“Human rights are not only violated
by terrorism, repression or assassination, but also by unfair economic
structures that creates huge inequalities” Pope
Francis, The Guardian
Pada
tahun 2009 Paus Fransiskus yang masih menjadi seorang Kardinal mengecam
pemerintahan Néstor Kirchner, suami Presiden Argentina saat ini Cristina
Fernández de Kirchner. Kecaman itu tak lain disebabkan oleh kesenjangan yang
semakin melebar di negara Amerika Latin tersebut. Perekonomian menunjukkan
gejala ketidakadilan dimana kaum miskin semakin jauh dari hak-haknya untuk
mendapatkan kesejahteraan. Pernyataannya tersebut sempat menjadi tajuk utama
pemberitaan di negara tersebut. Paus yang hidup dengan satu paru-paru ini
mengecam kebijakan rezim yang berlangsung dengan menyebutnya sebagai sebuah
tindakan yang tidak bermoral dan tidak adil.
Beberapa
tahun dari peristiwa tersebut, Jesuit yang bersahaja itu menjadi salah satu
pemimpin gereja yang fenomenal. Sikapnya yang luwes dan tidak terjebak oleh
protokoler kepausan telah mengundang mata dunia pada tahta suci di Roma yang
tengah menghadapi berbagai tantangan. Sekarang dimana Paus Fransiskus berdiri
sebagai pemimpin, tanpa segan ia melakukan otokritik juga terhadap
praktik-praktik ketidakadilan yang berlangsung dalam tubuh gereja yang
dicintainya. Beberapa langkah penting dan pesannya secara lugas menunjukkan
hasratnya untuk membawa gereja secara lebih nyata menjadi bagian dari solusi
persoalan ketidakadilan dunia.
Persoalan
ketidakadilan dalam wilayah ekonomi memang telah menjadi sebuah isu panjang
dalam sejarah peradaban. Isu ini bahkan telah melahirkan pemikiran-pemikiran
yang saling bertarung dan melahirkan tokohnya masing-masing. Pertarungan antara
kaum borjuis dibawah semangat kapitalisme global dan kaum proletar dengan gerakan
sosialisme sampai detik ini masih berlanjut. Pada titik ini kita paham bahwa
dunia sepenuhnya masih berada dalam gejolak ketidakadilan yang kadang
menimbulkan gesekan bahkan perang.
Dalam
konteks hidup kita di Indonesia, kita melihat ironi yang sama. Ironi dimana
negeri yang
berdiri diatas kekayaan alam yang luar biasa masih terjebak dalam
ketidakadilan ekonomi. Lebih dari itu mentalitas korup yang merasuki sistem dan
kebijakan turut melanggengkan kemiskinan di usia republik yang telah memasuki tahun
ke 68. Korupsi dan permainan busuk di balik kebijakan ekonomi telah menempatkan
rakyat sebagai pihak yang harus menanggung beban. Sementara itu banyak politisi
yang menjadi pemegang mandat di pemerintahan pun tampaknya lebih banyak
menempatkan kepentingan golongan dan partainya diatas kepentingan masyarakat
yang lebih luas.
Semangat
keadilan sosial sebagai salah satu dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang
tegas dinyatakan dalam Pancasila dan dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 pun tak
lepas dari sabotase kepentingan pihak tertentu. Kita bisa melihat semangat
mengelola kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat sesungguhnya
sampai detik ini belum lagi menunjukkan wujudnya. Melalui berbagai cara
kepentingan “invisible hand” menggerogoti
dan memanfaatkan mental korup dari sebagian politisi kita. Pancasila itu
sendiri dibiarkan layu tanpa berkembang ditengah menguatnya arus
fundamentalisme yang secara terang-terangan menyerangnya.
Sebagian
dari kita barangkali melihat fakta ini sebagai sebuah realitas biasa. Sebab
puluhan tahun kita membiasakan diri dengan kondisi yang sebenarnya tidak adil.
Kita telah terbiasa dengan sistem dan struktur ekonomi yang timpang tanpa mampu
bertindak signifikan. Sebagian besar lagi dari kaum muda kita bahkan apatis
menghadapi situasi ini dan memilih untuk tidak memikirkannya. Namun pada
akhirnya situasi ketidakadilan ini akan semakin tampak dalam wajah yang lebih
mengerikan bila kaum muda Indonesia sebagai pewaris masa yang akan datang tidak
juga membangun keterlibatannya.
Kritik
tajam Paus Fransiskus terhadap ketidakadilan ekonomi sebagai sesuatu yang tidak bermoral mesti menjadi salah satu refleksi kita. Bagaimanapun perekonomian yang
juga dipengaruhi oleh kebijakan politik mesti mendorong kita untuk semakin
kritis terhadap isu ketidakadilan ini. Semakin menguatnya apatisme terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan isu sosial, ekonomi dan politik akan makin
menguatkan cengkeraman monster ketidakadilan dalam kehidupan kita. Kita perlu
membangun aksi yang lebih dari sekadar mengeluhkan kenaikan harga barang
–barang kebutuhan hidup maupun mahalnya biaya pendidikan. Kita perlu membangun sikap mawas diri dan
keterlibatan dalam setiap hal yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Bagi
mereka yang merasa peduli dengan isu keadilan sosial namun alergi terhadap
keterlibatan dalam politik, sekali lagi kita perlu bersikap jernih. Sebab
seluruh ketidakadilan sosial dan ekonomi yang berlangsung di republik ini
dipengaruhi oleh kekuatan politik. Berkaitan dengan ini Paus Fransiskus itu
sendiri pernah berkata “Politics is a
noble activity. We should revalue it, practise it with vocation and a
dedication that requires testimony, martyrdom, that is to die for the common
good”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar