Pilihan

Jumat, 07 Desember 2007

REFLEKSI ROHANI

JADILAH KEHENDAKMU (?)


Seorang ibu baru saja membaca perikop mengenai kepasrahan Maria pada rencana Allah. Setelah sekian tahun ia kerap mencoba berdoa dengan cara yang sama seperti Maria, kegelisahan tetap hinggap dalam dirinya. Ia tidak menemukan kebahagiaan dalam doa demikian itu dan tidak merasakan seutuhnya makna kepasrahan itu. Selanjutnya ...

Kita sebagai seorang katolik yang hidup di dalam berbagai persoalan dewasa ini kerap berlaku seperti si ibu. Kita kecewa pada Allah karena tak kunjung hadir membawa kelegaan dalam hidup. Setelah sekian lama berkanjang dalam hidup doa dan mengucapkan doa “terjadilah kehendak-Mu”, kita masih saja resah dan ragu akan kehendak baik Allah dalam hidup kita.

Penulis pun kiranya demikian dalam tahun-tahun yang penuh ketidakpastian. Awalnya doa ini mulai saya gunakan saat melihat moto panggilan seorang imam SVD yang berkarya di satu paroki di Aceh Tenggara. Tampaknya indah menggunakan kata-kata Maria sebagai sebuah ungkapan doa dalam hidup sehari-hari. Demikian saya menggunakan doa ini kerap kali dalam kehidupan sehari hari.

Beberapa tahun berselang, satu kali hadirlah kegelisahan hidup yang tak terungkapkan. Saya seperti merasa ditinggalkan. Saya berpikir bahwa dengan doa kepasrahan mestinya Tuhan menunjukkan rencana baiknya dalam kehidupan saya. Tapi dalam kenyataannya saya merasa bahwa Tuhan urung juga menunjukkan jalan itu. Dalam hitungan hari saya merasa bahwa harapan saya akan pertolongan-Nya mulai pudar. Ada rasa sesak dan perasaan ditinggalkan menyeruak dalam batin saya.

Kegelisahan dan ketidaknyamanan hidup membuat saya sedikit berpaling. Hidup rohani saya mengalami kemerosotan dan keraguan saya akan pemeliharaan Allah semakin besar. Semua berlangsung cukup lama dan itu adalah masa-masa desolasi yang membuat saya makin jenuh dalam memandang kehidupan. Doa kepasrahan pun berganti dengan tuntutan akan perhatian dari Allah. Sikap menuntut membuat saya seolah tidak peduli lagi pada rencana Allah yang penuh misteri.

Hubungan dengan Allah yang kian hari tampak tak mesra berlangsung hingga suatu ketika jawaban itu mulai muncul. Rencana indah telah lalu, berganti dengan kepenuhan syukur. Ia menjawab doa sekalipun saya telah begitu pesimis dan ragu akan cinta yang diberikanNya. Seketika itu saya terdiam dalam permenungan dan mulai menggali lagi masa-masa desolasi itu.

Astaga. Dalam permenungan ujung malam itu saya tertunduk lemah dan dipenuhi rasa bersalah. Selama sekian tahun dalam hidup, saya mengatakan pada Dia, “Jadilah Kehendak-Mu”. Tapi pada kenyataannya selama sekian tahun itu pula saya bertindak egois. Doa itu bukanlah benar-benar doa sebab saya mengungkapkannya sejadinya dan berharap kehendak Allah terjadi sesuai dengan apa yang saya pikirkan. Saya menemukan kecenderungan hati dan pikiran saya yang mengendalikan Allah dengan kamuflase doa kepasrahan. Ego yang begitu besar membuat saya menuntut Allah berkehendak sesuai kehendak saya.

Sekian waktu dalam permenungan itu, kesadaran baru mulai bersemi. Saya tahu bahwa kepasrahan tanpa diikuti sikap hati yang seutuhnya pasrah adalah sebuah tindakan egois dan mengabaikan peran Allah. Alih-alih berdoa, kenyataannya saya tengah mengarahkan keinginan saya sebagai suatu kehendak Allah.

Jawaban yang begitu menyentuh akan doa ternyata pada akhirnya muncul dari Allah melalui dinamika kehidupan. Jawaban yang merupakan perwujudan kasih Allah. Sekalipun kita menuntut berbagai macam hal dengan mengatasnamakan nama-Nya, Ia tiada marah dan tetap memberi melalui jalan yang sulit dibayangkan. Pada akhirnya, Ia tetaplah sosok seorang Bapa yang dengan penuh gembira menyambut kesadaran diri kita di gerbang pintu kasihNya. Ia sabar dalam ketidaksabaran kita dan menunjukkan diriNya sebagai Allah dan Bapa bagi kita.