Pilihan

Selasa, 07 Februari 2012

REFLEKSI PAGI DI TOILET

Sebuah Refleksi Pagi di Toilet:
1328664398562775769Saya pernah percaya dalam hidup saya bahwa ada seorang sahabat dan saya anggap saudara yang akan benar-benar menjadi mitra perjuangan saya. Ketika tahun memaksa saya dan dia harus memilih jalur karya, sebuah ritme yang dulu terbangun untuk bisa mengatakan “kamu sahabatku”, hilang tergerus waktu. Beberapa tahun kemudian saat bertemu, kami masih bersahabat dan bersaudara, tapi entah mengapa saya merasakan bahwa jiwa persahabatan itu terkesan hilang.

Pernah pula suatu ketika saya hidup di suatu tempat belajar, bergabung bersama komunitas yang saya kira adalah saudara saya. Komunitas mumi yang hidup segan mati tak mau ini benar-benar terasa hilang jiwanya. Bersama mereka yang tersisa, saya mencoba menyemangati dan membagikan diri lewat waktu, pemikiran, tenaga, dan terlebih uluran persahabatan saya. Tidak sampai setahun ada tanda-tanda kehidupan baru mulai muncul disana kendati belum sepenuhnya bangkit. Tahun berganti saat saya harus pindah ke kota lain melanjutkan studi. Suatu ketika saya mengkritik seorang pribumi dari komunitas itu karena sikap inkonsisten dan tindakannya yang cenderung mengorbankan yang lain. Apa yang muncul? Reaksi dan sentimen korps dari komunitas itu muncul. Teman yang dulu kesulitan dan saya topang serta saya anggap sahabat dan saudara, berbalik menuding saya sebagai pencari kambing hitam karena dianggap mengkritik temannya. Saya bertanya pada diri saya sendiri. Lalu saya selama sekian tahun ini dianggap apa?
Ilusi saya tentang persahabatan ternyata hanya ruang kosong yang tidak pernah tampak wujudnya.

Lain peristiwa lagi, saya pernah percaya pula pada kapasitas intelektual seorang aktivis sosial di kampung halaman saya. Ia begitu bergairah mendoktrinkan pemikirannya pada banyak generasi baru dan muda. Kadang ia bicara kondisi bangsa yang sakit dan realitas penindasan dengan mempertanyakan moralitas para pemimpin bangsa. Saya begitu percaya ia begitu punya integritas dan moralitas sampai ketika saya sendiri membuktikan keraguan teman yang mempertanyakan moralitasnya. Saat sudah berumah tangga, saya menyaksikan sendiri kemesraannya dengan seorang WIL di ruang publik dan lucunya itu pun terjadi di ruang sempit tempat sosialita muda selalu beronani wacana.

Nah, ini cerita lain di layar TV. Saat dulu sering bermunculan iklan yang mengatakan TIDAK pada KORUPSI. Banyak kita percaya bahwa mereka yang tampil mempesona dan menawan dalam iklan tersebut karena jejak rekam dan kemudaannya bakal mampu melawan korupsi. Ketika kemudian akhir-akhir ini di Media Massa, bintang iklan tersebut muncul dalam status sebagai tersangka kasus KORUPSI. Kita serentak mengatakan padanya TIDAK (Pada Korupsi ENtah Kita Bilang Apa?).

Kepercayaan pribadi atau publik ternyata mudah terpedaya oleh situasi dan kondisi. Merenungkan beberapa peristiwa dan merangkainya di toilet saat meeting dengan pikiran liar, saya mengenang petuah seorang Romo ‘emeritus’ yang berkata,

“Jangan percaya pada APA atau SIAPA, sebelum kamu punya bukti atas bagian lain yakni BAGAIMANA, DIMANA, dan KENAPA”

Dalam refleksi pagi di toilet itu saya buang sial untuk menghindarkan saya dari kesialan karena kepercayaan yang terpedaya. Fyuhhh … Buang sial yang melegakan …

Toilet Kos - Yogyakarta, 08 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar