lagi-lagi bersaing menuju RI 1. Namun apa yang ditampilkan oleh kedua tokoh nasional ini pada akhirnya bukan tidak mungkin menyadarkan masyarakat kita tentang kekonyolan pemimpinnya dalam menyikapi soal kebangsaan dan Negara ini. Para pemimpin kini tak ubahnya comedian yang mengocok perut masyarakat kita yang tak kunjung sejahtera. Pemimpin yang menghabiskan waktu dengan sindir menyindir tanpa memikirkan krisis global dan krisis mental yang menyengsarakan rakyat.
Kejenuhan terhadap situasi ini pula pada akhirnya yang membuka ruang bagi para capres-capres alternative untuk menunjukkan kualitas dirinya pada khalayak umum. Tidak sebatas iklan namun juga tindakan konkrit menjawab berbagai soal bangsa yang akhir-akhir ini bertambah. Mulai dari korupsi, banjir, bencana alam, hingga mental kekanak-kanakan yang kian mewabah dikalangan intelektual dan pemimpin partai. Maka bagi setiap warga Negara yang memiliki hak dan kualitas diri, mari tunjukkan daya dan kualitas diri membangun bangsa ini. Tidak sebatas menjadi capres, taoi juga bias menjadi sahabat bagi yang terpinggirkan. Jabatan bagaimanapun seharusnya dipandang sebagai sarana pengabdian bagi kesejahteraan banyak orang. Bukan semata-mata tahta untuk jadi sorotan ratusan juta pasangf mata manusia Indonesia.
Perubahan segera datang. Bersiaplah sebelum kita buta terhadap perubahan!

Sabtu, 28 Februari 2009

Tahun Kaum Muda 2009 dan Generasi Mahasiswa KKN

Tahun 2009 merupakan masa yang diberi khusus oleh Keuskupan Agung Semarang bagi Kaum Muda. Tahun Kaum Muda, demikian kira-kira kita menyebutnya. Sebuah bentuk perhatian, keprihatinan, dan harapan bagi gereja muda yang kelak akan menjadi wajah gereja dan Kristus yang hadir ditengah dunia.
Kaum muda Katolik tidak statis dan terpusat pada satu ruang dan waktu. Kaum muda tersebar di ranah pendidikan, budaya, social, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Setiap saat melahirkan generasi baru yang selayaknya siap menopang aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mahasiswa katolik adalah satu bagian penting yang tak boleh dilupakan dalam konteks kaum muda katolik. Dalam sejarahnya, mahasiswa katolik telah menyumbangkan perannya secara signifikan dalam sejarah panjang bangsa ini. Melalui PMKRI yang lahir di tahun 1947 di Yogyakarta, telah banyak kader mahasiswa katolik menjadi ujung tombak perubahan tatanan masyarakat kita. Semua itu adalah catatan sejarah kendati sumbangan yang besar itu kian hari kian redup oleh karena tergerusnya minat dan panggilan untuk berpartisipasi dalam upaya perubahan bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik ; adil, berprikemanusiaan, dan sejahtera.

Generasi KKN
Mahasiswa adalah agen perubahan. Demikian kata aktivis dan banyak kalangan untuk menunjukkan sisi positif panggilan dan perjuangan mahasiswa dalam pelbagai persoalan bangsa ini.
Benarkah demikian?
Dalam catatan sejarah perjuangan gerakan kemahasiswaan demikianlah memang adanya. Tidak sedikit mahasiswa yang mengorbankan waktu, tenaga, harta, bahkan nyawanya untuk bisa mendorong terjadinya perubahan. Perubahan atas pemerintahan yang otoriter, sistem yang bobrok, sikap represif dan pelbagai bentuk ketidakadilan lainnya yang berlangsung dalam banyak aspek kehidupan kita.
Namun bila kita melihat realita sosial sekitar kita, di dalam lingkungan kita sendiri sebagai mahasiswa, jauh lebih banyak mahasiswa dalam ketidaksadarannya justeru menjadi agen perubahan yang membuat masyarakat dan bangsa kita terperosok. Secara tidak langsung, mahasiswa dalam rantai panjang persoalan bangsa ini justeru meneruskan budaya dan pola pikir “titipan” yang pada akhirnya mendestruksi tatanan keadilan yang telah dengan susah payah diperjuangkan oleh sebagian rekan mereka.
Mahasiswa pula yang menjadi agen yang merubah tatanan masyarakat, norma dan moral budaya secara terbalik akibat derasnya arus informasi yang tidak mampu dipilah lewat pelbagai media yang kian marak. Mahasiswa menjadi korban budaya pop barat yang sebenarnya tidak siap untuk diserap, diserang lewat pelbagai media dalam ruang dan waktu yang berbeda. Seolah tanpa itu semua, mahasiswa menjadi pribadi yang tidak bebas dan menemukan jatri dirnya. Tidak merasa Gue Banget tanpa menggunakan busana model terbaru dan merek ternama, makan di resto-resto Amerika, clubbing, dan aktivitas lain yang selaras dengan gaya hidup kaum muda pop di barat.
Mahasiswa model ini adalah kita yang lebih pantas disebut sebagai Generasi Mahasiswa KKN. Generasi yang taunya hanya Kuliah, Kos, dan Nongkrong. Seluruh aktivitas dan ruangnya tidak pernah jauh dari tiga hal tersebut. Kuliah diapandang sebagai satu syarat menjadi manusia ber-gelar, Kos sebagai ruang aktualisasi sikap individualisme diri, dan Nongkrong menjadi satu ritual baru dimana sikap hedon diwujudkan dengan kesenangan.
Mahasiswa generasi KKN adalah perwujudan oposisi kuat terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri. Secara kasat mata, mahasiswa justeru berperang melawan dirinya sendiri. Hal inilah yang menggerogoti tubuh besar gerakan kemahasiswaan. Melemahkan dan meracuni strukur perjuangan kaum intelektual kampus. Mahasiswa kemudian harus bertarung pada medan kampus dengan wacana mereka sendiri. Bertarung untuk membuktikan sikap mana yang lebih penting dan utama. Pada titik ini mahasiswa kehilangan fokus peran dan tanggungjawabnya sebagai elemen penting bangsa ini.

Satu Hulu Beda Muara
Bila gerakan mahasiswa yang kian lemah itu masih memiliki bentuk dan terstruktur pada titik yang sama, maka sebaliknya mahasiswa generasi KKN secara sporadis tersebar disetiap ruang. Menjadi yang dominan pada setiap ruang. Kendati tanpa komando, toh mahasiswa generasi KKN adalah mahasiswa yang oleh ketidaksadarannya berpengaruh besar dalam memperlemah posisi rekannya di gerakan kemahasiswaan. Dan hal ini jelas menguntungkan penguasa dan pengusaha yang sepanjang sejarah kerap menjadi sasaran kritik intelektual kampus dan gerakan kemahasiswaan.
Memang tidak terlalu tepat membagi karakteristik mahasiswa hanya pada mereka yang suka memperjuangkan visi kebangsaannya lewat gerakan mahasiswa dan mereka yang bersikap apatis dan memilih menjalani hidup tanpa kepedulian besar akan dinamika sosial kemasyarakatan. Kendati demikian ini adalah pembacaan yang dalam hemat penulis berlangsung dalam kurun waktu terakhir ini.
Memang kedua karakter itu berada dalam tubuh yang sama. Mahasiswa memang adalah manusia kampus yang hidup dalam ruang yang sama namun bergerak menuju suatu ruang yang berbeda. Bila arah gerakan kemahasiswaan diliaht dari sikap memperjuangkan dan menyatakan visinya di setiap aktivitas gerakan, maka berbeda dengan mahasiswa generasi KKN. Tidak ada yang mempu memahami dan memprediksi secara utuh visi dan mimpi mereka. Tidak ada yang mampu memahami secara utuh hendak kemana generasi ini. Mahasiswa pada akhirnya berada pada keadaan satu hulu beda muara.

Membangun Ruang bagi Kesadaran
Tidaklah bijak saat melakukan klaim sepihak atas sebuah masalah yang dihadapi bersama. Gerakan mahasiswa menuding pilihan lain diluar mereka sebagai sebuah posisi yang tidak cerdas, sementara sebaliknya generasi mahasiswa KKN memandang pilihan di gerakan adalah kesia-siaan.
Situasi ini justeru yang melemahkan tidak hanya gerakan mahasiswa maupun generasi mahasiswa KKN ini tetapi juga proses perubahan yang selalu diimpikan seluruh elemen bangsa ini. Sama sekali tidak produktif terhadap laju gerakan kemahasiswaan yang memimpikan sebuah bangsa yang adil dan sejahtera.
Adalah lebih baik dan hemat energi ketika setiap elemen gerakan mahasiswa membangun ruang yang lebih besar dan mampu membawa mahasiswa generasi KKN untuk sampai pada kesadaran mereka atas panggilan dan peran di dalam masyarakat. Membangun ruang yang edukatif dan dialogis untuk menunjukkan dampak ketidakpedulian kita terhadap situasi genting bangsa ini yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan soal-soal baru. Sinergi antar gerakan, komunitas, maupun pers mahasiswa adalah satu dari sekian banyak pilihan dari amunisi terakhir peperangan melawan kapitalisme global yang diproteksi oleh regulasi yang tidak memihak rakyat. Regulasi yang dipermainkan demi keuntungan oleh pemerintahan yang antipati terhadap kebutuhan rakyat dan bangsa ini.
Demikian halnya mahasiswa generasi Kuliah, Kos, dan Nongkrong untuk mulai menyadari banyak hal dalam dirinya yang mampu mengubah hidup banyak orang. Bahwa setiap mahasiswa adalah intelektual kampus yang memiliki keunikan sendiri untuk disumbangkan dalam perjuangan melawan pembodohan yang terjadi justeru di lingkungan pendidikan kita.
Dengan demikian secara khusus mahasiswa katolik yang hidup disetiap kampus dapat menghidupi semangat yang disuarakan oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2005 dalam rangka membangun habitus baru. Rada mirip dengan seruan Yesus dalam kisah dimana Sang Guru membangkitkan anak muda di Nain (Luk.7:11-17). Maka kaum muda katolik, khususnya mahasiswa katolik, mari bersama menyadari keberadaan dan peran diri terhadap gereja dan bangsa. Bangkit dan bergeraklah.

Semoga pada akhirnya mahasiswa katolik Indonesia bersatu tidak hanya menjadi laskar pelangi, tepai juga menjadi laskar pembaharu!!

Wassalam!

Thomas sembirinK
Anggota PMKRI Cabang Yogyakarta St. Thomas Aquinas
Email n FS : sembirink86@yahoo.co.id
Facebook : sembirink@lycos.com
Weblog : http://sembirink.wordpress.com

Jumat, 30 Januari 2009

Kaum Muda IKKSU


Kaum Muda Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara di Semarang
(Generasi Pewaris Negeri)