Berbagai tanaman
dan pohon rindang yang menyejukkan membuat Saya merasa tenang di rumah itu.
Obrolan santai bersama salah satu figur utama penggerak masyrakat Indonesia ini
tampil dengan kaos berkerah biru dan jeans yang membuatnya tampak gagah.
Bersama pak Bambang Ismawan, perintis dan pendiri Lembaga Bina Swadaya, sore
hingga malam hari itu terasa hangat.
Beliau bertanya maksud kedatangan kami dan dengan
tenang mendengarkan. Baginya kehadiran kami dan juga rencana untuk menggalang
alumni untuk reuni di Jogja pada Mei mendatang merupakan sebuah ide baik. Dalam
usia 66 tahun perhimpunan, perlu diadakan sebuah temu angkatan dan pemikiran
lintas generasi.. Gagasan untuk menyusun sebuah kumpulan pemikiran berupa buku
dari para tokoh PMKRI untuk negeri pun mengalir.
Beliau memulai lagi dengan lontaran pertanyaan
tentang
usianya pada kami. Seorang diantara kami menjawab 50 tahun dan ini
mendapatkan apresiasi senyuman dari Pak Bambang. Ia merasa terhormat dalam
usianya yang beranjak 75 diberi penghargaan 25 tahun. Menurut pandangan
tertentu katanya, usia itu dapat dipandang dari tiga pendekatan. Pertama adalah
pendekatan kronologis yang secara jelas berkaitan dengan usia dihitung dari
tanggal kelahiran seseorang. Kedua pendekatan biologis yang diindikasikan dari
kondisi tubuh seseorang dan yang terakhir adalah pendekatan Psikologis.
Berdasarkan pendekatan ketiga yang menyangkut semangat hidup ini, beliau
menyatakan masih muda dan karenanya sangat gembira bisa bertukar pengalaman dan
pikiran dengan kaum muda.
Bambang Ismawan, anggota penyatu PMKRI Cabang
Yogyakarta, bahasa yang lebih fungsional dan integral untuk menggantikan
istilah alumni. Beliau bercerita bagaimana ia menjalani hidup dengan
kegembiraan yang penuh. Analogi hidup bagai berselancar diatas gelombang laut
menjadi pilihannya dalam memandang kehidupan. Melalui gelombang-gelombang yang
ada, peselancar makin bisa merasakan kepuasan dan memaknai pengalaman. Pada
akhir berselancar ia dapat dengan puas menatap keteduhan laut. Demikian pula
bagi Bambang Ismawan, kehidupannya yang penuh gelombang tantangan sungguhlah
sebuah perjalanan yang penuh syukur. Atas semua itu dalam refleksi spiritual,
beliau selalu bertanya, darimana semua itu berasal? Pertanyaan yang selalu
menemaninya untuk tidak melupakan rahmat di belakang semua pencapaiannya.
Teguh dengan
Keyakinan
Dalam perjalanan hidup beliau membangun seluruh
karyanya, salah satu hal yang menarik bagi saya adalah bagaimana perjalanan
merintis Bina Swadaya dari Rp. 10.000 pada masa itu. Cerita unik adalah saat
gagasan untuk membangun gerakan pemberdayaan masyarakat khususnya melalui media
Trubus yang berbasis pada semangat pengembangan masyarakat agraris. Gagasan itu
suatu ketika dibicarakan dengan PK. Ojong dengan harapan mendapatkan saran dan
pelbagai tips pengembangan. Jawaban yang diharapkan kala itu sungguh tak diduga
karena oleh PK. Ojong beliau disarankan mengurungkan niat karena secara bisnis
dinilai tidak punya prospek.
Pak Bambang Ismawan melihat masa itu sebagai masa
yang menantang. Keyakinannya tak surut kendati kemungkinan pengembangan
usahanya secara bisnis memang tampaknya tidak menjanjikan. Bersama
rekan-rekannya ia meneruskan niat besarnya yang diyakini adalah panggilan
karyanya. Sejak itu selama 10 tahun berjalan diawal usahanya memang terus
mengalami kesulitan. Berikutnya baru 5 tahun kemudian dalam masa transisi dan
pengembangan majalah Trubus baru mampu mencapai titik Break Event Point. Belum
ada keuntungan yang signifikan kecuali bahwa semangat untuk mengembangkan
gagasan pemberdayaan masyarakat kian bertambah. Hingga hari ini Trubus masih
terus eksis dan menjadi garda terdepan media pemberdayaan masyarakat agraris.
Refleksi perjalanan itu oleh Pak Bambang dipegang
pada satu kalimat kunci. Seluruh perjalanan itu bisa tetap berjalan dan
memberikan hasil oleh karena ia percaya “Solidity
of Team Work is the key”. Soliditas dan semangat mereka yang berjuang pada
awal itulah yang membuat Bina Swadaya dan media Trubus dapat bertahan dan
menginspirasi hingga hari ini. Sebuah resep kesuksesan yang tentu saja dapat
dibagikan setelah melewati perjalanan yang panjang. Bagi saya pribadi, sungguh
ini sebuah proses luar biasa dari evolusi keyakinan yang pada akhirnya mencapai
tujuan yang diharapkan. Kendati beliau dulu tak membayangkan Bina Swadaya dapat
tumbuh seperti saat ini, namun hal yang tak berubah adalah bahwa keyakinannya
terus mendorongnya untuk melangkah maju.
PMKRI dan
Tantangannya
Berkaitan dengan PMKRI, ia berharap bahwa ruang
pembinaan ini dapat dijadikan tempat semestinya kaum intelektual dididik
sebagai calon pemimpin masa depan Indonesia yang plural. Pengalamannya saat
berada di PMKRI serta pendidikan yang ditemukan di Asrama Realino merupakan
sebuah bentuk pendidikan yang sulit ditemukan di bangku kuliah. Maka ia sangat
mendorong agar kader PMKRI menjadikan dirinya sendiri sebagai modal. Make your self as a capital, tandasnya
untuk menunjukkan kekuatan personal yang mestinya menjadi milik kader PMKRI.
Bagi beliau, pada masanya banyak kalangan akan
merasa aneh bila ada mahasiswa katolik yang tidak bergabung dengan PMKRI.
Berbeda dengan masa kini dimana orang yang bergabung dengan PMKRI akan dirasa
aneh. Demikian memang pada akhirnya setiap anak zaman akan memiliki
tantangannya sendiri. Kami tertawa saat Pak Bambang dengan ketenangannya yang
khas mengungkapkan “Cilakanya, anak saya tak satu pun yang tertarik masuk
PMKRI”. Sebuah kondisi yang memang tak dapat dipaksakan karena generasi memang
membentuk cara pandang masing-masing.
Maka sungguh beliau menyambut baik rencana Dewan
Pimpinan Cabang yang hendak menyelenggarakan Reuni pada Dies Natalis 66 PMKRI
pada Mei mendatang. Bagi beliau ini adalah momen tukar gagasan dan sharing
pengalaman lintas generasi. Momen yang kiranya baik untuk menjadi sarana
pembelajaran bagi semua. Terlintas dalam pembicaraan itu tantangan bagi DPC
untuk menyusun sebuah buku yang berisi pemikiran para kader PMKRI tentang
Indonesia berdasarkan ruang keutamaan mereka masing-masing. Beliau memberi
contoh Pak J. Kristiadi yang bisa diminta menulis tentang sosial politik dan
para anggota penyatu lain yang punya keahlian di bidang masing-masing. Sembari
menimpali saya mengungkapkan pikiran saya tentang ide beliau. Barangkali bisa
dibuat buku Kompilasi Pemikiran Perhimpunan untuk Indonesia: Dies Natalis PMKRI
Yogyakarta ke - 66. Sebuah tantangan yang terus saya dengungkan dalam
pembicaraan dengan DPC sampai akhirnya kami meninggalkan kediaman beliau.
Refleksi
Personal
Hari ini saya menuliskan kembali sebagian kecil dari
banyak pemikiran dan informasi baru yang saya peroleh dari beberapa jam belajar
di teras rumah Pak Bambang Ismawan. Bagi saya kesempatan langka ini merupakan
sebuah inspirasi besar bagi saya untuk berjuang dan mengupayakan Indonesia yang
lebih adil, berkemanusiaan dan berpegang teguh pada persaudaraan sejati. Saya
berharap bahwa Dies Natalis pada Mei mendatang dapat terwujud, terutama dengan
menghasilkan sebuah warisan pemikiran lewat buku yang dapat kita kembangkan
bagi kemajuan PMKRI, khususnya bagi Gereja dan Bangsa.
Terima Kasih Pak Bambang Ismawan dan para anggota
penyatu yang senantiasa mendorong kami bertumbuh melalui sentuhan personalitas
yang unik. Kesempatan berziarah pemikiran di Jakarta sungguh sebuah anugerah
pembelajaran yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar