Bagi saya sendiri, selama saya belajar agama ini membawa
banyak pengalaman buat saya, mulai dari yang membuat saya terharu, bangga,
hingga merasa malu dengan diri sendiri.
Pada awalnya saya sebenarnya merasa agak malas juga, ngapain
kuliah harus jauh-jauh?? Belum lagi kena resiko kehujanan. Namun pada akhirnya
saya berbalik menjadi menyukai model kuliah seperti ini. Kenapa?? Karena dengan
kuliah seperti ini saya bisa melihat
kondisi sesungguhnya dari apa yang saya pelajari.
Contohnya saja, saya belajar mengenai ASG. Nah di sepanjang
jalan saya berangkat kuliah, saya melihat bahwa apa yang menjadi pusat
perhatian dari ASG itu sendiri masih terus terjadi. Sering saya merasa miris
bila melihat mereka. Namun tidak jarang pula saya merasa terharu bila melihat
perjuangan mereka. Entah kenapa, saya menjadi lebih merasa terhubung kepada mereka. Mungkin hal ini juga dikarenakan saya juga anak dari keluarga yang bisa dikatakan tidak mampu.
perjuangan mereka. Entah kenapa, saya menjadi lebih merasa terhubung kepada mereka. Mungkin hal ini juga dikarenakan saya juga anak dari keluarga yang bisa dikatakan tidak mampu.
Sering saya juga merasa malu. Kok bisa-bisanya saya
santai-santai, padahal sudah mendapat karunia yang demikian luar biasa bila
dibandingkan dengan mereka?? Saya sebenarnya ingin menolong, namun tidak tahu
bagaimana caranya. Sehingga saya hanya bisa merenung dan berdoa. Sering pula
saya marah bila melihat kondisi ini, entah kepadasiapa. Mungkin kepada
pemerintah, atau kepada diri sendiri, atau kepada oranmg lain yang membiarkan
hal ini terjadi. Bagi saya sendiri, jalanan di kota besar, contohnya Yogyakarta,
sudah menjadi semacam show of the social
gap, atau pertunjukan kesenjangan sosial. Coba saja lihat, bagaimana ada
orang yang mengemis kepada mereka yang menaiki mobil Honda Jazz. Atau bagaimana
ada yang mengamen pada orang yang berada di dalam Toyota Fortuner.
Bagi saya, hal ini sudah sangat keterlaluan. Rentang sosialnya
sudah sangat jauh. Bagaimana hal ini bisa terjadi?? Sering saya bertanya kepada
diri sendiri. Hal itu menyebabkan saya sering merenung, dan pada akhirnya,
berdoa. Jadi bisa dikatakan, bahwa saya menemukan Tuhan di Jalanan, diantara
mereka yang miskin dan tertindas.
Sedangkan mengenai nilai-nilai yang bisa saya kembangkan, ya
itu tadi, berusaha untuk lebih peduli terhadap mereka yang kecil, lemah,
miskin, tertindas, dan difabel. Mungkin
nilai-nilai ini tidak pernah masuk ke dalam pelajaran, namun, bagi saya, inilah
nilai yang paling jelas saya temukan. Sedangkan mengenai yang lain, saya merasa
bahwa saya ditegur secara halus oleh Tuhan, untuk lebih memperhatikan iman
saya.
Sebelumnya saya berpandapat bahwa iman, ya iman, sedikit
(atau bahkan tidak ada) kaitannya dengan kehidupan saya sehari-hari. Semua
perbuatan baik yang dituntut untuk dilakukan saya rasa hanya sekedar berasal
dari moralitas semata. Namun, pada akhirnya saya menyadari, bahwa apa yang saya
pikirkan itu tidak benar. Saya dituntut untuk berusaha mengaplikasikan iman
saya dalam kehidupan ini, berusaha untuk mewujudkannya.
Selain itu, saya juga belajar mengenai totalitas, dalam
segala hal. Bahkan dalam agama kita juga dituntut untuk memiliki totalitas.
Jadi kita tidak boleh setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu. Bila kita mengerjakan
suatu hal, kerjakan hal itu hingga tuntas.
(Tulisan ini saya share dari pandangan dan refleksi mahasiswa saya, Franciskus Xaverius, di Program D1 STAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar