“Saat pikiran merasa tak ada lagi jalan
keluar, pilihan akhir adalah masuk lebih dalam ke titik persoalan. Menyelami
lebih jauh kerumitan logis dan tekanan emosional dengan tetap PERCAYA bila DIA
setia. Berdialog sejenak bersama Paulo Coelho. BE MAGiS!”
Aku masih berada di kamar kos yang baru kutempati sepekan
belakangan ini. Ruang baru yang harus kutempati, untuk memperhalus kata
terpaksa oleh keadaan dan keterbatasan keuangan. Pikiranku tidak keluar seperti
biasa. Seperti aku menjebak diriku di ruang kamar ini, pikiranku yang
membebaskan pun enggan keluar juga cangkangnya.
Terlintas dalam pikiranku, sekali lagi di dalam pikiran,
perkara-perkara yang kulewati dalam 2 hari belakangan. Sabda pada Jumat pertama
di Kapel Bellarminus kemarin teringat jelas tentang kesetiaan pada perkara
kecil dan perkara besar. Lalu ingatan akan materi kuliah yang kuberikan pada
satu kelas dimana aku memberikan asistensi. Materi yang mengulas tentang
pemujaan berhala baru dalam rupa teknologi. Pertengkaran berulang dengan
seseorang yang kukasihi semalam dan yang paling sulit kukeluarkan dari labirin
pikiranku adalah skripsi.
Menyelam bersama Paulo Coelho yang baru kuawali sepekan ini
kulanjutkan kembali setelah Gunung Kelima menjadi penutup sebelum tidur malamku
kemarin. Entah mengapa penyelaman ini menguatkan keyakinanku pada bagian akhir
yang menguat dalam pikiranku. Skripsi, skripsi, dan skripsi. Ini menjadi
semacam mainstream yang mempengaruhi tindakan dan cabang pikiran lainnya. Maka
kuputuskan
menyelam lebih jauh dan dalam penyelaman ini aku menemukan beberapa hal.
menyelam lebih jauh dan dalam penyelaman ini aku menemukan beberapa hal.
Setia dalam Perkara Kecil
Bagian pertama penemuanku adalah ketidaksetiaanku pada
perkara kecil yang berkaitan dengan skripsi. Oleh berbagai alasan, mulai dari
keuangan yang hancur berantakan, kondisi keluarga yang menggerogoti pikiran,
laptop yang hilang disusul flashdisknya yang ketinggalan karena malam
melelahkan, hingga tugas-tugas kuliah lain yang tidak terselesaikan. Semua
alasan ini telah membuatku lupa pada hal utama yang harusnya kulakukan yaitu
mengambil waktu hening dan berefleksi untuk menumbuhkan daya tahan pikiran.
Seluruh alasan itu akhirnya menyerang karena aku tidak setia melatih daya tahan
pikiranku lewat keheningan. Aku mengabaikannya dan mengambil jarak panjang
dengan mengambil aktivitas lain yang sesungguhnya tidak berkaitan dengan usaha
menumbuhkan minat pada referensi bacaan yang membantuku melanjutkan kembali
skripsi yang terbengkalai.
Maka semuanya hadir menjadi akumulasi pikiran yang
mengguncang saat aku sadari bahwa langkah kecil yang kutempuh mengabaikan poin
penting dari sebuah perjuangan menyelesaikan skripsi. Fokus dan kendali atas
pikiran.
Berhala Teknologi
Ini adalah bagian kedua yang kutemukan pada tingkat
kedalaman yang lain. Buah-buah dari kemajuan teknologi telah menjadi salah satu
pelarian terbaikku dari seluruh himpitan pikiran yang menyesakkan kepala. Sebagai
sebuah sarana, aku tidak menggunakannya untuk mencapai tujuan. Aku justeru
menikmatinya tanpa menetapkan tujuan. Saat itu terjadi, kesempatan mengajar
mahasiswaku tentang bentuk-bentuk berhala masa kini justeru membuatku belajar.
Aku sedang menikmati sarana teknologi dan mengabaikan bahwa aku telah larut dan
cenderung lekat padanya. Sebuah bentuk lain dari keterikatanku pada berhala
masa kini.
Maka saat melalui sarana teknologi lain pula aku menikmati
suguhan Film, aku menemukan sebuah dialog tentang jalan keluar. Pada salah satu
adegan dalam Film di satu stasiun swasta, seorang figur bapak bertanya pada
anaknya tentang pilihan yang harus diambil saat tidak ada lagi jalan keluar
untuk sebuah masalah. Si anak sembari memandang ayahnya mengatakan pilihan lain
itu, yakni kembali mencari jalan masuk lebih dalam ke masalah yang dihadapi.
Itu pula yang akhirnya kulakukan dengan mengurung diri dalam kegelapan kamar, mengamati
pikiran dan menyelaminya untuk melihat apa yang terjadi denganku. Bagian ini
adalah salah satu hal yang kutemukan di dalamnya.
Ketegangan Emosional
Seperti pertanyaan, manakah yang lebih dulu. Ayam atau
telur. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah kendala skripsi yang membuatku
menjadi sangat emosional atau tumpukan emosi yang membuatku terkendala pada
skripsi. Rasanya tak penting untuk mencari jawabannya. Lebih dari itu yang
jelas aku menerima diri bahwa aku sedang dalam kondisi yang sangat emosional.
Semua dibentuk dari peristiwa yang berada di belakangku dan ketidakmampuanku
mengendalikan pikiran. Hal ini membuatku harus menerima bahwa aku membangun
kendala sendiri atas skripsi yang memang harus kumulai lagi setelah sempat
mandeg karena peristiwa kehilangan sebelumnya.
Ketegangan emosional yang kulihat dalam penyelaman kali ini menimbulkan penyesalan atas pertengkaran kecil yang terjadi semalam. Lebih tepat sebenarnya pertengkaran dengan diriku sendiri yang harus menimbulkan korban dari pihak lain di luar diriku.
Pada titik penyelaman ini sesungguhnya aku menemukan dialog
yang menarik dalam kisah Gunung Kelima. Pembelajaran dari kisah jatuh bangun
Elia yang terpuruk di Kota Akbar setelah diluluhlantakkan oleh pasukan Bangsa
Asyur. Bagaimana akhirnya setelah pergulatan melawan Tuhan, si Nabi yang galau
akhirnya bangkit melawan keterpurukan. Menata kembali dan membangun reruntuhan
Kota Akbar menjadi kehidupannya sendiri hingga akhirnya Tuhan memberi
kepercayaan padanya untuk melanjutkan kembali misi utamanya.
Kejatuhan, keterpurukan, kendala, atau jenis hambatan
pikiran apapun itu yang membuat kita merasa tak berdaya pada akhirnya adalah
peristiwa yang mengasah kekuatan kita. Menajamkan dan mengantar kita pada
potensi terdalam yang kita miliki. Seperti pada Kisah Sebatang Pensil yang
dibagikan Paulo. Hal ini pada akhirnya membuatku menyelam jauh ke dalam
pikiranku dan pada sisi lain akhirnya membawaku keluar dari jebakan labirin.
Belum sepenuhnya tiba, tapi aku percaya pada cahaya yang sedang kulihat. Oleh
karena rasa percaya itu aku menghapus bagian-bagian kesalahan yang sempat
kugoreskan dan kupertahankan, mulai membaca Sabda Hidup melalui Paulo, dan
menuliskan penemuan ini. Semua tidak lain dan tidak bukan karena kepercayaanku
bahwa untuk sampai pada kesetiaan besar skripsiku, aku harus membangun
kesetiaan kecil dengan membaca dan menulis untuk melatih daya tahan pikiranku.
Akhirnya aku tiba di titik ini, sebelum akhirnya beranjak menuju titik lain.
Selamat Ulang Tahun untuk Saudariku Juni Raisa dan juga pada
Pater Paulus Payong, SVD. Doaku menyertai perjalanan kalian. Terima kasih untuk
kesetiaan TUHAN.
(refleksikamarkos, 2 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar